Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tersantet di Kampung Cukong

Hoegeng berpindah-pindah tugas ke berbagai wilayah dan instansi. Di Imigrasi, ia tak mengambil gaji dan fasilitas. Sempat dituduh anti-Cina.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hoegeng mengeluarkan barang mewah pemberian cukong dari rumah dinas.

  • Ia mengusir pengusaha asal Aceh yang meminta dibikinkan paspor diplomatik.

  • Hoegeng pernah menjadi Menteri Iuran Negara dan Menteri Presidium Kabinet.

TANGIS Aditya Sutanto Hoegeng pecah ketika seorang polisi datang mengantarkan baju seragam cokelat berlumur darah ke rumahnya di Jalan Abdul Rivai, Medan. Menurut polisi itu, baju tersebut milik ayahnya, Hoegeng Iman Santoso. Aditya, yang kala itu berusia 8 tahun, hanya bisa menangis sambil memeluk ibunya, Meriyati, yang juga terisak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesaat Meriyati memperhatikan seragam itu. Ternyata nama yang terbordir di kemeja itu bukan “Hoegeng”, melainkan “Sugeng”. “Ternyata itu bukan baju Bapak, hanya namanya di baju mirip,” ujar Aditya kepada Tempo menceritakan kisah 63 tahun silam tersebut pada Selasa, 27 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, pada 1958, terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Bermula dari Sumatera Barat, gerakan yang dilatari ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat itu berkembang ke daerah lain di sekitarnya. Para pemberontak yang didukung militer setempat mencari dan menangkap pejabat yang berasal dari Jakarta. Hoegeng, yang saat itu menjabat Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara, juga diincar. Menurut Aditya, berkali-kali orang tak dikenal menyatroni rumah dinas dan mencari ayahnya.

Aditya bersama kakak perempuannya, Reniyanti Hoegeng, dan ibunya hanya bisa pasrah. Setelah berhari-hari tak pulang, Hoegeng akhirnya kembali dengan selamat. Ia mengenakan seragam Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)—kini Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Tangis keluarga itu kembali pecah. “Kami pikir saat itu sudah kehilangan Bapak. Tapi Tuhan masih menyelamatkan,” ucap Aditya.

Hoegeng (kiri) saat serah terima jabatan sebagai Kepala Imigrasi, pada Januari 1961. Dok Keluarga

Dalam buku autobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang dirilis pada 1993, Hoegeng bercerita bahwa ia sempat bergabung dengan satuan AURI saat dalam pelarian. Di sana, pasukan tentara menghadapi pemberontak yang memortir kawasan Bandar Udara Polonia. Keadaan Kota Medan akhirnya pulih setelah tambahan pasukan dikerahkan dari pusat.

Dua tahun sebelum pemberontakan, Ajun Komisaris Hoegeng ditunjuk menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara pada 1956. Penunjukan itu merupakan arahan dari Jaksa Agung Soeprapto yang merupakan kolega ayah Hoegeng, Soekarjo Kario Hatmodjo, yang pernah menjadi kepala kejaksaan Pekalongan, Jawa Tengah. Sebelum dipindahkan, Hoegeng menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara Kepolisian Jawa Timur pada 1952-1955.

Menurut Soeprapto, Hoegeng sosok yang tepat untuk membasmi kejahatan yang marak terjadi di Kota Medan. “Situasi di Medan ruwet sekali, banyak smokel, judi, dan korupsi. Kamu tangani itu sebab kami percaya kamu,” ujar Soeprapto kepada Hoegeng seperti tertulis dalam buku autobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan. Bos Hoegeng, RM Soekanto, Kepala Kepolisian Negara—sekarang Kepala Kepolisian RI—menyampaikan hal senada.

Hoegeng sempat menolak penugasan itu karena berharap disekolahkan ke Amerika Serikat. Pada 1950, dia mengikuti kursus orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School di Fort Gordon, Georgia, Amerika. Namun dia akhirnya berangkat bersama istri dan anak-anaknya ke Medan.

Kabar kepindahan Hoegeng rupanya sampai ke telinga cukong-cukong di Medan. Pada hari kedatangan Hoegeng, seorang cukong menyambutnya di Pelabuhan Belawan. Mengaku sebagai “ketua panitia selamat datang”, cukong itu mengatakan segala kebutuhan Hoegeng telah disiapkan, dari rumah hingga mobil. Namun Hoegeng meminta rumah dan mobil itu disimpan karena belum dibutuhkan. Ia teringat omongan koleganya bahwa para cukong akan mendekati pejabat baru dengan berbagai macam hadiah menggiurkan. 

Hoegeng sempat menginap dua bulan di Hotel De Boer. Ketika akan pindah ke rumah dinas di Jalan Abdul Rivai Nomor 26, Hoegeng menyaksikan barang-barang mewah di sana. Di antaranya piano, lemari, meja dan kursi tamu, radio, kulkas, serta dipan jati. Menurut anak Hoegeng, Aditya Sutanto, barang-barang itu disuplai oleh cukong yang menemui Hoegeng di Belawan. “Bapak marah besar,” tutur Aditya.

Ia pun mengultimatum cukong itu agar segera mengeluarkan barang-barang mewah tersebut dalam waktu tiga jam. Karena tak mendapat respons, Hoegeng menyuruh anak buahnya mengangkut dan meletakkan hadiah itu di pinggir jalan.

Mantan wartawan Sinar Harapan, Panda Nababan, menyaksikan sendiri peristiwa itu. Kala itu, Panda masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Medan. “Medan gempar. Orang-orang bilang Pak Hoegeng gila, dapat rezeki malah ditolak,” ujar Panda kepada Tempo. Barang-barang itu diambil oleh orang yang melintas. “Waktu itu saya enggak ambil karena sudah keduluan sama yang lain,” ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut, diikuti tawa.

Enam puluh lima tahun berlalu, rumah dinas Hoegeng tak banyak berubah. Terletak di kompleks elite, hunian bergaya Belanda klasik itu berhalaman luas dengan bendera Merah Putih berkibar. Seorang penjaga rumah, Ani, mengatakan rumah tersebut tak banyak direnovasi. Mengaku menjadi penjaga sejak 1989, dia menyebutkan rumah itu disewa oleh seorang warga Belanda yang pulang karena pandemi Covid-19. Ani mengaku pernah mendengar cerita bahwa rumah tersebut dulu dihuni seorang polisi masyhur. “Katanya yang menempati seorang polisi yang baik.”

Hoegeng dan Kolonel TNI AD Djamin Ginting berfoto bersama di Sibolangit, Sumatera Utara, sewaktu melawan PRRI, 1958. Buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan

Panda membenarkan pandangan bahwa Hoegeng dikenal sebagai polisi yang jujur, tegas, dan bersih. Ia mengenal Hoegeng ketika dimasukkan ke penjara karena terlibat kerusuhan dengan memecahkan kaca di rumah-rumah. “Tiba-tiba ada orang kurus datang, tanpa ba-bi-bu aku dibawa bermalam di penjara sampai ibuku datang menebus,” ujarnya mengenang kejadian itu. Sempat dongkol dimasukkan ke bui, Panda justru mengacungkan jempol atas kinerja Hoegeng.

Di Medan, Hoegeng pernah membongkar sejumlah kasus penyelundupan. Salah satunya melibatkan polisi. Dalam buku autobiografinya, Hoegeng bercerita bahwa polisi berpangkat komisaris kelas II itu membekingi seorang pengusaha yang menyelundupkan minyak nilam dari Teluk Nibung, Sumatera Utara, ke Penang, Malaysia. Dendam lantaran kasusnya terbongkar, polisi itu disebut-sebut bermain dukun. Konon, Hoegeng jatuh sakit. Atas permintaan anak buah Hoegeng, dukun itu datang menemuinya. Mengaku menyantet Hoegeng, ia meminta maaf.

•••

SEBELUM ditugasi ke daerah, Hoegeng Iman Santoso menjadi mahasiswa angkatan pertama Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi pada 1946 di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Pada Juli 1950, namanya berubah menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Sebagai angkatan pertama, Hoegeng turut membantu pembenahan lembaga itu. Dalam bukunya, Hoegeng mengaku membuat papan nama kampus dan menggodok rancangan lambang sekolah itu.

Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, Kepala Polri ketujuh, dalam buku Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat (2004) menceritakan pengalamannya bersama Hoegeng ketika bersama-sama menuntut ilmu di PTIK. Sebagai junior, Widodo, yang merupakan angkatan ketiga, kerap digembleng oleh senior-seniornya, termasuk Hoegeng. Menurut dia, cara Hoegeng mendidik berbeda dengan senior lain. Alih-alih keras memelonco, Hoegeng justru memberikan nasihat atau arahan dengan tak mencemooh.

Hoegeng juga pernah memberikan wejangan kepada Widodo ketika dia menjadi Panglima Daerah Kepolisian II Sumatera Utara pada 1967. Kepada Widodo, Hoegeng berpesan agar tak kendur memberantas judi dan penyelundupan. Hoegeng juga berpesan bahwa polisi jangan sampai bisa dibeli. “Itu amanat yang selalu saya ingat. Beliau polisi yang jujur, bersih, dan berdedikasi,” kata Widodo.

Lulus dari PTIK pada 1952, Hoegeng berpindah-pindah tugas. Setelah berdinas di Medan, dia ditarik ke Jakarta. Sempat setahun bertugas di Markas Besar Angkatan Kepolisian—kini Markas Besar Polri—Hoegeng ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Imigrasi (sekarang Direktorat Jenderal Imigrasi) pada 1961. Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution menanyakan kesiapan Hoegeng ditugasi di sana. Hoegeng menjawab bersedia ditempatkan di mana saja.

Dalam menjalankan tugas, Hoegeng mengingat nasihat ayahnya: jangan mengkhianati sumpah jabatan. Dalam autobiografi Hoegeng bercerita, ada pengusaha asal Aceh yang mengaku sebagai anak emas Presiden Sukarno dan meminta dibuatkan paspor diplomatik. Hoegeng menolaknya mentah-mentah lantaran pengusaha itu bukan diplomat. Pengusaha itu memaksa dan berjanji memberikan duit. Hoegeng naik pitam dan mengusir si pengusaha. “Saudara pilih keluar baik-baik atau saya tendang keluar. Persetan dengan uang kamu!” tutur Hoegeng.

Menjadi Kepala Imigrasi, Hoegeng tak pernah mengambil gaji dan fasilitas dari instansi itu. Putra kedua Hoegeng, Aditya Sutanto, mengatakan ayahnya tak pernah memakai seragam Imigrasi karena gaji dan fasilitas yang diterima berasal dari kepolisian.

Saat memimpin Imigrasi, Hoegeng pernah diterpa isu anti-Cina. Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013), Bung Karno disebut menanyakan kabar itu kepadanya. Presiden mendapat informasi itu dari Menteri Negara—menteri yang membantu presiden dan presidium—Oei Tjoe Tat. Saat itu banyak imigran gelap asal Cina datang ke Indonesia dengan kapal layar untuk mengungsi. Hoegeng pernah mengusir mereka yang masuk ke perairan Nusantara.

Bekas rumah dinas Hoegeng di Jalan Abdul Rivai 26, Medan. TEMPO/Adinda Zahra

Hoegeng membantah jika disebut anti-Cina. Kepada Sukarno, ia mengatakan menggusah para imigran Cina itu karena kondisi ekonomi, politik, dan keamanan Indonesia sedang tidak baik. "Memberi makan kepada rakyat sendiri saja sulit, apalagi memberi makan bangsa asing," begitu pikiran Hoegeng. Dalam buku itu disebutkan Sukarno akhirnya yakin dengan penjelasan Hoegeng. Ia tak lagi dituduh anti-Cina.

Setelah lima tahun di Imigrasi, karier Hoegeng makin menanjak. Dia ditunjuk sebagai Menteri Iuran Negara pada 1965—sekarang Direktur Jenderal Pajak di bawah Kementerian Keuangan. Tapi masa tugasnya di sana hanya setahun. Ia lalu ditunjuk menjadi Menteri Presidium Kabinet—sekarang Menteri Sekretaris Negara.

Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan, Soedharto Martopoespito, sekretaris Hoegeng kala itu, mengatakan bosnya tak mengambil jatah mobil untuk keluarga. Padahal dia mendapat jatah dua mobil: satu untuk berdinas dan satu buat keluarga. Mobil itu akhirnya disimpan di rumah sekretarisnya.

Soedharto bercerita, ia pernah membantu mencari pembeli sepatu milik Hoegeng. Seorang perwira polisi membeli sepatu tersebut dengan harga Rp 1.200, saat itu setara dengan gaji Soedharto sebagai sekretaris. Setiba di kantor esoknya, Hoegeng Iman Santoso memeluk Soedharto. “Terima kasih, Mas Dharto. Ampera…. Ampera…,” kata Hoegeng merujuk pada slogan Amanat Penderitaan Rakyat yang dicetuskan Bung Karno.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus