Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Upaya pemerintah membuat peralatan tes RT-PCR di dalam negeri belum optimal.
Ketergantungan pada peralatan impor membuat biaya tes PCR mahal.
Komponen dalam negeri masih terbatas dan belum efisien.
SUDAH dua hari tenda biru tempat tes real-time polymerase chain reaction atau RT-PCR Rumah Sakit Unggul Karsa Medika di Jalan Taman Kopo Indah 3, Kabupaten Bandung, sepi pengunjung. Hanya ada dua petugas yang berjaga di sana. Mereka menolak pengunjung yang datang untuk menjalani tes Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 28 Oktober 2021, manajemen Rumah Sakit Unggul Karsa menghentikan layanan tes PCR. “Semua layanan PCR sementara tutup karena ada perawatan peralatan,” kata Kinan, petugas layanan informasi Rumah Sakit Unggul Karsa, pada Sabtu, 30 Oktober lalu. Tapi para pegawai di rumah sakit itu mengatakan layanan dihentikan karena pemerintah menurunkan harganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari sebelumnya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengumumkan tarif baru tes PCR di Jawa dan Bali menjadi Rp 275 ribu dari semula Rp 495 ribu. Untuk luar Jawa dan Bali yang semula biayanya Rp 525 ribu turun menjadi Rp 300 ribu. Penetapan tarif baru tes PCR ini merupakan perintah Presiden Joko Widodo.
Meski harga turun, pemerintah akan memperluas pemberlakuan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasi, dari semula hanya untuk penumpang pesawat. Toh, perluasan tes ini membuat sejumlah rumah sakit dan laboratorium resah.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia Aryati mengatakan biaya rumah sakit atau laboratorium untuk tes PCR tidak murah. Keputusan pemerintah menurunkan tarif tes PCR dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu pada Agustus lalu, menurut Aryati, membuat untung mereka mengecil.
Anggota tim peneliti Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Savira Ekawardhani, mengatakan ada banyak faktor yang mempengaruhi biaya tes PCR. Selain pembelian reagen dan ongkos pekerja medis, penggunaan mesin PCR berpengaruh. Satu mesin PCR bisa menguji puluhan hingga ratusan spesimen sekaligus. Jika rumah sakit atau laboratorium bisa mengoptimalkan penggunaan mesin sesuai dengan kapasitas, biaya operasional tes PCR bisa ditekan.
Sebenarnya sejumlah laboratorium dan rumah sakit sudah mempraktikkan cara itu selama ini. Mereka biasanya mengumpulkan spesimen pasien hingga memenuhi atau mendekati kapasitas mesin untuk selanjutnya diuji bersama-sama.
Hal ini pula yang dulu menyebabkan adanya perbedaan tarif dan waktu tunggu hasil tes PCR. “Misalnya mesin berkapasitas 100 spesimen. Karena ada pasien yang ingin hasil lebih cepat, bisa saja mesin dipakai menguji 10 orang dengan konsekuensi ada 90 slot yang kosong. Konsekuensinya, pasien yang ingin lebih cepat mesti bayar lebih mahal,” ujar Savira pada Kamis, 28 Oktober lalu.
Ketika kasus infeksi mereda, jumlah pasien yang menjalani tes PCR juga menurun. Menurut Savira, situasi ini bisa disiasati jika manajemen rumah sakit bisa efektif.
Tarif tes PCR muncul sejak awal pandemi tahun lalu. Biaya tes PCR waktu itu Rp 2,5 juta. Rumah sakit beralasan semua mesin PCR dan reagen diimpor. Belum lagi tenaga medis yang mampu menjalankan mesin PCR masih terbatas.
Tes PCR melalui sejumlah tahap. Setelah diambil, spesimen dimasukkan ke cryotube berisi viral transport medium atau universal transport medium, yang selanjutnya dibungkus dan disimpan di kotak pendingin dengan suhu 2-8 derajat Celsius sebelum dikirim ke laboratorium. Di laboratorium, spesimen tersebut diekstraksi dan diuji di mesin PCR.
Dari proses tersebut, biaya untuk pembelian alat pelindung diri tenaga kesehatan dan reagen mencapai 40-50 persen dari total struktur harga tes RT-PCR. Selebihnya biaya jasa tenaga medis, administrasi, dan operasional mesin PCR. Harga mesin PCR Rp 2 miliar.
Mesin real time PCR Auto Magnetic Extractor yang dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran di Bandung, Jawa Barat, Oktober 2021. TEMPO/Prima mulia
Pemerintah lalu mendorong pembuatan peralatan tes PCR di dalam negeri. Pada Maret tahun lalu, pemerintah membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19, yang terdiri atas sejumlah kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, perguruan tinggi, industri farmasi, dan rumah sakit.
Hasilnya Bio Farma dan Nusantics, perusahaan rintisan alat kesehatan, bisa memproduksi reagen untuk tes PCR bernama mBioCoV-19 RT-PCR Kit. Kepala Komunikasi Bio Farma Iwan Setiawan mengatakan mBioCoV-19 RT-PCR Kit dibuat untuk laboratorium yang memakai peralatan PCR dengan tipe sistem terbuka.
Masalahnya, bahan baku reagen mBioCov tetap diimpor. “Kapasitas produksi juga belum besar sehingga efisiensi masih rendah,” tutur Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Riset dan Inovasi Nasional Agung Eru Wibowo. Walhasil, biaya tes PCR tetap mahal.
Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran melangkah lebih maju. Mereka berhasil mengembangkan alat Auto Magnetic Extractor (AutoMagER) untuk pengecekan sampel pasien Covid-19. Riset itu bekerja sama dengan PT Gerbang Telekomunikasi Indonesia, yang berisi alumnus Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung.
AutoMagER adalah alat untuk mengekstraksi RNA pada sampel yang dibutuhkan untuk pemeriksaan PCR. Sampel yang dimasukkan ke viral transport medium dimurnikan oleh AutoMagER. Kapasitas ekstraksi mesin mencapai 96 sampel dengan waktu 15-40 menit. AutoMagER lebih efektif dibanding peralatan impor. Kapasitas alat serupa buatan Korea Selatan, misalnya, hanya 18-30 sampel. Kelebihan lain: hasil ekstraksi mesin ini bisa dipakai di semua mesin PCR.
Menurut Savira, timnya saat ini sudah menggandeng produsen lokal untuk mengurus perizinan agar AutoMagER bisa diproduksi massal. “Kami masih menunggu izin edar,” ujarnya. Savira berharap alat tersebut nanti bisa dijual dengan harga lebih murah dibanding mesin serupa dari luar negeri. “Sehingga bisa mengurangi biaya tes Covid-19,” katanya.
Savira berharap, jika komponen pendukung tes PCR dalam negeri sudah tersedia secara massal, tak ada lagi alasan rumah sakit menghentikan layanan tes Covid-19 dengan alasan biaya. Bagaimanapun, untuk basis mencegah penularan virus, tes massal menjadi salah satu cara mendeteksinya.
CAESAR AKBAR (JAKARTA), AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo