Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI permukaan, keluarga Fitzgerald tampak bebas masalah. Keluarga kaya dengan tiga anak yang manis. Ternyata di dalamnya, kemelut, konflik, dan kekalutan membayangi kehidupan mereka sehari-hari. Kate, anak kedua, menderita leukemia tahap akhir. Energi keluarga tersedot sepenuhnya untuk merawatnya. Bahkan anak bungsu keluarga itu adalah hasil rekayasa bayi tabung yang disiapkan untuk menjadi donor organ-organ yang diperlukan sang kakak. Akhirnya, Kate memutuskan menghentikan perawatan total atasnya. ”Penyakit ini boleh membunuhku, tapi jangan membunuh keluargaku.”
Kisah itu memang fiksi tentang keluarga yang memiliki sanak penderita penyakit mematikan tahap terminal, yang berjudul My Sister’s Keeper, karangan master pendidikan dari Harvard University, Jodi Picoult. Namun problem merawat satu anggota keluarga yang menderita sakit parah berbuntut masalah keluarga bukanlah fiksi. Persoalan itu jamak terjadi di sekitar kita.
Keluarga Hadi—bukan nama sebenarnya—yang tinggal di Jakarta Selatan, misalnya. Saat Hadi masih sehat, kelima anaknya kompak. Ketika Hadi dan istrinya sakit parah, masing-masing terserang diabetes dengan segudang komplikasi dan gangguan jantung, anak-anak mulai sering berselisih. Mereka mempersoalkan ”pembagian” penanganan orang tua, mulai teknis pengobatan sampai penanggung jawab perawatan untuk orang tua sehari-hari.
Menurut data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, soal perawatan menyeluruh pada penderita penyakit terminal atau perawatan paliatif menyumbang 75,5 persen masalah untuk keluarga. Akarnya adalah ketidaktahuan akan konsep perawatan. ”Selama ini kita biasa mempersiapkan kelahiran, tapi tidak mempersiapkan kematian,” kata dokter Siti Annisa Nuhonni dari Departemen Rehabilitasi Medik RSCM seusai seminar yang merupakan rangkaian peringatan Hari Hospis dan Perawatan Paliatif Sedunia, Kamis dua pekan lalu.
Terkait dengan soal ”mempersiapkan kematian” itulah tema peringatan tahun ini: ”Peduli Perawatan Paliatif untuk Sesama”. Tujuannya agar kesadaran akan pentingnya perawatan paliatif dapat meningkat sehingga meminimalisasi masalah seperti yang menimpa keluarga Hadi.
Perawatan paliatif (dari bahasa Latin, palliare, yang artinya untuk menyelubungi) terutama diberikan kepada penderita dengan status terminal atau sudah tidak dapat ditangani dengan pengobatan kuratif atau penyembuhan. Perawatan bertujuan meringankan beban penderita, dengan membebaskannya dari nyeri akibat sakit, juga gangguan fisik dan psikis lainnya. ”Sehingga ruas akhir kehidupan si pasien tetap berkualitas,” kata Profesor Sunaryadi Tedjawinata, pembina Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, sekaligus penasihat pengurus pusat Masyarakat Paliatif Indonesia.
Menurut Sunaryadi, perawatan paliatif merupakan hakikat pengobatan itu sendiri, yakni berfokus pada manusia seutuhnya, bukan semata penyakitnya. Nah, manusia yang sakit, terutama di stadium terminal, niscaya mengalami kemerosotan fisik, psikis, dan spiritual. Akumulasinya mendatangkan penderitaan yang lebih berat dibanding penyakit utama.
Dari catatan Siti Annisa di RSCM, beberapa penderitaan yang umum dijumpai pada pasien paliatif adalah nyeri, gangguan saluran cerna, gangguan kulit (luka, stoma, dan dekubitus), tubuh lemah, gangguan respirasi sesak batuk, gangguan saluran kemih, serta bingung. Persentase paling tinggi: nyeri (68,9 persen) dan bingung yang mewakili gangguan psikis lain (35,6 persen).
Perawatan untuk mengurangi penderitaan itu idealnya dilakukan bersama pengobatan kuratif yang tengah berjalan. Perawatan paliatif dilakukan terintegrasi, tidak hanya oleh dokter dan perawat, juga terapis, petugas sosial medis, psikolog, rohaniwan, serta sukarelawan.
Lokasi perawatan paliatif bisa di rumah sakit atau poliklinik khusus paliatif, bisa juga di rumah sendiri dengan perawat yang sesekali datang, atau di hospis jika di rumah tidak ada yang bisa memberikan perawatan, sedangkan penderita membutuhkan suasana rumah. Hospis menjadi rumah perawatan tanpa suasana rumah sakit.
Di Indonesia belum ada angka pasti kebutuhan perawatan paliatif. ”Penelitian bidang ini kurang populer,” kata Siti Annisa, salah satu Ketua Masyarakat Paliatif Indonesia. Padahal, dengan perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia, perawatan paliatif sudah perlu ditingkatkan. Sejauh ini perawatan paliatif baru ditemukan di enam ibu kota provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. ”Mengembang dengan merayap lambat,” kata Sunaryadi.
Kebutuhan perawatan bisa dilihat dari pertumbuhan penderita penyakit mematikan. Prevalensi kanker, misalnya, menurut data riset kesehatan 2007 di Indonesia, sudah mencapai 4,3 per 1.000 orang. HIV/AIDS, pada 2005, jumlah kumulatif penderitanya 5.320 orang, dan per 30 Juni 2010 dilaporkan kasus 21.770 penderita yang tersebar di 32 provinsi. Selain itu, penduduk lanjut usia yang membutuhkan perawatan paliatif meningkat, sudah mencapai 7 persen penduduk dari 4,5 persen tiga dasawarsa lalu.
Perawatan paliatif sebenarnya sudah masuk kebijakan pemerintah, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan 1989 tentang penanganan kanker. Paliatif menjadi salah satu subkomite dari Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Kanker. Sistem penanganan kanker terpadu yang memasukkan perawatan paliatif di dalamnya pertama kali diuji coba di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1994.
Pelopor perawatan paliatif adalah RSUD Dr Soetomo di Surabaya, yang membentuk tim kanker lengkap dengan kelompok paliatif dan bebas nyeri pada sejak 1990. Dua tahun kemudian bahkan dibuka poliklinik khusus. ”Pasien meningkat, dulu hanya 5-10 orang per hari, saat ini mencapai 50 orang per hari,” kata Kepala Instalasi Poliklinik Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD Dr Soetomo Dokter Agus Ali Fauzi.
Poliklinik tersebut menangani penderita kanker stadium lanjut yang sudah mencapai tahap metastase—kanker menyerang organ atau jaringan lain. Misalnya, jika kanker memicu rasa nyeri, nyerinya disembuhkan. Jika kekurangan darah, dilakukan transfusi darah, atau menyembuhkan borok yang timbul. Perawatan medis itu juga dibarengi dengan pendampingan sosial psikis dan spiritual. ”Intinya untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,” Agus menjelaskan.
Perawatan itu bisa dengan rawat jalan, rawat inap, rawat rumah, day care, dan respite care. Rawat rumah dilakukan untuk pasien yang kondisinya tidak memungkinkan lagi ke rumah sakit. Kunjungan ke rumah ini, selain oleh dokter, psikiater, dan perawat, biasanya dilakukan oleh para sukarelawan dari poli paliatif. Pelayanan day care adalah layanan medis yang tidak memerlukan rawat inap, semisal hanya melakukan perawatan luka luar. Respite care adalah layanan yang berfokus pada aspek psikis dengan melibatkan psikolog atau psikiater.
Dalam perkembangannya, perawatan paliatif juga menyasar pasien kanker dini, juga pengidap HIV/AIDS atau penderita stroke. Seiring dengan penetapan Surabaya sebagai kota paliatif dan bebas kanker pada Mei 2010, tidak hanya rumah sakit itu sendiri yang memberikan layanan. Semua pusat kesehatan masyarakat di sana sudah memiliki poliklinik khusus paliatif.
Daerah lain pun mulai berkembang. Di RSCM, misalnya, tahun ini mulai dirintis pusat perawatan paliatif terpadu. ”Dulu masih pisah-pisah,” kata Siti Annisa. Sebelumnya, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, membentuk unit paliatif untuk pasien dewasa dan anak pada 2009. Untuk layanan bagi anak, rumah sakit bekerja sama dengan Yayasan Rumah Rachel (Rachel House), dengan moto: ”don't let a child die alone”, jangan biarkan anak meninggal sendiri. Sejauh ini, dari 12 kasus kanker anak yang dirujuk, 10 di antaranya meninggal dengan tenang di rumah.
Layanan paliatif sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh rumah sakit. Yayasan Kanker Indonesia, misalnya, sudah menjalankan perawatan itu sejak 1995, dengan mengunjungi rumah pasien. ”Awalnya tiga pasien, sekarang tercatat sudah 900 penderita yang kami tangani,” kata dokter Utari Diat Siwi, koordinator Hospice Home Care Yayasan Kanker Indonesia. Sayangnya, sering kali pasien datang sudah terlambat. ”Baru kunjungan sekali sudah meninggal,” kata Utari.
Perawatan paliatif memang lebih banyak merupakan tugas kemanusiaan. Dokter Edi Setiawan Tehuteru dari RSK Dharmais punya cerita. Seorang anak dengan tumor otak menikmati sisa waktu satu setengah tahun hidupnya dengan kegiatan-kegiatan yang membahagiakan, seperti menonton film Laskar Pelangi, belajar, memanggil pesulap, dan merayakan ulang tahun di rumahnya dua hari sebelum mengembuskan napas terakhir.
Harun Mahbub, Rohman Taufik (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo