Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tersihir Koin Emas

Polisi menahan tiga orang direksi PT Arthamulia Ereska Perdana. Mereka dituduh menipu dan menggelapkan dana nasabah.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari-hari ini Meirizal Zulkarnaen terpaksa menghabiskan waktunya di sel sempit di kantor polisi Jakarta Selatan. Direktur PT Arthamulia Ereska Perdana ini harus mendekam di penjara polisi karena dituduh menipu dan menggelapkan uang nasabahnya. Ikut ditahan bersamanya Direktur Utama Arthamulia, I Ketut Sukerta, dan komisarisnya, Adline Sri Suci. Mereka ditahan sejak Selasa dua pekan silam. "Perbuatan mereka memenuhi unsur pidana, sehingga ditahan," kata Kepala Polisi Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Polisi Ghufron. Ketiga tersangka tersebut diancam hukuman penjara empat tahun. Penahanan itu bermula ketika mereka datang ke Markas Kepolisian Resor Jakarta Selatan untuk memenuhi undangan berkaitan dengan laporan lima nasabah Arthamulia. Tapi, setelah diperiksa, mereka langsung dimasukkan ke sel. Ketika ditemui TEMPO di ruang penyidik kantor polisi Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, Meirizal, bekas wartawan sejumlah media Ibu Kota, terlihat muram. Berkali-kali wajahnya tertunduk dan matanya menerawang. Sesekali diembuskannya asap rokok ke langit-langir ruangan. "Sakit jantung saya kambuh," katanya sambil mengelus dada dan beberapa kali menarik napas dalam. Nasib buruk Meirizal bermula dari Arthamulia Ereska Perdana. Perusahaan yang didirikan pada Maret 2003 ini bergerak di bisnis penjualan bertingkat (multilevel marketing) dengan produk koin emas. Arthamulia menjual paket Golden Saving. Untuk mendapatkan satu paket, nasabah menyetor Rp 12 juta. Setelah itu, mereka akan mendapatkan koin emas 10 gram senilai Rp 900 ribu. Sambil ongkang-ongkang kaki, nasabah tinggal menunggu uangnya tumbuh menjadi Rp 16,5 juta dalam 30 hari kerja. Luar biasa. Dengan keuntungan lebih dari 40 persen per bulan, tak sebuah bank pun yang sanggup menandinginya. Tapi, apa lacur, harapan itu tinggal mimpi belaka. Arthamulia ternyata gagal. Perusahaan ini hanya mampu menjual 1.485 paket dalam tempo empat bulan. Akibatnya, Arthamulia tak sanggup membayar bagi hasil keuntungan kepada nasabahnya. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, manajemen Arthamulia menutup seluruh transaksi pada akhir Juni 2003. "Omzet merosot pada Mei dan Juni," kata Meirizal. Arthamulia lalu mengembalikan sebagian dana nasabahnya. Dari dana yang terkumpul sekitar Rp 17 miliar, mereka masih berutang Rp 5,2 miliar kepada nasabah. Arthamulia berjanji akan menyelesaikan pengembalian sisa pembelian koin emas selambat-lambatnya akhir Agustus 2003. Para nasabah setuju. Kesepakatan tersebut disahkan di notaris pada awal Juli 2003 dengan beberapa syarat. Salah satunya, jika dalam proses pengembalian ada tindakan nasabah yang merugikan sebagian besar nasabah lainnya, Arthamulia tak mau bertanggung jawab. Ketika proses pengembalian dana nasabah sedang berlangsung, 73 nasabah yang tak puas menyewa orang untuk menyelesaikan masalah itu di luar kesepakatan. Buntutnya adalah penculikan anak Meirizal, Hegel Muthahhari, pada akhir Juli 2003. Bocah berusia delapan tahun itu baru dilepas sepuluh hari kemudian. Gara-gara penculikan ini, Arthamulia gagal menyelesaikan pengembalian uang nasabah pada akhir Agustus. "Saya terfokus pada keselamatan Hegel," kata Meirizal. Tapi para korban Arthamulia tetap menuntut pengembalian uang mereka. "Saya tidak pernah mencicipi keuntungan yang dijanjikan," kata Nila Arwati, koordinator Kelompok Lima, yang melaporkan Meirizal dan kawan-kawan ke Kepolisian Jakarta Selatan. Korban lain mengaku menderita kerugian yang lebih besar. Ita, misalnya, harus gigit jari karena mengeluarkan Rp 36 juta untuk membeli tiga paket Golden Saving. Ia pun mengajak sanak saudaranya untuk membeli 15 paket lagi. Tiga paket pertama aman, Ita memperoleh pembagian keuntungan. Tapi keluarga Ita kecemplung. "Kami telah ditipu. Mereka jahat," ujar perempuan berparas cantik itu. Pengacara Meirizal, Ahmad Yani, menolak tuduhan itu. Menurut dia, kliennya sudah punya iktikad baik untuk menyelesaikan kewajiban. "Saya lihat apa yang dilakukan Meirizal dan teman-teman sulit dikatakan sebagai penipuan karena itu murni hubungan keperdataan," katanya. Sampai Jumat pekan lalu, perundingan Arthamulia dengan nasabahnya masih alot. Arthamulia hanya sanggup mengembalikan 60 persen uang nasabah atau sekitar Rp 3,12 miliar. Dengan demikian, nasabah hanya memperoleh Rp 6,4 juta per paket dari dana yang sudah disetor. Angka ini berasal dari setoran bersih nasabah per paket sebesar Rp 9,35 juta—setoran awal dikurangi harga koin emas 10 gram dan biaya administrasi. Tapi sebagian besar nasabah menuntut pengembalian minimal 75 persen. Jika urusan ini tak kunjung beres, bukan tidak mungkin Meirizal akan tetap menginap di kepolisian. Sapto Yunus, Agus S. Riyanto, Listi Fitria (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus