Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendiri dan pengelola ACT diduga sembrono menggunakan dana sumbangan.
Keuangan pengumpul donasi itu bermasalah sejak akhir 2021 akibat mismanajemen.
Belum ada regulasi yang mengatur pertanggungjawaban penggalangan dana masyarakat.
KEDERMAWANAN banyak orang Indonesia merupakan pasar luas bagi kegiatan penggalangan dana. Mereka tulus menyetorkan donasi untuk membantu sesama. Korban bencana adalah penerima manfaat terbesar. Penikmat lain yang tak terlihat pemberi donasi: petinggi sebagian lembaga pengumpul sumbangan. Mari kita tengok Yayasan Aksi Cepat Tanggap atau ACT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri sejak 2005, lembaga itu gencar mengumpulkan donasi publik. Hasilnya lalu disalurkan ke lokasi bencana alam, wilayah yang warganya kelaparan, hingga daerah perang di luar negeri. Bukan kaleng-kaleng, pada 2018-2020 organisasi ini mengumpulkan rata-rata Rp 540 miliar per tahun donasi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberhasilan ACT meraup dana dalam jumlah besar tak lepas dari nilai-nilai religius masyarakat yang meyakini “sumbangan dalam jumlah tertentu bakal menerima balasan lebih besar dari Tuhan”. Pada 2021, lembaga amal global Charities Aid Foundation mengukuhkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Dari penelitian ini, delapan dari sepuluh orang Indonesia menyumbangkan uangnya untuk kegiatan sosial.
Semangat solidaritas, terutama dari kelompok masyarakat muslim, makin memperkuat semangat untuk berdonasi, misalnya buat korban konflik di Palestina. Dengan kampanye masif dan pengalaman lembaga ini, banyak orang lalu menyalurkan sumbangan mereka melalui ACT. Hasil penggalangan dana digunakan, antara lain, untuk mengirim tenaga medis dan bantuan kemanusiaan ke kawasan Gaza, Palestina, dan sejumlah daerah yang terkena bencana alam. Dalam banyak peristiwa bencana di Tanah Air, bantuan dari lembaga ini datang lebih cepat daripada organ-organ pemerintah. Bisa jadi hal itu dipengaruhi kesigapan dan fleksibilitas lembaga semacam ACT yang menutup kelambatan rantai birokrasi pemerintah.
Di balik kekuatan itu, terungkap rahasia dapur ACT yang menunjukkan ironi penggalangan dana: gaya hidup mewah pengurusnya. Rahasia itu terbuka setelah muncul kekacauan dalam pengelolaan keuangan ACT sejak akhir tahun lalu. Finansial lembaga itu limbung. Penyebabnya antara lain gaji besar dan fasilitas mewah para pendiri dan pejabat yayasan.
Majalah ini memperoleh temuan pengeluaran gaji tinggi dan fasilitas mewah dari kas ACT. Ahyudin, pendiri dan mantan Presiden ACT, ditengarai menerima gaji sebesar Rp 250 juta per bulan. Kemudian pejabat senior vice president menerima Rp 200 juta, vice president dibayar Rp 80 juta, dan direktur eksekutif mendapat Rp 50 juta. Gaji para pejabat ACT ibarat bumi dengan langit jika disandingkan dengan lembaga amal sejenis. Para petinggi yayasan ini juga menerima fasilitas kendaraan dinas menengah ke atas seperti Toyota Alphard, Honda CR-V, dan Mitsubishi Pajero Sport. Bukan hanya itu, Ahyudin juga secara leluasa memakai dana organisasi untuk membayar uang muka rumah dan pembelian furnitur buat istrinya.
Sebagai bentuk kepedulian sosial, kegiatan ACT dan lembaga pengumpul dana umat lain memang diperlukan. Namun diperlukan pengaturan khusus tentang mekanisme pengumpulan dan akuntabilitas penyelenggaranya. Artinya, perlu ada aturan yang menutup peluang terjadinya moral hazard dalam pengumpulan donasi publik.
Kekosongan aturan ini yang terlambat diisi pemerintah. Pengumpulan dana umat hanya diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua regulasi lawas itu hanya mengatur sistem birokrasi perizinan, mengabaikan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan masyarakat.
Karena kosongnya regulasi, para pengumpul dana umat serupa ACT bisa sembarangan melakukan akrobat keuangan. Salah satunya program Lumbung Ternak Wakaf di Blora, Jawa Tengah, dengan melaporkan terdapat 12 ribu kambing pada Maret dan April 2019. Padahal pengecekan lapangan menunjukkan hanya ada sekitar 2.200 kambing disalurkan. Artinya, ada selisih hampir 10 ribu kambing yang tidak jelas juntrungannya.
Walhasil, pengaturan sektor filantropi, yang dari tahun ke tahun terus bertumbuh, menjadi keharusan. Kejelasan aturan bisa menjadi pedoman para penderma memilih lembaga amal tepercaya, tanpa khawatir donasi mereka digunakan untuk membiayai gaya hidup mewah pengelolanya.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo