Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMLAH kasus tuberkulosis di Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina. Menurut data TB Indonesia pada 2018, terdapat sebanyak 845 ribu penderita, 24 ribu penderita resistan obat, 93 ribu penderita meninggal, dan tingkat kesembuhan 85 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diagnosis terhadap tuberkulosis (TB) masih menghadapi kendala. Sebab, metode deteksi yang tersedia saat ini adalah untuk TB di paru-paru. Jika TB berada di luar paru-paru, deteksi sulit dilakukan.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan lembaga yang dipimpinnya ingin berkontribusi dalam upaya memerangi penyakit ini. “Batan mengembangkan radiofarmaka yang dapat mendiagnosis TB baik di paru-paru maupun di luar paru-paru,” kata Anhar dalam konferensi pers daring, Rabu, 24 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radiofarmaka TB Scan ini adalah produk farmasi kering steril yang di dalamnya terkandung etambutol hidroklorida dan beberapa zat tambahan. Zat tambahan ini berguna untuk membantu proses penandaan atau pengikatan radioisotop teknesium-99m (Tc-99m) ke dalam senyawa etambutol. Widyastuti, peneliti madya bidang teknologi radiofarmaka di Pusat Teknologi Radioisotop Radiofarmaka (PTRR) Batan, mengatakan kit radiofarmaka etambutol ini dibuat untuk kebutuhan diagnosis TB dalam tubuh seseorang.
Widyastuti menjelaskan cara kerja kit tersebut. Awalnya, kit dicampurkan dengan Tc-99m dengan cara dikocok. Campuran itu kemudian disuntikkan ke pasien. Pasien lantas diminta berbaring di bawah alat kamera gama. Campuran lalu terdistribusi ke organ yang mengandung bakteri TB. Etambutol, yang dikenal sebagai salah satu obat TB, lantas akan menempel di Mycobacterium tuberculosis. Unsur radioisotop Tc-99m itu yang lalu memancarkan sinar gama dan nantinya ditangkap kamera gama. “Itu yang kemudian kelihatan di komputer sebagai gambar, semacam citra, seperti noda,” tutur Widyastuti, Kamis, 25 Maret lalu.
Badan Nuklir Pendeteksi Tuberkulosis/Tempo
Alat dari Batan ini merupakan bentuk terobosan. Menurut Widyastuti, selama ini TB mudah dilacak dengan metode konvensional jika terdapat di paru-paru. Cara deteksinya adalah dengan roentgen foto toraks. Tapi kini TB berkembang bisa di luar paru. “TB sekarang sudah ditemukan di kulit, tulang, dan lain-lain,” ucap Widyastuti. Dia menambahkan, selama ini standar emas (gold standard) pemeriksaan TB adalah dari mikrobiologi, dengan mengecek dahak menggunakan mikroskop.
Widyastuti menambahkan, Batan awalnya meneliti radiofarmaka etambutol karena ada kebutuhan dari Kementerian Kesehatan yang melihat penyakit TB sedang berjangkit lagi. Bahkan ada kumannya yang diketahui sudah kebal terhadap sejumlah obat-obatan TB yang beredar di pasar. Banyak lembaga kemudian ikut serta dalam upaya mengatasinya. “Ada yang mengembangkan obat baru. Kami di Batan yang kemampuannya mendeteksi, ya, kontribusinya menyiapkan radiofarmaka itu,” ujarnya.
Anhar mengatakan riset radiofarmaka ini berlangsung lama karena tidak mudah mendapatkan farmasi untuk kebutuhan deteksi dan diagnosis TB. Penelitian awal dilakukan pada 2003 di Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan Batan di Bandung. Setelah itu, hasilnya dikembangkan untuk skala produksi di PTRR Batan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Anhar menjelaskan, untuk pengembangan kit ini, Batan dibantu Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin dan Universitas Padjadjaran di Bandung serta dokter spesialis kedokteran nuklir. Kerja sama juga dilakukan dengan PT Kimia Farma untuk produksi. CT Scan didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan pada 2020 untuk mendapatkan izin edar sebelum diproduksi secara komersial. Izin edarnya keluar pada 22 Februari lalu. “Kehadiran kit etambutol ini diharapkan bisa membantu pemerintah menangani penyakit TB,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo