Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hoegeng memarahi anak buahnya karena membawa pengusaha bermasalah.
Selama menjadi Kapolri, Hoegeng tak mau tinggal di rumah dinas.
Hoegeng tidur dengan lima handy-talky di kamarnya.
DUDUK di ruang tunggu, redaktur koran Sinar Harapan, Panda Nababan, tengah menanti sesi wawancara dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Hoegeng Iman Santoso, 50 tahun silam. Tiba-tiba teriakan lantang terdengar dari ruang kerja Hoegeng di Markas Besar Angkatan Kepolisian, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayup-sayup Panda mendengar Hoegeng memarahi Komandan Jenderal Bidang Reserse—kini Kepala Badan Reserse Kriminal—Katik Suroso. Pasalnya, Suroso membawa seorang pengusaha yang tengah tersandung perkara ke ruangannya. Hoegeng memerintahkan penyidikan tetap dilanjutkan. “Saya melihat cukong itu keluar tergopoh-gopoh, disusul Pak Suroso,” ujar Panda, Senin, 9 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu Panda masuk ruangan, Hoegeng melontarkan kekesalannya. “Wah, kurang ajar itu bisa masuk ke mari. Mau antar uang pula,” kata Panda menirukan ucapan Hoegeng. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengaku baru pertama kali melihat Hoegeng murka.
Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia pada 15 Mei 1968 menggantikan Jenderal Soetjipto Joedodihardjo saat berusia 46 tahun. Bersama sejumlah Deputi Panglima Angkatan Kepolisian, Soetjipto mengusulkan Hoegeng memimpin Korps Bhayangkara. Usul itu disampaikan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet serta Presiden Sukarno dan langsung disetujui.
Dalam buku autobiografi Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan disebutkan bahwa Soeharto meminta Hoegeng agar mencairkan faksi di kalangan perwira kepolisian yang sering saling jegal. Soeharto juga meminta kepolisian—yang menjadi satu dari empat angkatan—tidak mengurusi perang seperti angkatan lain. Hoegeng menyanggupi. “Baik, Pak Harto. Tapi saya juga meminta agar angkatan lain tak mencampuri kepolisian,” jawab Hoegeng.
Jenderal Hoegeng kemudian mengubah nama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ia juga mengganti sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI dengan Kepala Kepolisian RI dan Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi Markas Besar Kepolisian RI. Kapolri kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921, itu meminta para hamba wet terbuka dalam menangani perkara dan kuat menahan godaan.
Selama menjadi Kapolri, Hoegeng kerap menerima tawaran gratifikasi hingga suap. Ia berkukuh menolak. Anak keduanya, Aditya Sutanto Hoegeng, bercerita, suatu hari ibunya, Meriyati, menerima panggilan telepon dari Sihwati Nawangwulan. Dia istri mantan Menteri Luar Negeri yang sedang menjabat Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, Roeslan Abdulgani. Sihwati menyampaikan bahwa mobil merek Mercedes-Benz miliknya hilang, tapi polisi tak kunjung menemukannya. Meriyati menyampaikan keluhan ini kepada suaminya.
Kurang dari sepekan, mobil Sihwati ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat. Beberapa hari kemudian, saat Hoegeng pulang dari kantor, Meriyati melaporkan bahwa ia mendapat bungkusan berisi kalung emas seberat 5 gram dari istri Roeslan. Menurut Aditya, Hoegeng menelepon Sihwati dan berterima kasih. “Tapi maaf, kalungnya akan kami kembalikan,” ujar Aditya, kini 71 tahun, menirukan ucapan papinya.
Hoegeng juga pernah kedatangan seorang perempuan di rumahnya, Jalan Prof. Moh. Yamin Nomor 8, dulu Jalan Madura, Menteng, Jakarta Pusat. Pagi-pagi sekali perempuan itu tiba dan menanyakan Hoegeng soal mobil Mercedes yang diberikannya. “Mobil yang mana?” tanya Hoegeng seperti tertulis dalam buku autobiografinya. Perempuan itu bercerita telah meminta bantuan seorang laki-laki yang mengklaim dekat dengan Hoegeng untuk membereskan piutang yang tak tertagih. Laki-laki itu meminta dia membelikan mobil yang disebut akan diserahkan kepada Kapolri.
Hoegeng memiliki buku hitam berisi nama dan foto orang-orang yang diduga gemar memainkan perkara. “Ini orangnya?” kata Hoegeng menunjukkan gambar seorang pria. Perempuan keturunan Cina itu menganggukkan kepala. Lelaki itu kemudian ditangkap di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, saat hendak terbang ke Singapura.
Di rumahnya, Hoegeng memang terbiasa menerima tamu. Ia menolak pindah ke rumah dinas di sekitar Mabes Polri karena penjagaannya ketat. Nama setiap tamu pun wajib dicatat. Putra Hoegeng, Aditya Sutanto, menuturkan bahwa ayahnya memilih bertahan di rumah kontrakan yang dihuni sebelum dia menjabat Kepala Jawatan Imigrasi pada Januari 1961 agar masyarakat bisa datang kapan pun.
Hoegeng menolak penjagaan di rumah itu. Tak lama setelah dia dilantik sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI pada 5 Mei 1968, truk berisi material bangunan mendatangi rumahnya. Tukang yang datang mengatakan hendak membangun pos jaga. Menurut Aditya, bapaknya menolak rencana itu. Dia malah meminta para tukang memasang satu tiang bambu tinggi sekitar 30 meter untuk radio pemancar polisi. Dengan begitu, dia bisa memonitor kegiatan polisi dari berbagai daerah.
Di dalam kamar, Hoegeng tak hanya tidur dengan sang istri, Meriyati, tapi juga dengan lima handy-talky. Meriyati sempat mengeluhkan kebiasaan suaminya itu. “Beliau bilang, ‘Kalau ada kejadian, saya harus yang pertama tahu’,” kata Aditya.
Suatu hari, Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya kala itu, Widodo Budidarmo, mengutus anak buahnya ke rumah Hoegeng. Sebelumnya, seorang polisi tak berseragam menguping pembicaraan dua pemuda saat naik angkutan umum dari Cililitan ke arah Grogol. Mereka membahas rencana penangkapan dan “pemusnahan” Hoegeng. Setelah pulang dari membeli kaset di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Hoegeng melihat sejumlah polisi berjaga di rumahnya. Ia menolak pengamanan. “Waktunya saya mati, ya mati,” tutur Aditya menirukan ucapan Hoegeng.
Hoegeng, saat menjadi Kapolri, bersama Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta., 1971. Buku Pak Hoegeng, Polisi Profesional dan Bermartabat
Setelah para petugas pergi, tiba-tiba ada gerobak penjual rokok sekitar 50 meter dari kediaman Hoegeng. Mengajak Aditya membeli rokok, Hoegeng langsung menghampiri gerobak itu. Menurut Aditya, laki-laki itu terlihat kaget dan langsung memberi hormat. Hoegeng mengajak pria itu masuk ke rumah untuk menyeruput kopi.
Meski memiliki jabatan paling tinggi di kepolisian, Hoegeng menjalani hari-hari dengan bersahaja. Kerabat Hoegeng, Muki Reksoprodjo, mengatakan Hoegeng sering membawa bekal roti dan kopi di mobil dinas. “Dia itu kalau pas ke kantor enggak mau duduk di belakang, selalu duduk samping sopir,” ujar Muki.
•••
KETIKA Hoegeng Iman Santoso menjadi Kepala Kepolisian RI, ganja asal Aceh sedang digemari oleh anak-anak muda di Ibu Kota pada awal 1970-an. Hoegeng sebelumnya tak mengetahui mariyuana termasuk tanaman terlarang. “Saya mengira mariyuana hanya bumbu yang biasa dipakai orang Aceh dalam gulainya,” kata Hoegeng saat diwawancarai Tempo pada Agustus 1992. Ia baru tahu ganja dikategorikan narkotik ketika menghadiri konferensi Interpol di Eropa pada 1971.
Pulang dari sana, Hoegeng mulai melirik perkara penyalahgunaan ganja. Untuk mengetahui lokasi anak-anak muda pengisap mariyuana, ia menyebarkan banyak anak buah ke berbagai tempat. Hoegeng bahkan ikut menyamar sebagai anggota hippies, komunitas yang disebut akrab dengan penyalahgunaan narkotik. Ia memakai wig gondrong, mengenakan kemeja motif bunga, dan mengaitkan syal di leher.
Di suatu tempat, Hoegeng menjumpai mariyuana dijual di tukang rokok. Ia ikut nongkrong dengan para anak muda sembari menyesap rokok linting dan berpura-pura teler. Saat itu, ia penasaran soal alasan anak muda menggandrungi ganja. “Kelihatannya mereka menggunakan ganja sebagai pelarian,” ujarnya.
Ia sempat memergoki anak seorang menteri mengisap ganja. Alih-alih menahan anak itu, Hoegeng menelepon menteri tersebut dan memberitahukan bahwa putranya telah ditangkap. Setengah mengancam, Hoegeng menyatakan akan mengambil tindakan jika menteri itu tidak bisa memperbaiki kelakuan anaknya.
Tak hanya menaruh perhatian pada narkotik, Hoegeng juga memberi atensi pada keselamatan berkendara. Ia membuat aturan wajib menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor. Ide itu muncul ketika ia mengikuti perjalanan Presiden Soeharto ke Malaysia dan Thailand. Namun aturan tersebut menuai protes. Salah satunya datang dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang menganggap Hoegeng mengambil kewenangan lembaga itu untuk membuat peraturan. Aturan itu juga menjadi lahan bisnis bagi sejumlah polisi yang berjualan helm. “Saya jadi jengkel betul. Saya keluarkan larangan keras bagi polisi untuk berbisnis helm,” kata Hoegeng.
Menjelang akhir jabatannya, Hoegeng mengusut kasus penyelundupan puluhan mobil mewah dari luar negeri yang diduga melibatkan pengusaha Robby Tjahjadi. Pada suatu Kamis, September 1971, pukul 9 pagi, Hoegeng bertandang ke rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Berniat melaporkan kasus tersebut, Hoegeng dijanjikan akan bertemu dengan pemimpin Orde Baru itu pukul 09.30. Putra Hoegeng, Aditya Sutanto, mengatakan ayahnya datang dengan koyo di pipi karena tengah sakit gigi.
Sekitar 15 menit dari jam pertemuan, Hoegeng tak kunjung dipersilakan masuk. Tiba-tiba dia melihat Robby keluar dari ruang tamu Soeharto. “Kata Bapak, Robby pakai sandal karet,” ujar Aditya. Hoegeng marah dan batal menemui sahibulbait. Mendatangi ajudan Soeharto, Hoegeng menyatakan balik kanan ke Mabes Polri. “Sungguh mati saat itu saya tak tahu hubungan Robby Tjahjadi dengan para pembesar,” tutur Hoegeng kepada Tempo pada Agustus 1992.
Awalnya Hoegeng menganggap penyelundupan mobil mewah itu sebagai kasus biasa. Belakangan, ia menyadari ada pihak yang tidak senang ketika polisi mengutak-atik kasus itu. Hoegeng pun mendapati banyak pejabat berlomba-lomba ingin melepas Robby. Penyelundupan itu diduga melibatkan sejumlah personel bea-cukai dan tentara.
Kasus tersebut menjadi yang terakhir ditangani Hoegeng. Pada bulan yang sama, Presiden Soeharto memanggil dia dan menawarinya posisi duta besar di Belgia. Hoegeng memilih mundur pada 2 Oktober 1971. Penggantinya adalah Mohammad Hasan, yang berusia 51 tahun, 2 tahun lebih tua daripada Hoegeng. Koran-koran menyebut pergantian itu sebagai peremajaan. Setelah Hoegeng lengser, barulah Robby Tjahjadi diseret ke pengadilan dan divonis hukuman penjara 10 tahun.
Dalam acara perpisahan, anak buah Hoegeng memberi wayang kulit Bratasena alias Bima, perlambang kejujuran dan pantang berkompromi. Sepulang dari Mabes Polri, Hoegeng mengumpulkan ibu, istri, dan anak-anaknya. Dia sungkem kepada ibunya, Umi Kalsum. “Ibu, tugas saya sudah selesai,” ujar Aditya menirukan ucapan ayahnya. Kepada Meriyati dan anak-anaknya, Hoegeng meminta maaf karena tidak bisa memberi fasilitas yang membuat mereka senang. Selepas purnatugas, Hoegeng hidup sederhana dengan gaji Rp 10 ribu setiap bulan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo