Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para penulis besar menulis kitab yang menggugat Tuhan.
Dari Divina Commedia Dante hingga Kitab Kesengsaraan Fakhruddin Attar.
Attar jauh lebih dalam dan merisaukan.
ANAKNYA tewas, terbunuh, dan ibu itu menangis, membuka hijabnya, membungkuk, memeluk. Penyair Fakhruddin Attar dari Iran abad ke-13 menggambarkan adegan itu tak hanya tentang kesedihan, tapi juga kemarahan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Punggung perempuan itu melengkung seperti busur
Yang menembakkan panah dukanya ke takhta Tuhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika seseorang menegurnya dan menyuruhnya mengenakan hijabnya kembali, perempuan itu menyahut:
Jika api yang menyala di ulu hatimu sepanas api yang membakarku, yang aku lakukan tak hanya akan kau biarkan, tapi akan kau haruskan.
…jangan menghakimi. Kau bukan ibu seorang anak yang mati.
Dalam sajak ini Attar tampak hanya memungut jawaban seorang malang kepada orang yang menyalahkannya. Jauh lebih dalam, lebih merisaukan, Moṣibatnāmeh (“Kitab Kesengsaraan”) menggugat Tuhan.
Navid Kermani, penulis Jerman keturunan Iran, menyebut “Kitab Kesengsaraan” sebagai “karya paling muram dalam sastra dunia”. Dalam Between Quran and Kafka (saya baca terjemahan Inggrisnya), sebagaimana sebelumnya dalam Der Schrecken Gottes, Kermani menguraikan “pemberontakan kepada Ilahi” yang ditulis Attar dalam 7.539 baris puisi—40 bab “kosmologi kepedihan hidup”.
Dibandingkan dengan Divina Commedia, karya besar Dante di abad ke-14 yang mengkritik tatanan Tuhan secara tak langsung, “Kitab Kesengsaraan” mengucapkan gugatan yang lebih terbuka kepada Sang Pencipta.
Pada awalnya perjalanan seorang “pengembara falsafi” dalam kosmos. Ia sukma yang mencari penebusan dosa dan memperoleh harapan—setidaknya penghibur—karena ia telah dilempar ke dunia tanpa kaki dan kepala. Ia temui Malaikat Jibril, untuk mengeluh dan bertanya: Akankah Tuhan menghapus sakit yang menyiksa ini? Jawab Jibril: “Nasib kami jauh lebih buruk.”
Jawab yang sama gelap dan sama remuk juga diutarakan makhluk langit lain, juga oleh hewan, tanaman, dan apa saja yang ada. Tuhan lebih dekat ketimbang urat nadimu, kata Quran, tapi dalam kesengsaraan semesta, Ia jauh, Ia bisu.
Salah satu cerita Attar yang lain tentang pengalaman Abu Bakr ash-Shibli, sufi abad ke-10, ketika mengunjungi sebuah rumah perawatan orang sakit jiwa di Bagdad. Seorang pasien remaja memohonnya, sungguh-sungguh, agar dalam salatnya nanti, Ash-Shibli bertanya kepada Tuhan mengapa Ia menyiksa. Anak itu compang-camping di tempat asing, dijauhkan dari ayah-ibu, kelaparan dan kedinginan. Mengapa Allah tak membiarkannya lepas?
Sang sufi berjanji menyampaikan pesan anak itu kepada Tuhan dan, dengan mata basah, meninggalkan tempat itu. Tapi, sesampai di luar pintu, ia dengar anak itu berseru: “Jangan, mohon jangan ceritakan kepada Allah apa yang aku minta kepada tuan. Jangan sepatah kata pun. Jika tuan sampaikan pesanku, Tuhan akan menyiksaku 100 kali lebih kejam. Aku sendiri tak akan berdoa. Ia tak pernah mendengar permintaanku. Ia puas dengan diri-Nya sendiri.”
Tuhan yang maha kuasa tapi tak berbelas kasih—dan tak adil—itu agaknya citra yang tak bisa dilepaskan dari kezaliman, kebuasan, bencana—ya, semua Mala—yang tiap kali menimpa hidup. Attar hanya salah satu yang melukiskannya, dengan protes.
Dalam Alkitab ada cerita siksaan bengis Tuhan kepada Ayub yang tak berdosa. Tapi dalam teks itu tak ada gugatan, hanya keluhan. Dalam ajaran Buddha, kata dukkha—yang disebut sebagai esensi kehidupan—sering diartikan sebagai “sengsara”, tapi dalam Buddhisme tak ada kemarahan kepada Tuhan (karena Tuhan dianggap tak relevan). Hanya Schopenhauer, filosof atheis Jerman abad ke-19 yang akrab dengan Buddhisme, yang melihat ciptaan ini patut disesali. Filsafatnya variasi atas Moṣibatnāmeh. “Jika seorang Tuhan-lah yang membuat dunia ini”, tulisnya, “maka aku tak akan mau seperti tuhan itu: derita dan duka cita dunia akan melukai hatiku.”
Berbeda dari Schopenhauer, “pemberontakan metafisik” Attar, menurut Kermani, tak membuatnya menampik Tuhan. Penyair “Kitab Kesengsaraan” tak dengan getir membuang imannya ke air payau. Seperti ditulis Albert Camus di pertengahan abad ke-20, “Sejarah pemberontakan metafisik tak bisa dicampuradukkan dengan sejarah atheisme.” Le révolté défie plus qu'il ne nie. Pemberontakan membangkang, lebih dari menampik.
Kermani juga mengutip tokoh Ivan Dostoyevsky dalam novel Karamazov Bersaudara: “Bukannya aku tak menerima Tuhan, Alyosha. Aku cuma dengan hormat mengembalikan karcis.” Ivan yang pembangkang tak mau bersama Tuhan yang hanya diam ketika anak-anak disiksa.
Di sini kita melihat semacam counter-theology, jika kita boleh pakai istilah Kermani. Dengan kata lain, dalam kepala orang seperti Ivan Karamazov dan Attar, ada theologi yang menyambut Tuhan yang berbeda—Tuhan yang bukan “ganas dan cemburu” seperti disebut sajak Amir Hamzah, melainkan Tuhan yang sungguh rahman dan rahim, yang tak jauh dari penderitaan, yang menyebabkan keadilan dan kemerdekaan selalu mengimbau—begitu berarti, hingga harus ditegakkan, betapa pun muskilnya.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo