Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERUSIA 34 tahun dan memiliki dua anak, Ajun Komisaris Hoegeng Iman Santoso hidup sederhana dan tak mempunyai banyak uang. Kesempatan mendulang duit sesungguhnya didapat Hoegeng, yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, begitu menjejakkan kaki di Pelabuhan Belawan, Kota Medan, pada awal 1956. Seorang cukong yang menjadi utusan para pengusaha menyatakan siap “membantu” Kepala Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara baru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa setahu Hoegeng, rumah dinasnya diisi dengan berbagai perabot mewah yang tak mungkin dibelinya dengan gaji polisi. Namun dia menolak mentah-mentah semua hadiah itu. Ia meminta barang-barang luks dari para pengusaha yang dimasukkan ke rumah dinas dikeluarkan dan diletakkan di pinggir jalan. Kota Medan pun gempar. Hoegeng dianggap gila karena menolak rezeki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap Hoegeng tak pernah berubah selama dia meniti karier di Korps Bhayangkara. Pun ketika bintang empat tersandang di bahunya, dia tetap hidup sederhana dan tak mau menikmati gratifikasi atau fasilitas berlebihan. Ia mengusir pengusaha bermasalah yang datang ke ruang kerjanya dan menjanjikan duit. Karena ketegasannya, Hoegeng akhirnya dilengserkan dari pucuk tertinggi Kepolisian RI.
Bahkan, hingga akhir hayatnya, Hoegeng tetap berusaha sadik. Sebelas tahun sebelum meninggal, ia menyatakan ogah dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hoegeng tak sudi berkumpul dengan para koruptor yang lebih dulu dimakamkan di sana. Ia memilih beristirahat di pekuburan yang rindang di Taman Giri Tama, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana, Hoegeng membeli lima kaveling lahad untuk dia dan keluarganya.
Pembaca, memperingati kemerdekaan Indonesia ke-76, kami memutuskan menurunkan laporan khusus tentang sepak terjang Hoegeng selama di kepolisian. Laporan khusus merupakan tradisi di Tempo sejak bertahun-tahun lalu. Kami menelusuri kembali jejak tokoh yang memiliki jasa bagi negara ini dan menghidupkannya kembali lewat tulisan dan gambar untuk Anda.
Sejak pertengahan Juni lalu, awak redaksi majalah Tempo memulai diskusi untuk memutuskan tokoh yang akan diangkat. Kami memulai dengan riset untuk menjaring nama tokoh yang berperan besar dalam pendirian Republik dan masa revolusi kemerdekaan. Sejumlah tema mengemuka di tengah pembahasan. Misalnya tokoh-tokoh keturunan etnis tertentu—kami pernah membuat laporan tentang peran tokoh Cina dalam persiapan kemerdekaan—dan perempuan-perempuan tangguh yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan.
Perdebatan pun terjadi di ruang redaksi. Setelah melalui serangkaian diskusi, kami memutuskan Hoegeng Iman Santoso sebagai tokoh yang perlu diketahui lebih jauh oleh publik. Nama ini sesungguhnya cukup dikenal. Mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, misalnya, pernah menyebutkan hanya ada tiga polisi bersih di republik ini, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng. Tahun ini, 14 Oktober mendatang, bertepatan dengan 100 tahun usia Kepala Polri kelima itu.
Keputusan kami juga didasarkan pada realitas, sekaligus ironi, soal institusi kepolisian yang tak henti menjadi sorotan publik. Laporan Global Corruption Barometer yang dirilis Transparency International pada 2020 menunjukkan 33 persen responden mempersepsikan kepolisian sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini. Dalam survei yang sama, 41 persen responden menyatakan pelayanan publik oleh Korps Bhayangkara rawan terhadap praktik suap—tertinggi di antara sektor pendidikan, kesehatan, dan administrasi kependudukan.
Pada 10 Maret lalu, misalnya, dua jenderal yang bertugas di Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetyo Utomo, terbukti bersalah menerima suap miliaran rupiah dari Joko Soegiarto Tjandra. Membantu pelarian Joko Tjandra, mereka divonis masing-masing empat dan dua setengah tahun penjara. Delapan tahun lalu, Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo divonis 18 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek simulator surat izin mengemudi. Majalah ini juga pernah menerbitkan laporan mengenai dugaan rekening gendut milik sejumlah perwira tinggi kepolisian pada Juni 2010.
Kepolisian pun punya ponten buruk soal hak asasi manusia. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, polisi paling banyak diadukan sepanjang 2016-2020. Dari total 28.305 aduan pelanggaran hak asasi, 43,9 persen di antaranya diduga dilakukan oleh polisi. Kasus yang dilaporkan seputar kriminalisasi hingga penganiayaan. Salah satu yang mencuat adalah tewasnya enam anggota Laskar Khusus Front Pembela Islam oleh pistol polisi tanpa melalui proses pengadilan pada Desember 2020. Rangkaian skandal yang menerpa kepolisian itu membuat citra sebagaimana idaman Hoegeng masih jauh panggang dari api.
Aditya Sutanto Hoegeng, putra Hoegeng Iman Santoso, saat diwawancarai tim redaksi Tempo secara daring, pada 27 Juli 2021.
Mengejar informasi yang masih tersembunyi tentang Hoegeng, kami mengirim Edi Faisol, wartawan Tempo di Semarang, untuk menyusuri sejumlah lokasi di kota kelahirannya, Pekalongan. Kami juga menghubungi pegiat sejarah di Pekalongan, Mochamad Dirhamsyah. Dari dia, kami mendapatkan petunjuk mengenai bangunan yang diduga kuat menjadi rumah masa kecil Hoegeng di Kampung Bremi.
Tim Tempo juga menemui dan mewawancarai anak dan cucu Hoegeng: Reniyanti Hoegeng, Aditya Sutanto Hoegeng, dan Krisnadi Ramajaya Hoegeng. Dari mereka, kami mendapatkan berbagai cerita tentang ketegasan Hoegeng, termasuk di keluarganya. Hoegeng, misalnya, pernah memarahi Reni karena ia meminta bantuan sepele kepada ajudan ayahnya. Begitu pula Aditya gagal mewujudkan cita-citanya karena kekerasan hati Hoegeng. Melalui mereka, kami berkesempatan mengakses arsip dan koleksi pribadi Hoegeng yang tersimpan di rumah ataupun Galeri Hoegeng di Depok, Jawa Barat.
Kami juga menemui orang-orang yang pernah dekat dengan Hoegeng, seperti mantan wartawan Sinar Harapan dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Panda Nababan; serta mantan ajudan Presiden Sukarno, Sidarto Danusubroto. Panda, misalnya, mengenal sosok Hoegeng sejak ia masih bersekolah. Hoegeng sendiri yang menyeret Panda ke penjara karena ia terlibat kerusuhan. Sejak itu, keduanya malah berhubungan akrab.
Pembaca, kami menyadari bahwa Hoegeng tak sepenuhnya sempurna. Ia, misalnya, pernah dituding anti-Cina oleh Menteri Negara Oei Tjoe Tat ketika menjabat Kepala Jawatan Imigrasi. Saat itu dia mengusir pengungsi Indocina di perairan Indonesia, meski ia punya alasan melakukannya. Namun, karena Hoegeng, kita tahu bahwa kepolisian Indonesia pernah punya teladan yang jujur dan lurus. Kita tentu berharap lahir Hoegeng-Hoegeng lain tak hanya di kepolisian, tapi juga di semua institusi penegak hukum.
Tim Laporan Khusus Kemerdekaan 2021
Penanggung jawab:
Stefanus Pramono
Kepala proyek:
Raymundus Rikang
Penulis:
Abdul Manan, Agung Sedayu, Aisha Shaidra, Devy Ernis, Egi Adyatama, Hussein Abri Dongoran, Linda Trianita, Raymundus Rikang
Penyunting:
Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono, Syailendra Persada
Penyumbang bahan:
Adinda Zahra (Medan), Edi Faisol (Pekalongan), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Periset foto:
Ratih Purnama (Koordinator), Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji
Digital:
Imam Riyadi, Krisna Pradipta, Moerat Sitompul, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
Audiovisual:
Harfin Naqsyabandi
Penyunting bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo