Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Bogem Maut Prajurit Laut

Berawal dari kasus hilangnya mobil seorang pengusaha, enam anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) diduga menganiaya seorang pemilik pencucian mobil di Purwakarta, Jawa Barat, hingga tewas. Terancam hukuman penjara seumur hidup.

 

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang pengusaha dan enam prajurit TNI Angkatan Laut diduga menculik dan membunuh seorang pemilik tempat pencucian mobil di Purwakarta.

  • Seorang pelaku diduga memiliki hubungan asmara dengan pemilik mobil yang turut menjadi tersangka pembunuhan.

  • Korban tewas akibat paru-paru tertusuk tulang rusuk yang patah.

SEORANG pria berambut cepak menjemput Ade Mustopa di rumahnya di Desa Jatimekar, Purwakarta, Jawa Barat, pada Sabtu sore, 29 Mei lalu. Ia mengaku ingin mempertemukan Ade dengan bosnya, Rasta, seorang juragan ikan. Menurut tamu ini, Rasta hendak membicarakan perkara mobil yang hilang.

Ade, 42 tahun, memang memakai mobil Rasta pada Januari lalu. Mobil itu menghilang di dekat tempat pencucian mobil milik Francisco Manalu di Jalan Ipik Gandamanah. Ade pernah diminta membuat surat pengakuan menghilangkan mobil pada awal Mei lalu. Karena itu, ia tak menolak ketika pria berambut cepak tersebut mengajaknya ke sebuah penginapan sekitar 100 meter dari rumahnya. Di situ, menurut pria ini, Rasta dan Manalu sudah menunggu.

Penginapan itu dikenal dengan nama Wisma Gadjah Mada Indonesia. Lokasinya berada di dataran tinggi tak jauh dari bibir Waduk Jatiluhur. “Di sana saya dan Francisco Manalu disiksa,” ujar Ade pada Rabu, 28 Juli lalu.

Ade lolos dari maut. Francisco, laki-laki 40 tahun, tewas seketika. Para penganiayanya mengubur jasadnya di sepetak tanah kosong di wilayah Jonggol, Bogor, Jawa Barat—dua setengah jam perjalanan dengan mobil dari Purwakarta. Dari pengakuan Ade, mereka yang menyiksanya diduga enam personel anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisco Manalu (40). /Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahdan, di wisma itu Ade memang berpapasan dengan Rasta di halaman. Tapi mereka tak bertegur sapa. Tamunya itu menggiringnya ke sebuah kamar di ujung bangunan. Di sana sudah ada lima orang menunggu. Tapi Francisco tidak ada di situ.

Di dalam kamar, kata Ade, para lelaki itu menelanjanginya. Seseorang lalu mematikan lampu. Dalam keadaan gelap, keenam pria tersebut membentak dan meminta Ade bertanggung jawab atas hilangnya mobil Rasta. Ade menolak permintaan itu. “Saya tidak tahu siapa pencuri mobil itu,” ucapnya.

Lalu, buk! Seseorang memukul punggungnya. Pukulan itu diikuti bertubi-tubi dengan pukulan lain. Seseorang lalu menghajarnya dengan benda menyerupai slang plastik. Ade berusaha melindungi kepala dengan kedua tangannya. Akhirnya, ia roboh. Darah mengalir dari hidungnya.

Seorang penganiaya kembali memaksa Ade mengakui telah mencuri mobil Rasta. Dia bahkan memutarkan sepotong rekaman suara yang ia klaim berasal dari pengakuan seseorang yang mengetahui orang-orang yang terlibat pencurian mobil Rasta. Ade bergeming.

Karena terus membantah, para lelaki itu lalu mendatangkan Francisco. Rupanya ia sudah diinterogasi di kamar lain. Wisma ini berbentuk huruf L dengan enam kamar. Tubuh Francisco saat itu terlihat lunglai. Seseorang menyodorkan minuman untuk keduanya. “Bahkan untuk mengangkat gelas saja dia sudah tidak mampu,” tutur Ade, mendeskripsikan kondisi Francisco.

Tempat usaha cuci mobil Putra Trijaya, di Purwakarta, milik keluarga Francisco Manalu, 26 Juli 2021./TEMPO/ Riky Ferdianto

Ia mengaku keder melihat kondisi Francisco. Khawatir akan keselamatannya, Ade akhirnya mau menandatangani surat pengakuan yang sudah disiapkan para lelaki itu. Sekitar pukul 21.00, seorang pria mengantarnya pulang dengan sepeda motor.

Itu adalah hari terakhir Ade melihat Francisco. Ia baru mengetahui kematian Francisco setelah Kepolisian Resor Purwakarta menyidik kasus penganiayaan di Wisma Gadjah Mada tersebut beberapa hari kemudian. “Saya melaporkan penganiayaan itu ke polisi dua hari setelah kejadian,” tuturnya.

Tempo menyambangi wisma tersebut pada Senin, 26 Juli lalu, sejumlah pria berambut cepak dan berotot terlihat bercengkerama di depan penginapan. Usia mereka 20-25 tahun. Mereka mengaku tak mendengar apa pun saat Ade dan Francisco dibawa ke wisma pada 29 Mei itu. 

•••

ADE Mustopa baru saja selesai mengantarkan ikan milik Rasta ke pelanggan pada Rabu siang, 13 Januari lalu. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir itu mampir ke bengkel dan tempat pencucian mobil Putra Trijaya milik temannya, Francisco Manalu. Lantaran tak mendapat tempat parkir, ia memarkir mobil bak terbuka milik bosnya itu di halaman supermarket yang bersebelahan dengan bengkel.

Tak lama berselang, pengelola supermarket meminta Ade memindahkan mobil. Francisco menawarkan Ade agar memindahkan mobil ke rumah kontrakannya sekitar 100 meter dari tempat pencucian mobil. Ade setuju, lalu menyerahkan kunci mobil.

Setelah dipindahkan, Francisco mengembalikan kunci mobil kepada Ade. Saat hendak pulang, Ade tak menemukan mobil itu. “Saya langsung melapor ke polisi,” ujar Ade.

Kemudian ia membantu Rasta mengurus laporan kehilangan mobil ke perusahaan leasing dan perusahaan asuransi. Si bos disebut akan menerima uang pengganti dari asuransi senilai Rp 63 juta. Belakangan, Rasta mengklaim merugi Rp 75 juta. Ia meminta Ade mengganti kerugian itu dalam tempo tujuh hari. Pada 5 Mei lalu, ia menandatangani pernyataan bersedia mengganti kerugian dengan mengagunkan rumahnya.

Lahan kosong di Desa Sukanegara, Jonggol, Kecamatan Jonggol, Jawa Barat, yang dijadikan tempat penguburan Fracisco Manalu, 26 Juli 2021.

Ade tak kunjung membayar karena berharap polisi segera mengungkap pencurian mobil. Namun kasus ini tak kunjung ada kejelasan sepekan kemudian. Hubungan Ade dan Rasta pun menegang. Ade menolak penyitaan rumah. Keduanya tak berjumpa hingga seorang pria berambut cepak mendatanginya pada 29 Mei lalu.

Francisco diduga dijemput pada waktu yang sama. Purnawati, kasir pencucian mobil Putra Trijaya, mengatakan sempat melihat bosnya menaiki mobil Toyota Avanza berwarna putih bersama beberapa orang pada Sabtu sore, 29 Mei lalu.

Ia tak mendengar kabar Francisco setelah itu. Purnawati menyadari bapak dua anak itu tengah bermasalah setelah menerima surat panggilan pemeriksaan dari Kepolisian Resor Purwakarta dua pekan kemudian. Polisi memanggil Francisco sebagai saksi kasus pencurian mobil. “Saya bingung karena Bapak sudah lama tak pulang,” ucap Purnawati.

Jhonisah Pandapotan Manalu, ayah Francisco, lantas mendatangi Polres Purwakarta. Ia mencari tahu keberadaan anaknya. Dari para polisi, Jhonisah mengetahui Francisco sudah meninggal karena dianiaya sejumlah personel TNI Angkatan Laut. Polisi menyarankan dia membuat surat kehilangan. “Besoknya saya didatangi petugas Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Angkatan Laut,” katanya.

Informasi polisi soal penganiaya anaknya ada kemungkinan benar. Karena Kepala Satuan Penyidikan Puspom TNI Angkatan Laut Letnan Kolonel Muriantoni mengatakan keenam prajurit yang diduga terlibat itu sudah ditangkap pada 16 Juli lalu.

Dari kesaksian mereka, Jhonisah tahu anaknya diduga meninggal pada malam penganiayaan. Para penganiaya membawa dan mengubur jasad Francisco di lahan kosong di Desa Sukanegara, Jonggol, pada Ahad pagi, 30 Mei lalu. “Ide itu datang dari Rasta,” kata Muriantoni. “Untuk mencari lokasi lahan itu, mereka memakai aplikasi Google Maps.”

Tempo menyambangi lahan kosong tersebut pada Selasa, 27 Juli lalu. Jika melewati jalan tol, lokasinya berjarak sekitar 94 kilometer dari Wisma Gadjah Mada, Jatiluhur. Dibutuhkan waktu sekitar dua setengah jam mengendarai mobil untuk menjangkau lokasi tersebut. Rute yang sulit membuat perjalanan melambat. Pengendara harus melintasi jalan kecil yang dilapisi batu makadam sepanjang 1 kilometer dari jalan utama desa menuju tanah kosong itu.

Menurut Muriantoni, semua personel TNI Angkatan Laut yang terlibat tidak mengenal Ade dan Francisco. Mereka hanya mengenal Rasta lantaran salah seorang pelaku penganiayaan berpacaran dengan anaknya. Dari pacar anak Rasta itulah urusan penganiayaan dan pencurian mobil berbuntut panjang. “Muncul inisiatif menanyakan kembali soal itu kepada para korban,” tutur Muriantoni.

Muriantoni mengklaim para tersangka tak berniat membunuh. Menurut dia, para prajurit muda itu tak menyangka pukulan ke tubuh Francisco terlalu keras dan berakibat fatal. Ia mengatakan hasil autopsi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan Francisco tewas akibat paru-parunya tertusuk tulang rusuk kiri yang patah. “Rasta dan enam anggota TNI Angkatan Laut sempat panik begitu tahu Francisco meninggal,” kata Muriantoni. “Lalu muncul ide mengubur jasad di Jonggol.”

Menurut Muriantoni, para personel TNI AL itu akan dijerat dakwaan berlapis, di antaranya Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Sekretaris Pengadilan Militer Bandung Mayor Handoko mengatakan pihaknya sudah menerima berkas dakwaan para pelaku. “Nanti tunggu saja sidangnya,” ucapnya.

Polisi juga menjerat Rasta dengan pasal yang sama. Ia dianggap turut serta dalam pembunuhan berencana terhadap Francisco Manalu. “Penerapan pasal itu dasarnya adalah petunjuk kejaksaan saat berkas berstatus P-19,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Purwakarta Ajun Komisaris Fitran Romajimah.

Fitran mengatakan timnya juga masih mengusut laporan kehilangan mobil Rasta. “Belum ada bukti yang mengarah pada keterlibatan Ade Mustopa ataupun Francisco Manalu,” ujarnya.

Pengacara Rasta, Rina Eka Arinawati, memprotes penerapan pasal pembunuhan berencana terhadap kliennya. Penculikan para korban, dia menjelaskan, berasal dari inisiatif anggota TNI Angkatan Laut karena ingin membantu Rasta. Ia pun menolak perkara ini dikaitkan dengan hubungan anak Rasta dengan salah seorang pelaku.

Ia membantah Rasta memberi ide mengubur Francisco di Jonggol. “Klien saya hanya diminta menunjukkan alamat rumah para korban,” tuturnya.

Rina menyebutkan perkara mobil hilang sudah diproses pihak asuransi dan perusahaan leasing. Namun ia mengaku uang pengganti sebesar Rp 63 juta belum cukup menutupi kerugian Rasta. Rasta dan personel TNI AL tersebut berupaya meminta Francisco bertanggung jawab karena mobil itu hilang setelah dipindahkan dan kunci berpindah tangan. “Lokasi kehilangan mobil itu berada tak jauh dari usaha cuci mobil milik korban,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus