Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Badai Belum Berlalu

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragedi kemanusiaan itu sudah berumur setahun. Kuta, yang ingar-bingar oleh turis mancanegara, mendapatkan cobaan tak kepalang dengan meledaknya dua bom di Jalan Legian. Korban tewas lebih dari 200 orang, kebanyakan warga Australia. Mungkin karena itu Perdana Menteri Australia John Howard tergerak datang ke Bali untuk memperingati setahun bom Bali.

Adapun penduduk Bali dan masyarakat Kabupaten Badung, lebih-lebih lagi warga Desa Kuta, menyambut peringatan setahun bom Bali ini dengan berbagai kegiatan. Atraksi kesenian yang dikaitkan dengan pemulihan pariwisata dilangsungkan sebulan penuh dan puncaknya digelar pada 12 Oktober, persis setahun setelah bom itu meledak. Kawasan Jalan Legian ditutup untuk lalu lintas umum. Dan di pusat ledakan diresmikan monumen GZ alias ground zero. Malam itu akan ada perenungan bertema ”Damai Cinta dan Damai Kita Kembali”.

Tulisan ini saya buat sebelum puncak peringatan. Tentu ada kemungkinan acaranya bisa berubah dari rencana. Saya tak tahu apakah John Howard benar-benar datang ke Bali. Saya pun tak bisa memastikan apa benar Presiden Megawati ”tak berkenan” datang ke Bali di saat penting seperti itu.

Kehadiran John Howard sudah pasti menggembirakan rakyat Bali. Sudah lama masyarakat Bali ingin membuktikan kepada pemimpin-pemimpin dunia bahwa Bali aman untuk dikunjungi. Difungsikannya kembali lembaga adat untuk ikut menjaga keamanan Bali, terutama di obyek-obyek wisata, adalah sebuah langkah introspeksi dari tragedi bom itu sendiri.

Kenapa Megawati tidak datang ke Bali? Ada dua alasan yang disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda—alasan yang menjadi pertanyaan besar masyarakat Bali, kenapa itu dinyatakan secara bersamaan, padahal tidak ada kaitannya. Alasan pertama adalah Presiden Megawati menerima kunjungan Presiden Aljazair. Ini masih bisa diterima karena presiden tentulah orang yang sangat sibuk di negeri ini, dan jadwal presiden begitu ketat. Alasan kedua adalah ”untuk menghormati adat, budaya, dan agama di Bali.” Menteri Wirajuda berkata, sebagaimana saya kutip dari berita Koran Tempo, 7 Oktober 2003, ”Menurut adat dan kepercayaan masyarakat Hindu Bali, tidak ada peringatan seratus hari, seribu hari, atau satu tahun setelah kematian.” Karena Wirajuda menyampaikan alasan ini didampingi Gubernur Bali Dewa Beratha, dapat diduga masukan datang dari Pak Gubernur.

Saya heran kenapa soal adat dan kepercayaan dibawa-bawa. Lagi pula pernyataan itu membingungkan, seolah-olah adat adalah sama dengan kepercayaan. Ada pandangan yang salah dalam pernyataan itu, bahwa peringatan setahun bom Bali dianggap ”ritual kematian”. Padahal, bagi masyarakat Bali, dan juga bagi masyarakat Kuta, bom Bali adalah suatu tragedi kemanusiaan yang harus selalu dikenang sebagai cermin dalam membenahi Bali di masa depan. Masyarakat pariwisata bersama Pemerintah Kabupaten Badung bahkan membangun ”Monumen Ground Zero” di bekas ledakan itu. Memperingati tragedi ini bukan untuk memperpanjang duka dan meratapi kesedihan, melainkan menjadikan spirit untuk kebangkitan baru, sebagai ”titik nol” dari langkah yang akan ditempuh dalam menata dunia kepariwisataan di Bali. ”Ritual kematian” dalam ajaran Hindu tak menyisakan monumen apa pun, bahkan termasuk nisan.

Pariwisata Budaya

Dulu banyak yang berharap, setelah bom Bali menjadi jelas dengan tertangkapnya para pengebom, ada langkah strategis ke depan bagaimana memulihkan pariwisata Bali. Karena tujuan pengebom sudah diketahui—lewat pengakuan mereka di sidang pengadilan—pemulihan pariwisata di Bali bisa dirancang lebih baik. Banyak hal yang sudah didiskusikan. Misalnya, para pengebom itu bukan ingin menghancurkan Bali, tidak pula ingin merusak kerukunan masyarakat Bali dan menjadikan Bali sebagai Ambon atau Poso. Mereka hanya anti-AS dan sekutunya. Antisipasinya adalah memperketat pengamanan di pintu masuk Bali dan di obyek-obyek pariwisata tempat orang asing berkumpul.

Memang ada pemikiran lain, yakni menengok kembali ke pertanyaan mendasar yang muncul pada 1970-an ketika Bali mau dicanangkan sebagai daerah pariwisata. Ke mana sebenarnya manusia Bali akan dibawa? Apa betul mau dibawa ke dunia pariwisata? Atau dunia pertanian atau dua-duanya? Pilihan yang diambil adalah dunia pariwisata. Namun pilihan ini dengan kriteria yang tegas, pariwisata yang dimaksudkan adalah pariwisata budaya. Universitas Udayana kemudian membuat konsep dan merumuskan apa itu pariwisata budaya. Bermacam-macam rambunya. Pariwisata yang bertitik tolak dari keragaman budaya Bali dan menjual keindahan Bali dengan segala kehidupannya yang bernapaskan agama Hindu. Pariwisata yang tidak menjual seks, judi, dan segala bentuk maksiat lainnya. Pariwisata yang menghormati tempat-tempat suci di Bali.

Bom meledak di Kuta, dan orang pun banyak terenyak: jangan-jangan ada yang salah dalam perjalanan pariwisata budaya ini. Bom meledak di sebuah kafe tempat orang asing berkumpul sesamanya (orang pribumi dilarang masuk), menewaskan pengunjung kafe yang tadinya menikmati pesta sebagaimana pesta yang ada di negerinya. Apakah ini pariwisata budaya yang dicanangkan di Bali? Banyak hal yang tiba-tiba menjadi bahan renungan. Apa betul pariwisata di Bali menghormati tempat-tempat suci? Laut menuju Pulau Serangan dengan Pura Sakenan warisan Danghyang Nirartha ditimbun investor. Ini tidak saja merusak lingkungan, tapi juga menghancurkan tradisi orang Bali menghayati ritual ke Pura Sakenan, yang tadinya memakai jukung. Di seberang Pura Tanah Lot dibangun lapangan golf dan hotel mewah Nirwana Resort. Belum lagi sindiran, tidak adanya sumbangan dunia pariwisata terhadap pemeliharaan tempat-tempat suci di Bali.

Karena itu, beberapa tokoh dan pemikir di Bali mengajak untuk mengkaji kembali rambu-rambu pariwisata budaya ini. Juga ajakan untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada dunia pariwisata. Memang, ini bukan ajakan untuk meninggalkan dunia pariwisata, melainkan ajakan untuk menoleh bidang-bidang lain. Misalnya kembali ke ladang pertanian. Tapi pertanian jenis apa? Sawah sudah menjadi toko seni, sudah menjadi restoran. Organisasi subak yang dikagumi di masa lalu sudah terpuruk. Saluran irigasi subak sudah terancam perumahan yang tak bisa dibendung karena banyaknya pendatang yang masuk ke Bali. Jangankan ladang pertanian untuk menyejahterakan masyarakat, sudah lama masyarakat Bali sangat bergantung pada Jawa Timur untuk urusan sarana ritual. Janur, bunga, telur itik, dan kelapa bertruk-truk datang dari Banyuwangi dan Situbondo setiap malam untuk menyuplai masyarakat Bali membuat sesajen sebagai pelengkap ritualnya. Gemah ripah dunia pariwisata membuat orang Bali malas menanam bunga, apalagi memelihara itik yang hanya bikin kotor itu. Uang mudah didapat dari turis, bahan ritual tinggal beli di pasar-pasar dari juragan asal Jawa.

Setahun yang Sia-sia

Ledakan bom di Kuta menjungkirbalikkan kehidupan orang Bali. Turis tiba-tiba hilang. Kuta menjadi lengang, restoran sepi, toko kerajinan bangkrut, perajin kehilangan order, hotel dililit utang, pengangguran melonjak. Desa-desa menjadi sesak oleh orang-orang—sebagian besar angkatan kerja muda—yang tak tahu harus bekerja apa. Siapa yang mau bertani kalau harga beras begitu murah? Siapa yang mau memelihara pohon cengkehnya kalau harga cengkeh lebih murah dari ongkos memetiknya? Sementara itu, sektor informal, katakanlah pedagang kaki lima, sudah dikuasai para pendatang: umumnya dari Jawa dan Lombok.

Menghadapi situasi seperti ini, langkah Pemerintah Daerah Bali sangat tidak jelas. Di satu pihak, mimpi-mimpi tentang dunia pariwisata yang menggiurkan terus dikumandangkan, tapi tak ada konsep dengan cara apa memulihkan dunia pariwisata itu. Sejumlah konser memang digelar orang-orang Jakarta di Nusa Dua, tapi tak ada yang misalnya membantu pengusaha hotel agar pajaknya diperingan. Komponen pariwisata ribut soal kebijakan pemerintah tentang penghapusan bebas visa untuk kunjungan wisatawan terbatas yang akan diberlakukan akhir tahun ini, tapi Pemerintah Daerah Bali diam seribu basa.

Para elite politik di Bali justru sibuk melakukan manuver-manuver selama setahun ini, siapa yang akan memimpin Bali lima tahun ke depan. Bupati Badung Tjok Ratmadi, kader PDIP, merasa berhak menjadi Gubernur Bali, lalu mengundurkan diri sebagai bupati sebagai syarat pencalonan gubernur. Gubernur Dewa Beratha, yang awalnya pesimistis bisa memimpin Bali kembali—karena kader Golkar—seperti kehilangan ide bagaimana menyelamatkan masa depan Bali dari keterpurukan yang tiba-tiba. ”Perebutan kekuasaan” menghabiskan energi, tak ada yang lantas memikirkan pemulihan pariwisata, baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Masyarakat pariwisata jalan sendiri mencari terobosan untuk bisa mengatasi situasi paceklik turis.

Setahun yang sia-sia. Kini, Dewa Beratha kembali ditunjuk oleh pusat memimpin Bali. Prahara politik sudah mereda. Tapi badai belum berlalu. Kalau pemerintah tetap gamang menangani masalah sosial pasca-bom Bali, badai yang lebih besar bisa saja terjadi. Bukan oleh bom, tapi kegerahan di masyarakat bisa memicu konflik sosial.

Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus