Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga di Bantul menunggu lama donasi Rp 412 juta yang dikumpulkan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Dana pembangunan masjid di Magetan dipotong hampir separuh oleh ACT.
Pembangunan surau di Sydney menuai kontroversi karena potongan besar dan kampanye berlebihan.
BEBERAPA hari setelah kecelakaan menimpa Suharno, istri, dan anaknya, pengurus Aksi Cepat Tanggap (ACT) Cabang Bantul mendatangi rumah keluarga itu di Dusun Sanggrahan, Kecamatan Dlingo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepada Suharno, pengurus ACT menyodorkan berkas penggalangan donasi untuk dia dan keluarganya. “Tim ACT bilang ini untuk masa depan keluarga saya,” kata laki-laki 42 tahun itu kepada Tempo, Senin, 27 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaki Suharno dan anaknya, Rizal, 5 tahun, patah setelah truk yang tak kuat menanjak di Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, mundur dan melindas sepeda motornya pada 25 Oktober 2021. Namun kaki kanan istrinya, Isti Utami, harus diamputasi. Saat Tempo berkunjung ke rumah keluarga itu, Suharno masih menahan sakit ketika tertatih-tatih berjalan. Sedangkan Rizal mengalami gangguan bicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Suharno, pengurus ACT Bantul mengatakan dana yang terhimpun bisa digunakan untuk berobat. Mereka pun berjanji mendampingi keluarganya hingga sembuh. Membutuhkan biaya untuk berobat dan bertahan hidup, tukang kayu itu pun menandatangani berkas penggalangan donasi.
Pada 9 November 2021, tim ACT mengumumkan pengumpulan donasi untuk keluarga Suharno di laman Indonesia Dermawan, situs milik Aksi Cepat Tanggap. Foto Rizal yang sedang menangis beserta foto roentgen kakinya yang patah terpajang. Tertulis di situs itu: “Satu Keluarga Terlindas Truk, Bantu Adik Rizal dan Orang Tuanya Sembuh”.
Sebulan berselang, tim ACT Bantul kembali menyambangi rumah Suharno. Mereka membawa uang tunai Rp 3 juta, bahan kebutuhan pokok, satu kruk kaki, dan kasur senilai sekitar Rp 3 juta. “Saya tidak tahu berapa donasi yang terkumpul saat itu,” ujar Suharno. Untuk pengobatan di rumah sakit, Suharno menggunakan Kartu Indonesia Sehat.
Tim ACT kembali datang beberapa bulan kemudian untuk mengadakan pendampingan psikologi terhadap Rizal dan orang tuanya. Suharno sempat menanyakan jumlah dana yang terkumpul, tapi petugas ACT tak memberi tahu nilainya. Mereka hanya berjanji membangun bengkel kayu dan peralatan tukang untuk Suharno, membelikan kaki palsu untuk istrinya, serta merenovasi rumah.
Pertengahan Juni lalu, Suharno bertanya kepada tim ACT Bantul soal janji yang belum terwujud. Sebelumnya, ia mendapat informasi bahwa donasi yang terkumpul mencapai Rp 412,207 juta dari target Rp 520 juta. Bertanya kapan duit yang disumbang lebih dari 6.000 donatur itu akan disalurkan, Suharno tak mendapat jawaban pasti. “Katanya masih diproses,” ucap Suharno.
Musala Al-Ikhlas Dusun Tapan, Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Magetan, Jawa Timur, 27 Juli 2022. TEMPO/Nofika Dian Nugroho
Tempo mendatangi kantor Aksi Cepat Tanggap Daerah Istimewa Yogyakarta yang membawahkan wilayah Bantul. Kepala ACT Yogyakarta Ony Leo mengatakan kantor perwakilan ACT itu tak berwenang menentukan pencairan donasi. “ACT pusat yang menentukan,” ujarnya.
Ketua Yayasan Aksi Cepat Tanggap yang juga Presiden ACT, Ibnu Khajar, mengaku belum mengetahui kasus donasi keluarga Rizal. “Akan kami cek satu-satu supaya bisa segera ditangani,” tutur Ibnu saat berkunjung ke kantor Tempo, Selasa, 28 Juni lalu.
Sehari setelah kunjungan petinggi Aksi Cepat Tanggap itu, tim ACT Yogyakarta datang ke rumah Suharno. Mereka membawa uang tunai dan bahan pokok. Tim ACT juga berjanji segera membangun bengkel kayu untuk Suharno.
•••
PERSOALAN penyaluran dana donasi oleh Aksi Cepat Tanggap juga terjadi di daerah lain. Di Dusun Tapan, Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, donasi pembangunan musala Al-Ikhlas terpotong hampir separuh. “Sebelumnya kami tidak tahu berapa jumlah donasi yang digalang oleh ACT,” kata Suradi, ketua pembangunan musala Al-Ikhlas.
Menurut Suradi, 55 tahun, warga Dusun Tapan bercita-cita mendirikan musala sejak 2021. Mereka pelan-pelan bergotong-royong mewujudkan mimpi tersebut. Pada saat yang sama, Gilang Yusron Ramadhani, putra Sutomo, salah satu pemberi tanah wakaf untuk pembangunan musala, mengajukan permintaan pengumpulan donasi ke ACT Cabang Madiun.
Tim ACT lantas membuat kampanye penggalangan donasi. Mereka membuat poster berisi seruan donasi pada awal Maret tahun lalu yang dipasang di situs Kitabisa. Awalnya tertulis di situ dana yang terkumpul akan digunakan untuk membangun masjid pertama di Kepuhrejo. Poster itu pun disebarkan melalui sejumlah media sosial.
Beberapa hari kemudian, Gilang terkejut karena banyak orang yang menghubungi dia dan mempertanyakan isi kampanye donasi tersebut. Sebabnya, saat itu sudah ada tiga masjid di Kepuhrejo. Akun media sosial milik Gilang juga banjir hujatan. “Saya masih syok hingga sekarang,” ujarnya.
Dari target donasi Rp 100 juta, dana yang terkumpul hanya Rp 17,702 juta. Suradi mengatakan ACT hanya menyalurkan duit Rp 9 juta. “Diberikan dua kali. Pertama Rp 6 juta, selanjutnya Rp 3 juta,” kata Suradi.
Marketing Communication ACT Madiun Celiana Dian berkilah ada kesalahan pengetikan konten kampanye. “Seharusnya masjid pertama di RT 6, Dusun Tapan, Desa Kepuhrejo,” ucapnya. Kini konten itu telah diubah. Mengenai donasi yang dipotong hampir separuh, Celiana berdalih itu untuk biaya operasional ACT. “Juga untuk biaya iklan oleh Kitabisa.”
Kejadian serupa berulang di Sydney, Australia. Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia mempersoalkan pemotongan donasi pembangunan oleh Aksi Cepat Tanggap. Dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, ACT memberikan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi.
“Pemotongan donasi ini terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, pekan lalu. Meilanie adalah warga Indonesia yang tinggal di Sydney. Keluarga Meilanie salah satu pendiri Surau Sydney Australia.
Kasus itu bermula pada April 2020 ketika pengurus Surau Sydney Australia mengajukan permohonan penggalangan donasi kepada Aksi Cepat Tanggap. Rencananya surau akan didirikan di kawasan Bankstown, pinggiran barat daya Sydney, di Negara Bagian New South Wales. Pihak ACT lantas bekerja sama dengan pengelola platform Kitabisa.com untuk mengkampanyekan donasi tersebut.
ACT membuat poster iklan donasi berisi foto sejumlah orang yang menunaikan salat di lapangan terbuka. Tertulis di poster yang disertai penggalan hadis itu: “Sedekah Jariyah: Dirikan Surau Pertama di Sydney”. Selain dipajang di situs Kitabisa, ajakan donasi itu diiklankan di Facebook. Dalam waktu delapan bulan, hampir 39 ribu donasi yang terkumpul mencapai Rp 3 miliar.
Kandang kelompok Ternak Haji Mukhlis , Desa Labangka, Kecamatan Labangka, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 2 Juni 2022. TEMPO/Akhyar M Nur
Persoalan timbul karena iklan di Facebook tidak gratis. Biaya iklan itu mencapai Rp 507,723 juta. ACT juga mengambil Rp 168,980 juta. Selain itu, ada potongan biaya administrasi bank penyedia metode pembayaran donasi, seperti virtual account bank, E-wallet, dan kartu kredit, sebesar Rp 29,472 juta. Seluruh biaya tersebut diambil dari duit donasi.
“Ini sudah seperti tengkulak. Semestinya, jika mengacu pada aturan syariat Islam, pemotongan donasi keagamaan tidak boleh lebih dari 12,5 persen,” kata Ikhsan Zakir, 60 tahun, pendiri Surau Sydney Australia, saat dihubungi Tempo, Kamis, 30 Juni lalu.
Ikhsan juga mempersoalkan isi kampanye yang ia nilai berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta. “Bohong jika dikatakan ini adalah pembangunan surau pertama di Sydney. Saat ini ada lebih dari 160 tempat ibadah Islam di Sydney,” ucapnya. Jumlah itu tak termasuk yang belum mendapat izin dari pemerintah setempat.
Presiden Direktur Kitabisa Alfatih Timur mengatakan biasanya lembaga itu tak beriklan di media sosial ketika menggelar kampanye pengumpulan donasi. Menurut Alfatih, Kitabisa beriklan di Facebook karena ada permintaan ACT. “ACT atas persetujuan pengurus surau meminta kami beriklan di Facebook supaya bisa menjangkau lebih banyak donatur,” ujarnya.
Sedangkan soal isi kampanye yang berisi klaim pembangunan surau pertama di Sydney, Kitabisa tidak ikut membuatnya. Kepala Komunikasi Kitabisa Iqbal Hariadi mengatakan lembaganya hanya menerima poster jadi dari ACT.
Pengurus Surau Sydney Australia membenarkan pemotongan donasi tersebut atas persetujuan mereka saat berkomunikasi dengan ACT. “Sejak awal kami sudah setuju itu dipotong, termasuk untuk iklan ke Facebook. Tidak ada masalah bagi kami,” tutur Ketua Surau Sydney Australia Novri Latif.
Meski sudah ada kesepakatan antara ACT dan pengurus surau, pendiri Surau Sydney, Ikhsan Zakir dan Meilanie Buitenzorgy, tetap mempersoalkan besarnya potongan donasi tersebut. “Ini bukan hanya persoalan antara ACT dan pengurus surau, tapi juga persoalan para donatur. Donatur tidak tahu bahwa duit yang mereka sumbangkan akan dipotong sebesar itu,” kata Ikhsan.
Terlalu besarnya potongan donasi itu dibenarkan oleh peneliti filantropi, Hamid Abidin. Ia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang menyebutkan potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen.
“Potongan untuk biaya operasional dan lain-lain sudah termasuk di dalamnya,” ujar Hamid. Menurut dia, lembaga filantropi seharusnya jujur dan menyampaikan sejak awal potongan donasi yang diterapkan. Dengan begitu, donatur bisa mengetahui dan memilih kepada siapa donasi disalurkan.
Hamid menyatakan banyak lembaga pengumpul donasi kerap melebih-lebihkan promosinya. Ia menilai kampanye pembangunan masjid di Sydney dan Magetan termasuk pelanggaran kode etik karena menggunakan informasi bohong. “Pihak crowdfunding, seperti Kitabisa, juga tak boleh lepas tanggung jawab. Kalau ada konten yang tidak benar, jangan dinaikkan,” ucap Hamid.
Publikasi program Aksi Cepat Tanggap yang tidak sesuai dengan fakta juga dipersoalkan oleh Mukhlis, 50 tahun, pengusaha asal Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pada Agustus 2018, Mukhlis menerima sejumlah petinggi ACT di lokasi peternakannya di Kecamatan Labangka, Sumbawa. Presiden ACT saat itu, Ahyudin, ikut datang.
Kepada Mukhlis, petinggi ACT memberi tahu soal besarnya manfaat sosial dari wakaf yang dikelola oleh Global Wakaf Corporation, lembaga yang dimiliki Yayasan ACT. Mukhlis sempat diajak mengunjungi lumbung ternak wakaf di Blora, Jawa Tengah. Diimingi janji membuat peternakan sapi modern di lokasi miliknya, Mukhlis setuju mewakafkan tanahnya.
Belakangan, lumbung ternak wakaf di Blora ditutup. Penelusuran Tempo menunjukkan bahwa jumlah kambing yang dilaporkan mencapai lebih dari 12 ribu ekor pada akhir 2019 ternyata jauh dari kenyataan. Dokumen yang didapat Tempo menyebutkan hanya ada 2.200 ekor kambing yang dipelihara.
Setelah Mukhlis setuju, tim Global Wakaf memasang spanduk bertulisan “Lumbung Ternak Wakaf” di kandang sapi miliknya. Dia juga diminta membuat testimoni mengenai manfaat berwakaf melalui Global Wakaf Corporation. Video tersebut disebarkan di media sosial. Global Wakaf juga menyebarkan siaran pers ke sejumlah media lokal.
Mukhlis terkaget-kaget ketika mengetahui isi kampanye besar-besaran itu. “Saya bingung, belum ada akad wakaf tapi ACT (Global Wakaf Corporation) sudah mengabarkan di media massa bahwa saya mewakafkan 400 sapi dan tanah 43 hektare,” kata Mukhlis.
Ketua Yayasan Aksi Cepat Tanggap yang juga Presiden ACT, Ibnu Khajar, membenarkan kabar bahwa lembaganya membuat dan menyebarkan publikasi mengenai wakaf 400 sapi dan 43 hektare lahan milik Mukhlis ke media. “Itu lebih kepada ekspresi kebahagiaan, bahwa ada orang baik yang hendak berwakaf, supaya menjadi inspirasi bagi banyak orang,” ujarnya. Ibnu menolak menjelaskan batalnya wakaf tersebut. “Ada syarat dalam syariat Islam yang belum terpenuhi.”
SHINTA MAHARANI (BANTUL), NOFIKA DIAN NUGROHO (MAGETAN), AKHYAR M. NUR (SUMBAWA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo