Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Darah priayi dan ningrat mengalir di tubuh Hoegeng.
Hoegeng menjadikan Batavia sebagai batu loncatan menuju Sukabumi.
Jalan berliku Hoegeng mewujudkan mimpi menjadi polisi.
KETIKA berada sedang di pondokan bibinya, Fathimah Moethalib, Hoegeng Iman Santoso mendapatkan kabar adanya konvoi pasukan Jepang bikin gaduh para tetangga di Jalan Kernolong, Kecamatan Senen, Jakarta, awal Maret 1942. Penasaran, pemuda 21 tahun itu bergegas ke luar rumah, melangkah ke Jalan Kramat, sekitar 300 meter dari Kernolong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pinggiran jalan besar Jakarta itu, masyarakat sudah berjubel. Barisan tentara Jepang memanjang di hadapan mereka, berderap dari arah Jatinegara menuju Pasar Baru. Kebanyakan anggota pasukan menggowes sepeda. Sebagian lain diangkut truk dan panser.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hoegeng, dalam autobiografi berjudul Polisi: Idaman dan Kenyataan yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., mengaku ikut menikmati parade pasukan yang seakan-akan tak berujung itu. “Paling tidak sebagai tontonan,” ujarnya.
Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, ini tak tahu keberhasilan Jepang mengusir pemerintah Hindia Belanda dari Jakarta—kala itu masih bernama Batavia—akan menjadi titik balik jalan hidupnya.
•••
DARAH Hoegeng adalah hasil percampuran dua keluarga priayi di Tegal, salah satu afdeling—wilayah administrasi pemerintahan setingkat kabupaten pada masa Hindia Belanda—di pesisir utara Pulau Jawa. Bapaknya, Soekario Kario Hatmodjo, adalah putra kedua Sastro Hatmodjo, seorang Asisten Wedana Bojong di Kawedanan Bumijawa. Sedangkan Umi Kalsum, ibu Hoegeng yang juga adik Fathimah, adalah putri bungsu Suro Hatmodjo, Wedana Banjar.
Dari silsilah keluarga bapaknya, Hoegeng percaya keluarga besarnya berasal dari lingkungan dalem Keraton Yogyakarta. Sastro Hatmodjo, kakek Hoegeng, adalah anak Ario Poerbo Mandoero. Sejak kecil Hoegeng mendengar cerita turun-temurun bahwa Ario Poerbo Mandoero adalah adipati Keraton Mataram di Yogyakarta yang belakangan bergabung dengan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, 1825-1830. Kanjeng Pangeran—begitu Hoegeng menyebut panggilan kakek buyutnya ini—konon tak diperkenankan lagi kembali ke lingkungan keraton setelah perang berakhir, bersamaan dengan diasingkannya Diponegoro ke Makassar.
Catatan harian yang disusun Fredrik Jacob Rotherbühler pada 20 Maret-13 April 1792, sebagaimana diarsipkan oleh jurnal "Bahasa, Negara, dan Etnologi Hindia" oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—cikal-bakal Museum Nasional, mencatat nama yang mirip. Waktu itu Rotherbühler, Sekretaris Polisi di Semarang, merekam perjalanan Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa alias Gubernur Semarang Pieter Gerardus van Overstraten ketika Sultan Hamengku Buwono I dikabarkan sakit keras.
Sultan akhirnya mangkat pada 24 Maret 1792. Bersama sejumlah elite kerajaan, yang dicatat rinci oleh Rotherbühler, Raden Tumenggung Aryo Mandoero berada di barisan kompi kavaleri Keraton Yogyakarta dalam parade penghormatan.
Sejarawan Peter Carey dalam bukunya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, juga mencatat nama serupa: Mas Ario Manduro. Begitu pula situs resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyebutnya Mas Riya Mendura. Kedua nama ini dicatat dalam gelar yang sama, Kiai Adipati Danurejo atau Tumenggung Sindunegara. Diangkat sebagai patih oleh Sultan Hamengku Buwono II, Sindunegara adalah putra Raden Bagus Konting Mertowijoyo atau Kanjeng Raden Patih Adipati Danurejo I, anak Kiai Raden Adipati Yudonegoro II, Bupati Banyumas.
Namun sulit memastikan Tumenggung Aryo Mandoero, Mas Ario Manduro, atau Mas Riya Mendura yang dimaksud adalah orang yang sama dengan kakek buyut Hoegeng. Masa jabatan Sindunegara sebagai patih amat pendek, cuma dua tahun, 1811-1813. Setahun setelah pensiun, dia meninggal sehingga tak mungkin terlibat dalam Perang Jawa.
Hanya, Carey mencatat ada dua nama lain di garis silsilah Mas Ario Manduro. Seorang di antaranya punya nama yang mirip, yakni Mas Aryo Manduro. Dituliskan di pohon keturunan itu, Mas Aryo Manduro adalah wedana gladag yang bertugas mengurus lingkungan di luar keraton. Sayangnya, garis keturunannya terputus, tanpa jejak selanjutnya.
Hoegeng juga tak tahu persis kehidupan kakek buyutnya. “Niscaya saya pernah diceritai tentang itu tapi saya sudah lupa,” ucap Hoegeng dalam bab “Keluarga Besar Pak Beskal” autobiografi Polisi: Idaman dan Kenyataan.
Soekario, ayah Hoegeng, memang biasa dikenal dengan panggilan “Pak Beskal” karena profesinya sebagai Inlandsch Officer van Justitie alias jaksa di Pekalongan. Sempat pindah tugas ke Pemalang, Soekario kembali ke Pekalongan untuk menjabat Kepala Kantor Kejaksaan. Jabatan ini pula yang mendekatkan Soekario dengan Soeprapto, Kepala Pengadilan Negeri (Landraad) Karesidenan Pekalongan, dan Ating Natadikusumah, Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan.
Hoegeng kecil terkesima melihat sosok tiga ambtenaar, pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda, tersebut. Penampilan mereka perlente, kerap mengenakan setelan pantalon, jas, dan blangkon. Tapi Ating, seorang menak asal Sumedang, Jawa Barat, adalah yang paling diidolakannya. Hoegeng terpesona tatkala Ating berseragam polisi, lengkap dengan sepucuk pistol di pinggang, apalagi saat mengendarai Harley-Davidson.
Aditya Sutanto Hoegeng, anak kedua Hoegeng, juga akrab dengan nama Ating yang kerap diceritakan oleh sang ayah sebagai sosok yang gagah. Didit—begitu Aditya biasa dipanggil—mengatakan ayahnya menyimpan katana, pedang samurai, pemberian Ating. “Ketika Bapak mulai sakit, diserahkan ke saya,” kata Didit, Selasa, 27 Juli lalu. Sebulan lalu, Didit menyerahkan samurai itu kepada seorang kenalannya untuk direstorasi. Mata pedangnya penuh karat. Kulit pembungkusnya pun sudah rusak.
Ayahanda Hoegeng, Soekarjo Kario Hatmodjo./Buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan
Yang bikin Hoegeng lebih kagum terhadap tiga sahabat itu adalah kepribadian mereka. Hoegeng menilai ketiganya sama-sama lurus dan berwibawa. Dia pun bertekad kelak menjadi penegak hukum, khususnya polisi. “Sekolah baik-baik, Geng. Supaya bisa jadi komisaris polisi untuk membantu orang lemah dan tak bersalah,” begitu pesan Ating suatu waktu yang diingat Hoegeng.
Tentu saja, sebagai anak priayi, Hoegeng punya kesempatan lebih untuk mengakses bangku sekolah, barang langka pada masa itu. Setelah menamatkan sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School Pekalongan, dia melanjutkan pendidikan menengah pertama di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Pekalongan hingga lulus pada 1937. Lantaran belum ada sekolah menengah atas di Pekalongan, Hoegeng meninggalkan kota kelahirannya sekitar 200 kilometer ke arah selatan untuk menjadi siswa di Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta.
Petualangannya berlanjut tiga tahun kemudian. Di tengah Perang Dunia II yang sedang panas-panasnya, Hoegeng pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan di Recht Hoge School (RHS)—kampusnya sekarang menjadi kantor Kementerian Pertahanan di Jalan Merdeka Barat. Di sekolah tinggi hukum ini, Hoegeng kembali berkumpul dengan sejumlah temannya semasa di AMS Yogyakarta. Pergaulannya juga makin luas setelah ia bergabung dengan Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), kelompok mahasiswa pribumi yang bermarkas di Jalan Kramat Raya 45.
Walau tak segarang Indonesische Studentbond atau Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia yang menggalang perlawanan kepada pemerintah Belanda, USI diisi banyak nama pelajar yang kelak dikenal sebagai tokoh penting di negeri ini. Dua di antaranya Subandrio, yang kelak menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Dwikora I, dan Hamid Algadri, pejuang perintis kemerdekaan yang kelak memimpin Partai Sosialis Indonesia.
Adapun Hoegeng sejak awal tak banyak menaruh minat dalam perpolitikan mahasiswa. Dia lebih serius memainkan musik Hawaiian, yang digandrunginya sejak di Yogyakarta. Lagi pula, bagi Hoegeng, sekolah hukum hanya batu loncatan untuk segera melanjutkan pendidikan ke sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
•••
MIMPI Hoegeng untuk pergi ke Sukabumi berantakan hanya berselang beberapa hari selepas kegembiraannya menonton parade tentara Jepang di Jalan Kramat. Berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, Jepang langsung menutup Recht Hoge School untuk dijadikan markas Kempeitai, polisi militer. Buku-buku di dalam kampus dipindahkan ke Museum Nasional, atau lebih populer dengan sebutan Museum Gajah.
Tak seperti mahasiswa tingkat akhir yang mendapatkan surat keterangan lulus tanpa ujian, nasib para pelajar muda RHS tak menentu. Begitu pula Hoegeng, yang baru duduk di tingkat II, luntang-lantung di Batavia. Dia akhirnya pulang ke rumah orang tuanya di Kampung Bremi, Pekalongan, sebulan kemudian.
Rumah itu adalah tempat kesekian kalinya yang disewa oleh keluarga Hoegeng. Walau jadi ambtenaar, Soekario tak pernah membeli tanah dan rumah. Hidup mereka berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Satu-satunya bangunan yang dimiliki keluarga ayah Hoegeng adalah kompleks makam keluarga di Pemalang.
Dalam Polisi: Idaman dan Kenyataan, Hoegeng berkisah tentang rumah luas di Kampung Bremi. Ayahnya menyewa rumah itu sebelum Jepang masuk hingga kelak masa Agresi Militer I, 1947. Lokasinya dekat dengan stasiun, tepat di pinggir jalan besar yang dibangun Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Bangunan utama rumah itu punya lima kamar yang terbagi dua sisi, dipisahkan gang kecil, tiga di kiri dan dua di kanan. Ada juga paviliun yang kerap ditempati oleh kerabat, terkadang juga Hoegeng.
Mochamad Dirhamsyah, pegiat sejarah Pekalongan, termasuk yang cukup lama penasaran mencari rumah itu. Kampung Bremi, kata dia, sekarang menjadi daerah Kramatsari. Daerah ini kemudian melebur ke wilayah Kelurahan Pasirkratonkramat. Dia memperkirakan rumah sewaan besar yang dimaksud Hoegeng itu adalah bangunan yang kini menjadi Hotel Gajah Mada, Pasirkratonkramat.
Berdiri di pinggir jalan pantura dan tepat berhadapan dengan Stasiun Pekalongan, penginapan kelas melati ini mempertahankan wajah khas rumah lawas era pendudukan Belanda. Komposisi bangunannya juga mirip dengan yang digambarkan Hoegeng. Tapi hingga kini memang tak bisa dipastikan di mana sebenarnya keluarga Soekario pernah tinggal di Pekalongan.
Pada 2017, istri Hoegeng, Meriyati, berkunjung ke Pekalongan. “Hanya diancer-anceri berhadapan langsung dengan pintu keluar Stasiun Pekalongan,” tutur Dirhamsyah menceritakan ulang petunjuk dari Meriyati, Kamis, 5 Agustus lalu.
Saat ini, pintu keluar Stasiun Pekalongan menghadap ke Hotel Syariah, sekitar 50 meter di sebelah timur Hotel Gajah Mada. Lagi-lagi informasi ini juga belum bisa memastikan lokasi kediaman keluarga Hoegeng. Pasalnya, Stasiun Pekalongan beberapa kali berubah wajah.
Hoegeng sejak awal tak banyak menaruh minat dalam perpolitikan mahasiswa. Dia lebih serius memainkan musik Hawaiian, yang digandrunginya sejak di Yogyakarta. Lagi pula, bagi Hoegeng, sekolah hukum hanya batu loncatan untuk segera melanjutkan pendidikan ke sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
Bahkan jejak kediaman Soekario di Kampung Pesatean, tempat Hoegeng dilahirkan, juga tak terang di mana persisnya. Kawasan kampung ini sekarang ditandai oleh keberadaan Jalan KH Agus Salim. Jalan ini melintasi bong alias kuburan Cina yang kini dikenal sebagai Lapangan Sorogenen, Pekalongan. Hoegeng pernah mengisahkan masa kecilnya yang kerap bermain bersama kawan-kawannya di bong sembari menangkap belalang untuk pakan burung peliharaan ayahnya.
Keceriaan di masa kecil tak ada lagi ketika Hoegeng pulang dari Batavia. Hoegeng muda, yang putus kuliah gara-gara Jepang menutup kampusnya, menjadi penganggur. Setelah beberapa saat tak berkegiatan, ia berkeliling berjualan apa saja, ke mana saja, untuk mengisi waktu.
Sampai suatu ketika asanya menjadi polisi kembali terbuka. Gunseikanbu alias Kantor Pusat Pemerintahan Militer Jepang membuka lowongan besar-besaran di Jawa. Di Pekalongan, kursi kursus polisi yang tersedia hanya untuk 11 orang. Mereka yang lolos akan ditempatkan di kantor polisi karesidenan.
Coba-coba, tahunya Hoegeng lolos. Ketika menjalani kursus itu, ia sudah menjalankan berbagai pekerjaan polisi, seperti berpatroli, menangkap penjahat, juga menjaga rumah-rumah pelacuran di Pekalongan.
Namun yang bikin Hoegeng berat hati adalah pendidikannya saat itu rupanya tak otomatis membuatnya menjadi seorang perwira. Sebagai mahasiswa ilmu hukum, meski urung bergelar meester in de rechten, Hoegeng mangkel. Mulanya ia pikir bakal diangkat langsung menjadi inspektur polisi. Majalah berita Kan Po edisi 31 yang diterbitkan Gunseikanbu pada 25 November 1943 mencatat pengangkatan Hoegeng sebagai polisi berpangkat zyunsabutyoo, setingkat di bawah inspektur polisi kelas II. Dia bertugas di Pekalongan Dai 1 Keisatusyo zuki.
Di tengah masa galau untuk keluar, Hoegeng bertemu dengan Soemarto, komisaris polisi kelas I—jabatan tertinggi selama era penjajahan Belanda di Pekalongan—yang kelak menjadi Wakil Kepala Kepolisian Negara pertama mendampingi Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Pria yang dikenal Hoegeng semasa mengikuti kursus polisi di Pekalongan itu memintanya mengikuti pendidikan kader tinggi kepolisian di Sukabumi.
Hoegeng pun mewujudkan mimpi lamanya untuk menempuh kursus kepolisian di Sukabumi. Tapi lagi-lagi dia kecele. Diiming-imingi bakal naik jabatan setelah menamatkan pendidikan, Hoegeng malah mendapatkan pangkat minarai zyunsabutyoo, lebih rendah daripada posisi sebelumnya. “Sungguh lelucon Jepang paling menyakitkan. Sudah ditambah pendidikan dari kelompok perwira rendah, malah diberi pangkat kelompok bintara,” kata Hoegeng dalam Polisi: Idaman dan Kenyataan.
Toh, ia bertahan. Selesai pendidikan, Hoegeng dan tiga rekannya ditempatkan di Kantor Chiang Bu (Keamanan) yang membawahkan kejaksaan dan kepolisian di Kota Semarang. Dalam beberapa bulan, Hoegeng menjabat Kepala Seksi II Jomblang dengan 60 personel. Tugasnya adalah mengerahkan para polisi pribumi untuk menjalankan keinginan sindokang—pemimpin mereka yang orang Jepang.
Pada masa-masa ini, Hoegeng tak henti-henti berpikir untuk mengakhiri kariernya sebagai polisi. Jalan untuk keluar sepertinya juga terbuka. Suatu ketika, sekitar Oktober 1945 selepas Proklamasi Kemerdekaan RI, Hoegeng yang bertugas mengawal pelucutan senjata serdadu Jepang tertimpa musibah. Dia mengalami kecelakaan dalam perjalanan hingga gegar otak. Hoegeng mengambil cuti untuk pulang ke Pekalongan.
Di tengah cuti dan pulang kampung, Hoegeng bertemu dengan Komodor Laut M. Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut pertama saat itu. Nazir membujuknya agar pindah haluan, membantu pembentukan Polisi Penyelidik Angkatan Laut. “Kalau Bung mau, gampang itu. Keluar dari kepolisian dan masuk Angkatan Laut!” ujar Nazir.
Hoegeng menerima tawaran itu. Ia masuk ketentaraan tanpa surat pengangkatan resmi. Walau begitu, pangkatnya langsung mayor. Seperti rencana Nazir, Hoegeng ditugasi ke Yogyakarta, yang baru beralih menjadi ibu kota Republik Indonesia. Saat itu, Jakarta dianggap tak aman lantaran kedatangan tentara Sekutu untuk melucuti pasukan Jepang yang menyerah ternyata turut diboncengi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA).
Di Yogyakarta, Hoegeng tinggal di Hotel Merdeka, kamar 21. Perlahan dia mulai meletakkan dasar organisasi Penyelidik Militer Laut Khusus (PMLC) sekaligus merekrut sejumlah personel. Di Kota Gudeg juga dia bertemu dengan Meriyati, yang kelak menjadi pendamping hidupnya.
Lagi-lagi jalan hidup tak pernah bisa disangka-sangka. Hotel Merdeka mempertemukan Hoegeng dan Said Soekanto, gurunya di sekolah kepolisian Sukabumi yang telah menjadi Kepala Kepolisian Negara RI. “Apa Hoegeng tidak sayang dan malu masuk Angkatan Laut karena Kepolisian masih berantakan?” begitu pertanyaan Said dalam pertembungan itu yang menohok telak benak Hoegeng.
Bayangan Hoegeng untuk menjadi Ating muda kembali muncul. Ia akhirnya memutuskan kembali ke jawatan, masuk menjadi mahasiswa tugas belajar di Akademi Kepolisian pertama—cikal Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian—di Mertoyudan, Magelang. Dari sana, Hoegeng menggapai sepenuhnya mimpi masa kecilnya hingga tercatat sebagai nama besar yang belum tergantikan dalam sejarah Korps Tribrata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo