Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha berkali-kali meminta pemerintah mengubah aturan impor tekstil.
Izin importir umum membuka peluang banjir impor tekstil yang mengancam industri lokal.
PHK massal tak terbendung ketika pasar ekspor dan lokal terganggu.
SEPUCUK surat melayang ke kantor Kementerian Perdagangan pada Senin, 7 November lalu. Pengirimnya adalah Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta. Dalam surat tiga halaman itu, Redma menjelaskan penurunan produksi dan kinerja industri tekstil yang memicu gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK massal karyawan di banyak pabrik.
Kepada Tempo, Kamis, 10 November lalu, Redma mengatakan itu adalah surat kedua yang ia kirim kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Warkat pertama, kata dia, dikirimkan asosiasinya bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia pada 29 Juni lalu atau dua pekan setelah Zulkifli dilantik sebagai menteri.
Pengusaha, Redma menerangkan, meminta pemerintah membekukan izin impor tekstil untuk importir pedagang yang mengantongi angka pengenal impor umum atau API-U. Izin impor tekstil, menurut Redma, seharusnya dicabut karena produsen lokal bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. "Industri nasional terbukti bisa memenuhi kebutuhan bahan baku bagi," ujarnya.
Impor tekstil memang mengganggu kinerja industri nasional, yang sebetulnya sedang membaik. Menurut Redma, pada kuartal III 2021 hingga kuartal I 2022, industri tekstil tumbuh 12,45 persen. Capaian ini didorong penjualan di pasar domestik dan peningkatan ekspor serta investasi. Namun rekor positif ini buyar setelah pemerintah membuka perizinan API-U melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2021. "Sejak Agustus pasar domestik dibanjiri kain dan benang impor hingga pakaian jadi," ucap Redma.
Proses produksi kain denim di salah satu pabrik tekstil di kawasan Cimahi, Jawa Barat, Februari 2020. TEMPO/Prima Mulia
Menteri Zulkifli sempat menerima permohonan audiensi pengusaha tekstil pada 8 Juli lalu. Buah pertemuan itu, Redma menuturkan, cukup baik lantaran Zulkifli sudah bersedia menutup perizinan API-U. Zulkifli pun membenarkan ada pertemuan dengan pengusaha yang antara lain meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2022 tentang perjanjian dagang dengan Bangladesh. Perjanjian dagang ini merugikan industri nasional karena produk tekstil dari Bangladesh yang murah terus membanjir. "Kami setuju melindungi industri dalam negeri," kata Zulkifli kepada Tempo, Sabtu, 12 November lalu.
•••
ATURAN impor tekstil memang kerap berbuntut masalah. Ada sejumlah aturan yang membuka peluang impor. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85 Tahun 2015, pemerintah mengizinkan impor bahan baku tekstil untuk produsen. Regulasi ini diubah menjadi Peraturan Nomor 64 Tahun 2017 yang memperkenalkan API-U sehingga bukan hanya produsen yang bisa mengimpor tekstil untuk bahan baku, tapi juga pedagang.
Sejumlah pengusaha mengeluhkan skema API-U yang membuka akses impor tanpa kontrol kepada para pemegang API-U lewat pusat logistik berikat (PLB). Regulasi ini pun disebut sebagai akar membanjirnya impor tekstil yang menyebabkan industri dalam negeri rontok.
Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, serta Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia meminta pemerintah mencabut aturan itu dan kembali memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85 Tahun 2015 sekaligus mengevaluasi fungsi PLB. Kementerian Perdagangan pun merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 dengan mensyaratkan semua importir memiliki persetujuan impor.
Pada Juli 2017, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia membentuk satuan tugas untuk mengawasi importasi tekstil dan produk tekstil. Saat itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tim ini akan menertibkan impor berisiko tinggi. "Banyak sekali kementerian dan lembaga yang ikut menetapkan kebijakan, larangan terbatas,” ujarnya pada 12 Juli 2017.
Dua tahun kemudian, Kementerian Keuangan mengeluarkan surat keputusan yang meratifikasi aturan Menteri Perdagangan mengenai impor tekstil dan produk tekstil. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 Tahun 2019 tentang impor tekstil. Namun regulasi baru ini tak bisa membendung impor. Sebab, aturan ini memperbolehkan impor tekstil melalui PLB berdasarkan kontrak pesanan. Cara ini memungkinkan importir pedagang memanfaatkan kontrak pesanan untuk memasukkan barang dari luar negeri.
Awal April tahun lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meneken Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan itu mencabut 39 regulasi yang terbit sebelumnya. Namun, kata Redma, adanya izin API-U masih menjadi celah masuknya produk impor ke pasar.
Pengusaha, Redma menambahkan, meminta pemerintah menutup perizinan impor tekstil dengan kode Harmonized System 50-60 melalui API-U. Sebaliknya, keran impor untuk barang yang tidak diproduksi di dalam negeri dibuka lewat izin angka pengenal importir produsen.
Namun masalah tak selesai karena pada Juni lalu Kementerian Perdagangan kembali memberikan banyak izin kepada pedagang atau importir umum dengan alasan memenuhi kebutuhan bahan baku buat industri kecil dan menengah. Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan landasan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2021. Dampaknya, kain, benang, dan pakaian impor masih membanjiri pasar domestik. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan nilai impor tekstil pada Januari-September lalu mencapai US$ 6,3 miliar, naik jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 5,6 miliar.
Pengusaha kian terjepit karena, pada saat permintaan dalam negeri melorot lantaran pasar dibanjiri produk impor yang murah, ekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, menurun drastis. Para produsen yang berorientasi ekspor pun mengalihkan penjualan ke pasar domestik sehingga terjadi kelebihan pasokan. Produsen tekstil lantas terpaksa menurunkan produksi dan melakukan penghematan, termasuk dengan merumahkan karyawan atau melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK.
Sejumlah asosiasi pengusaha lalu beramai-ramai menyurati Presiden Joko Widodo, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 22 September, 20 Oktober, dan 7 November lalu. Mereka meminta pemerintah melakukan mitigasi untuk membantu industri dan menekan angka PHK karyawan. Sumber Tempo di pemerintahan mengatakan aduan ini memicu rencana revisi aturan impor.
Saat dimintai tanggapan tentang hal ini, Zulkifli Hasan mengatakan, “Belum ada agenda pertemuan lagi." Dia pun meminta Tempo menghubungi pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi. Namun Didi belum memberi respons.
Demikian pula Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito. Dia sempat memberi waktu wawancara atau memberikan jawaban tertulis. Tapi hingga tulisan ini diturunkan tak ada jawaban.
Walhasil, di tengah kondisi ini pelaku industri tekstil hanya bisa berharap pemerintah mencabut izin impor yang merugikan produsen lokal. Jika impor tak bisa dibendung dan ekspor tak kunjung tumbuh, PHK massal bisa jadi tak terhindarkan.
AISHA SHAIDRA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo