Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga jual gabah kering di sejumlah daerah anjlok akibat tingkah tengkulak yang memanfaatkan polemik rencana impor beras.
Petani juga mengeluhkan adanya dugaan aturan main baru yang merugikan dalam proses penyerapan Bulog.
Stok beras lawas jadi beban Bulog setelah kehilangan pasar tetap penyaluran bantuan sosial.
RIBUT-RIBUT soal impor beras membikin Yeni mangkel. Harga jual gabah kering jeblok ketika sawah seluas 1 bau—seukuran lapangan sepak bola—miliknya di Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, baru saja dipanen. Perempuan 34 tahun itu memutuskan menyimpan gabahnya. “Nanti saya jual kalau harganya tinggi,” kata Yeni, Kamis, 25 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang membuat Yeni makin dongkol, ia tahu rencana beras yang belakangan heboh sebenarnya tak diwujudkan dalam waktu dekat lantaran saat ini tengah masuk masa panen raya. Tapi isu impor itu menjadi senjata para tengkulak yang ingin membeli gabah milik Yeni. Harga yang mereka tawarkan hanya Rp 3.500 per kilogram gabah kering, jauh di bawah harga normal Rp 4.500 per kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadilah memiliki keluhan yang sama. Ketua Gabungan Kelompok Tani Sri Busana, Desa Kedokanbunder, Indramayu, Jawa Barat, itu mengalami hal serupa. Di daerah lumbung padi nasional itu, harga jual gabah kering hasil panen pertama tahun ini jeblok di kisaran Rp 3.500-3.700 per kilogram.
Tapi tekanan terhadap para petani di Indramayu yang baru saja memanen padi tak hanya berasal dari para pedagang. Masalah juga datang dari Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Indramayu. Menurut Kadilah, petani yang ingin menjual berasnya dikenai persyaratan anyar. Untuk setiap 10 ton beras yang akan dijual ke Bulog Indramayu, para petani harus membeli sekitar 60 kilogram stok beras dan 50 kilogram terigu dengan harga Rp 7.500 per kilogram. "Beras sampai kapan pun bisa dimakan, terigu kualitasnya bagus tapi masa berlakunya tiga-lima bulan lagi," ujar Kadilah, Selasa, 23 Maret lalu.
Mau tidak mau, Kadilah dan sejumlah petani lain memenuhi syarat itu agar Bulog bersedia menyerap beras mereka. Kadilah menjual lagi beras tebusan itu dengan harga eceran sekitar Rp 7.000 per kilogram. Sedangkan terigu dijual Rp 5.000-6.000 per kilogram.
Kadilah menduga “aturan” baru itu diterapkan agar Bulog bisa menghabiskan stok beras yang memenuhi gudang. "Dulu enggak pernah barter, mungkin karena sekarang di Bulog enggak laku-laku," ucapnya.
Stok beras hasil pengadaan 2018 dan 2019 memang masih menumpuk di sejumlah gudang penyimpanan Bulog di beberapa daerah. Gudang Bulog Cirebon di Desa Tuk, Kecamatan Kedawung, misalnya, saat ini dipenuhi 70 ribu ton beras. Sebanyak 5.000 ton di antaranya merupakan beras impor 2018-2019. Selain itu, ada beras serapan Bulog Cirebon pada periode yang sama sebanyak 4.400 ton.
Tumpukan beras impor yang tersimpan sejak 2018 di gudang Bulog Cirebon, Jawa Barat, 25 Maret lalu. Tempo/Ivansyah
Kepala kantor cabang Bulog Cirebon, Ramadin Ruding, mengatakan kualitas ribuan ton beras impor hasil pengadaan tiga tahun lalu itu menurun. Selama ini kantornya telah berupaya menjaga kualitas beras, misalnya lewat fumigasi dan menggiling ulang. “Biayanya besar. Tapi penurunan kualitas tetap tidak bisa dihindari," tutur Ramadin, Kamis, 25 Maret lalu.
Di tengah persoalan itu, Ramadin menambahkan, Bulog Cirebon terus berupaya menyerap hasil panen petani. Apalagi saat ini sudah masuk musim rendeng alias hujan.
Panen di musim rendeng tak memberi waktu banyak bagi petani untuk menyimpan hasil sawahnya. Pasalnya, mereka harus segera memanfaatkan musim hujan untuk kembali menanam padi. Tapi, menurut Ramadin, upayanya menyerap beras dari petani tak akan maksimal lantaran gudangnya masih dipenuhi stok beras lawas.
Stok beras hasil impor sebanyak 3.000 ton juga masih menumpuk di gudang Bulog Banyuwangi. Kepala kantor cabang Bulog Banyuwangi, Jusri Pake, mengatakan beras itu dulu didatangkan dari Vietnam. "Tersisa karena belum ada permintaan," kata Jusri, Rabu, 24 Maret lalu.
Jusri tak bisa memastikan kapan beras itu bisa dikeluarkan dari gudang. Ihwal stok beras nasional, dia menjelaskan, merupakan wewenang kantor pusat Bulog. "Datanya pusat yang tahu, beras tersebut mau dibawa ke daerah yang kurang beras. Ada regulasinya," ujarnya.
Bulog Banyuwangi, Jusri melanjutkan, sedang berkonsentrasi menyerap hasil masa panen pertama 2021. Dua pekan terakhir, timnya telah membeli hampir 1.000 ton beras.
Menurut Jusri, Bulog memiliki pola kemitraan berupa program Rumah Pangan Kita. Mitra Bulog bisa berupa koperasi, kelompok tani, atau individu. Mereka bisa menjual sejumlah produk Bulog, seperti beras, tepung, dan minyak. Tapi Jusri menegaskan, skema ini tak wajib diterapkan.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal juga menampik adanya ketentuan baru berupa kewajiban membeli produk Bulog bagi petani yang ingin menjual beras. "Enggak ada barter seperti itu. Syaratnya kualitas," tutur Iqbal, Rabu, 24 Maret lalu.
•••
PENUMPUKAN stok beras impor di gudang-gudang Bulog bermula ketika pemerintah mengganti program bantuan Beras Sejahtera (Rastra) dengan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Keputusan ini dilatarbelakangi kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014 yang menemukan maraknya penyelewengan program bantuan yang dahulu dikenal dengan sebutan beras untuk keluarga miskin alias raskin tersebut.
Dilakukan secara bertahap mulai 2018, peralihan program Rastra ke BPNT berlaku sepenuhnya pada 2020. Selama masa transisi itu, kegaduhan seputar sisa stok beras impor 2018 telah berulang kali mengemuka. Pasalnya, penghapusan Rastra memangkas pasar penyaluran beras Bulog. Sebelumnya, Bulog bisa menyalurkan 2,6 juta ton per tahun dari program ini.
Masalahnya, pada 2018, gudang Bulog kedatangan beras hasil importasi sebanyak 1,78 juta ton. Kala itu impor dilakukan lantaran stok di gudang Bulog hanya sekitar 600 ribu ton. Pemerintah dan Bulog telah beberapa kali membahas sejumlah langkah untuk mengatasi tumpukan beras lawas ini.
Namun berbagai cara itu agaknya tak membuahkan hasil. Dalam rapat bersama Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 15 Maret lalu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan bahwa stok beras di gudang Bulog per 14 Maret 2021 mencapai 883 ribu ton. Beras sisa impor 2018 masih sebanyak 275 ribu ton, yang hampir separuhnya turun mutu.
Tahun lalu, ada harapan baru bagi Bulog untuk segera menghabiskan beras sisa impor tersebut. Pemerintah menugasi Bulog menyalurkan bantuan sosial untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Bulog mencampurkan beras stok impor dengan beras serapan dalam negeri. Namun program ini hanya bisa mengurangi tumpukan beras impor 2018 sebanyak 450 ribu ton.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sempat memeriksa sejumlah gudang Bulog untuk memastikan ketersediaan dan kualitas beras buat program bantuan pada September tahun lalu. Menurut Muhadjir, kala itu beras impor masih menumpuk di semua gudang yang ia datangi.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, ini mengaku sempat menemukan beras siap salur yang bobotnya kurang, juga dioplos dengan beras lama. "Waktu di Sumatera Utara ada beras oplosan, saya larang. Saya minta beras baru, panen lokal, sesuai dengan arahan Presiden," ujar Muhadjir, Rabu, 24 Maret lalu.
Menurut Muhadjir, BPNT diberlakukan agar masyarakat penerima bantuan lebih leluasa memilih beras. Dalam program ini, dia mengingatkan, tak ada larangan bagi penerima bantuan untuk menggunakan beras dari Bulog. "Ini tergantung kelincahan dan kemampuan Bulog memastikan mampu-tidak untuk berkompetisi," ucapnya.
Berbeda dengan dalam Rastra, lewat program BPNT, keluarga penerima manfaat mendapat dana dari pemerintah. Mereka bisa membeli beras sesuai dengan kebutuhan, termasuk memilih kualitas yang mereka inginkan, di e-Warong—jaringan agen penjualan program BPNT. Bulog sebenarnya menjadi salah satu pemasok BPNT sejak 2019. Namun, di sana, Bulog kudu bersaing dengan pemasok lain.
Awaludin Iqbal mengatakan tak adanya penyaluran tetap seperti lewat Rastra membuat perusahaannya tak bisa lagi menghitung secara pasti langkah penyaluran rutin. Saat ini Bulog hanya berfokus pada operasi pasar serta penyediaan cadangan untuk bencana alam.
Walau begitu, menurut Iqbal, ada patokan stok yang mesti dipenuhi sepanjang tahun, yakni di kisaran 100 ton di tiap kabupaten/kota serta 200 ton di tiap provinsi. Amanah rapat koordinasi terbatas, dia menambahkan, juga menetapkan Bulog menjaga ketersediaan 1-1,5 juta ton beras. “Sebagian besar tetap dipasok masyarakat melalui mekanisme pasar biasa, itu yang terbesar," kata Iqbal. "Prinsipnya mengikuti pola panen dan mengikuti kondisi harga."
Dia memperkirakan masa panen mencapai puncak pada April-Mei mendatang. Hingga Selasa, 23 Maret lalu, angka serapan gabah Bulog sudah mencapai 146 ribu ton sejak pengadaan tahun ini dimulai. Sedangkan pasokan beras Bulog saat ini mencapai 935 ribu ton. Iqbal memastikan, dengan pasokan yang ada dan kapasitas fasilitas penyimpanan mencapai 3,9 juta ton, mustahil ada gudang Bulog yang penuh.
Pada Jumat, 26 Maret lalu, Presiden Joko Widodo juga menjamin Bulog bakal menyerap beras petani pada masa panen raya. Jokowi telah memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyiapkan anggaran penyerapan beras dari petani. "Saya minta segera hentikan perdebatan yang berkaitan dengan impor beras. Ini justru bisa membuat harga jual gabah di tingkat petani turun atau anjlok," ujarnya.
AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI, DAVID PRIYASIDHARTA (BANYUWANGI), IVANSYAH (CIREBON)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo