Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Pekalongan, Hoegeng mengumpulkan informasi tentang rencana pemberontakan.
Informasi dari Hoegeng membuat pemberontakan di berbagai kota bisa digulung.
Ia pernah ditangkap oleh NICA dan ditahan selama sekitar tiga pekan.
DATANG ke Desa Tengaran, Kota Salatiga, Jawa Tengah, pada pertengahan 1945, Hoegeng Iman Santoso langsung menghadap pemimpin polisi Jepang setempat. Hoegeng dan rekannya, Soenarto, memperlihatkan surat tugas dari kepala polisi asal Jepang di Semarang bernama Habara. Tertulis dalam surat itu, keduanya diminta menyelidiki gangguan keamanan di Tengaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengambil hati sang polisi, Hoegeng yang saat itu menjabat Kepala Seksi II Kepolisian Kota Semarang mengatakan pemimpin tersebut lebih pantas menyelidiki gangguan keamanan. Pejabat polisi itu sumringah dan setuju mengambil alih penugasan tersebut. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein Alaydrus, kepala polisi itu malah membuat laporan yang berbeda. “Isi laporannya memuat kenakalan tentara Jepang di Tengaran dan Salatiga,” ujar Rushdy ketika dihubungi, Selasa, 10 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Habara menugasi Hoegeng dan Soenarto menyelidiki gerakan kepemudaan di Tengaran. Ia mencurigai ada kelompok pemuda berideologi komunis yang menghasut masyarakat untuk berbuat rusuh. Gerakan itu pun tertulis dalam surat yang dibawa Hoegeng dan Soenarto. Namun, ketika bertemu dengan pemimpin polisi Tengaran, Hoegeng menutupi kata-kata yang menyebut gerakan pemuda itu. Hoegeng tahu betul, kelompok pemuda itu merupakan utusan dari Jakarta yang menggaungkan kemerdekaan.
Tanpa diketahui Habara, Hoegeng menemui kelompok pemuda di Tengaran. Ia meminta mereka segera angkat kaki dari Salatiga karena gerakan mereka sudah diketahui Jepang. Hoegeng dan Soenarto sama sekali tak melaporkan gerakan pemuda ini kepada atasannya di Semarang ataupun pemimpin polisi di Tengaran. “Akan merugikan Indonesia jika para pemuda itu dilaporkan kepada Jepang,” kata Hoegeng sebagaimana tertulis dalam buku autobiografi berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan.
Upaya memerdekakan Indonesia makin gencar pada 1945. Pun setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, muncul gerakan mengusir tentara Jepang yang masih bercokol di Tanah Air. Pertempuran pun meletus di sejumlah daerah. Salah satunya di kota kelahiran Hoegeng, Pekalongan, Jawa Tengah. Namun diduga ada rencana lain di balik pengusiran tentara Jepang tersebut.
Dalam autobiografinya, Hoegeng menulis bahwa Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro mendapat informasi ada potensi pemberontakan di Pekalongan yang salah satunya disebabkan oleh pengangkatan pejabat lokal di sana. Pada September 1945, Wongsonegoro menugasi Subandrio dan Sayuti Melik ke Pekalongan. Adapun Hoegeng diminta oleh Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang Raden Soekarno Djojonegoro menemani keduanya.
Di Pekalongan, Hoegeng mendapat cerita bahwa banyak anggota laskar revolusioner memasuki Pekalongan dari berbagai penjuru. Tak hanya melawan Jepang, diam-diam sebagian dari mereka berniat mengambil alih Pekalongan. Pegiat sejarah Kota Pekalongan, Mochamad Dirhamsyah, mengatakan pemberontakan itu terjadi karena mereka ingin pemerintahan baru di luar kontrol Jepang dan Belanda. “Mereka juga melihat pejabat di karesidenan merupakan pilihan penjajah Belanda,” ujar Dirhamsyah ketika dihubungi, Senin, 9 Agustus lalu.
Hoegeng dan istrinya, Meriyanti, saat baru menikah, pada 1946./Dok. Keluarga
Salah satu tokoh yang diincar adalah ayah Hoegeng, Soekarjo Kario Hatmodjo. Soekarjo hampir dibunuh oleh pemberontak karena menjabat Kepala Kejaksaan Pekalongan. Pelakunya diduga jaksa bekas anak buah ayahnya, Maksoem, yang pernah menginap di rumah Soekarjo. Rencana itu gagal. Begitu pula pemberontakan di Pekalongan, yang disusul dengan peristiwa “revolusi sosial tiga daerah” di Brebes, Tegal, dan Pemalang.
Guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko Suryo, mengatakan kudeta di Pekalongan dan wilayah lain itu berakhir karena digagalkan oleh Tentara Keamanan Rakyat, kepolisian, dan anggota kelompok Islam. Djoko dan sejarawan Rushdy Hoesein meyakini gerakan itu gagal setelah ada laporan yang dibuat oleh Subandrio, Sayuti Melik, dan Hoegeng. “Kerja Hoegeng lebih banyak menguping, mencari informasi, intelijen, dan membuat laporan,” tutur Djoko ketika dihubungi, Selasa, 10 Agustus lalu.
Pekalongan punya arti besar bukan hanya untuk Hoegeng, tapi juga buat Meriyati. Putri angkat dokter Soemakno yang aktif di palang merah ini ikut membantu para pejuang yang bertempur dengan Jepang di kota itu. Berada dalam jangkauan tembakan tentara Jepang, Meriyati bersama dua adik dan dua temannya memasuki kawasan Pasar Ratu untuk menyelamatkan pemuda-pemuda yang terluka. Korban di pihak Indonesia jauh lebih banyak karena banyak pejuang hanya bermodal bambu runcing.
Hoegeng bertemu dengan Meriyati di Yogyakarta saat menjadi personel Polisi Militer Angkatan Laut—Hoegeng sempat berganti seragam Angkatan Laut sebelum masuk kembali ke kepolisian—berpangkat mayor. Teman Hoegeng, Iskak, mengenalkannya kepada Meriyati yang bekerja menjadi penyiar di stasiun radio militer Aldo. Mereka sempat berduet memainkan sandiwara radio Saija dan Adinda. Hoegeng pun kerap mengantar Meriyati ke tempat siaran dengan berboncengan sepeda. Keduanya menikah di Kota Gudeg pada 31 Oktober 1946.
•••
PADA Juli 1947, Hoegeng kembali ditugasi mencari informasi di Pekalongan oleh Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang Raden Soekarno Djojonegoro. Saat itu, Hoegeng sedang cuti dan berada di Pekalongan untuk hajatan tujuh bulan anak pertamanya. Namun muncul pengumuman dari pemerintah Indonesia bahwa pasukan Belanda akan masuk ke Pekalongan.
Anak kedua Hoegeng, Aditya Sutanto Hoegeng, menuturkan, keluarga di Pekalongan mengungsi ke tempat penampungan anak yatim-piatu, Balai Cintraka Mulya, tanpa membawa harta benda. Hoegeng pernah bercerita kepada Aditya, saking susahnya ketika itu, ia tak memiliki celana dalam. “Mamimu membuatkan cawat untuk saya dari kelambu,” ujar Aditya menirukan ucapan ayahnya, Kamis, 5 Agustus lalu.
Saat mengungsi, Hoegeng menggali informasi dari sesama penghuni dan pedagang mengenai keadaan terbaru di Pekalongan dan sekitarnya. Pegiat sejarah Kota Pekalongan, Mochamad Dirhamsyah, mengatakan, pada masa itu, Hoegeng pernah ditangkap dan ditahan oleh Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA selama hampir tiga pekan. Namun dia tak ditahan dalam sel dan mendapat kamar di kantor polisi NICA.
Dalam buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, Hoegeng bercerita, ketika ditahan itu ia bertemu dengan teman kuliahnya di Sekolah Tinggi Hukum Batavia, De Bretionniere. Bretionniere saat itu menjabat pemimpin polisi NICA dan menawari Hoegeng bergabung dengan Belanda. Hoegeng menjawab bahwa dia putra Indonesia. “Mustahil bagi saya bersikap lain,” tutur Hoegeng.
Selepas ditahan, Hoegeng pergi ke Jakarta. Di Ibu Kota, ia bertemu dengan mantan atasannya di Kepolisian Semarang, Raden Soemarto, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Kepolisian Indonesia. Soemarto mengajak Hoegeng masuk delegasi Indonesia untuk berunding dengan NICA soal kemerdekaan Indonesia pada November 1947. Saat itu, Soemarto juga menugasi Hoegeng memantau kondisi serta memberikan bantuan berupa makanan dan pakaian bagi pejuang Indonesia yang ditahan Belanda.
Bangunan SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta di Jalan Pangeran Mangkubumi No. 39, yang dulunya bernama Jalan Jetis,adalah lokasi Restoran Pinokio tempat Hoegeng pernah menyamar./Tempo/Pito Agustin
Hoegeng juga menjadi perwira penghubung dengan polisi angkatan lain, tentara Indonesia, kejaksaan, dan sejumlah tokoh, seperti Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sejarawan Rushdy Hoesein menuturkan, di tengah tugasnya sebagai anggota delegasi, Hoegeng juga diberi tugas oleh Soemarto untuk ikut melawan Partai Komunis Indonesia pimpinan Musso Manowar. “Ia ditugasi di daerah Madiun dan Yogyakarta,” ujarnya.
Ketika terjadi Agresi Militer II pada Desember 1948, Kepala Kepolisian menugasi Hoegeng menjadi agen intelijen. Tugasnya mencari informasi serta menarik simpati serdadu dan pegawai NICA untuk mendukung pemerintah Indonesia. Menjalankan tugasnya, Hoegeng menyamar sebagai pelayan di restoran Pinokio, Jalan Jetis 39, Yogyakarta. “Restoran itu milik keluarga ibu saya,” kata Aditya Sutanto. Ibunya, Meriyati, berjualan sate di restoran yang kerap didatangi tentara Belanda itu.
Menurut Aditya, ayahnya pernah bercerita bahwa tentara NICA sering datang karena pemilik Pinokio fasih berbahasa Belanda. Pun Hoegeng demikian. Dalam autobiografi berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan, Hoegeng mengaku mendapat berbagai informasi yang kemudian diteruskannya kepada Wakil Kepala Kepolisian Indonesia Raden Soekarno Djojonegoro.
Tempo menelusuri lokasi restoran Pinokio tempat Hoegeng menyamar. Sejak 2016, Jalan Jetis berubah menjadi Jalan Pangeran Mangkubumi. Mengacu pada nomor 39, berdiri Sekolah Menengah Pertama Taman Dewasa Jetis. Di kanan dan kiri sekolah itu terdapat bangunan yang sudah direnovasi. Hanya, di sebelah utara sekolah, bangunan bernomor 41 masih mempertahankan bentuk kolonial. “Sudah banyak perubahan di sana,” ujar arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Jujun Kurniawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo