Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penulis Ayu Utami mengatakan Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga yang hangat diperbincangkan saat ini bermula dari sesat pikir. Klausul-klausul di dalam rancangan undang-undang tersebut berangkat dari cara pandang yang salah mengenai kehidupan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Manusia itu bukan robot. Dia harus mencari aktualisasi sendiri dan itu tidak bisa diatur dari luar, melainkan tumbuh dari dalam," kata Ayu Utami kepada Tempo di Jakarta, Kamis 20 Februari 2020. Salah satu hal yang tercantum di dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perihal peran suami dan istri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu Utami mengatakan, dengan adanya pengaturan akan peran dari masing-masing individu, maka RUU Ketahanan Keluarga melihat manusia sebagai objek yang harus ditertibkan. "Manusia itu persona dan tidak bisa dikategorikan dengan mudah. Semua harus didasarkan pada kemampuan masing-masing orang," kata dia. "Dan semua usaha negara untuk mengatur ranah yang sangat privat itu bahaya karena akan menghasilkan kekerasan."
Ayu Utami. TEMPO | Rini Kustiani
Contohnya, kata Ayu Utami, ada suami yang memang memiliki karakter tidak suka muncul, lebih introvert, semetara istrinya vokal. "Biarlah keluarga itu yang mengatur," kata dia. Ayu Utami mengakui ada nilai-nilai budaya yang mengatur peran antara laki-laki dengan perempuan. Namun bukan berarti semuanya kemudian dilegalkan oleh negara dalam bentuk peraturan.
Ayu Utami menjelaskan, memaksa laki-laki untuk selalu menjadi superior, kuat, dan harus lebih baik dari perempuan juga merupakan bentuk kekerasan kepada laki-laki. "Jadi nilai-nilai patriarki juga tak hanya menimbulkan kekerasan buat perempuan, tapi juga bagi lelaki," ucap dia.