Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN menjaga citra dan “nama baik bangsa” di depan negara lain, Presiden Joko Widodo adalah juaranya. Meski diketahui tidak akan menghasilkan keputusan mahapenting yang mampu mengubah dunia—termasuk mengakhiri perang Rusia dan Ukraina—Konferensi Tingkat Tinggi G20 atau Group of Twenty di Bali telah disiapkan dengan lebai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah ancaman resesi ekonomi, yang berulang kali dikatakan Jokowi, pemerintah menyediakan anggaran sedikitnya Rp 675 miliar. Anggaran untuk persiapan acara itu disebar di 10 kementerian dan lembaga. Jumlah duit negara yang digelontorkan untuk menyambut para pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Presiden Cina Xi Jinping, dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak diperkirakan jauh lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, misalnya, merenovasi Taman Mini Indonesia Indah dengan biaya hingga Rp 1,1 triliun untuk dikunjungi tamu agung.
Pemerintah juga menyiapkan 1.442 kendaraan listrik, 962 di antaranya mobil elektrik, untuk sarana operasional KTT G20. Menjadi negara dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara, kampanye penggunaan energi baru dan terbarukan lebih terasa sebagai program basa-basi.
Di tingkat mikro, penyelenggaraan KTT G20 memang ikut menggerakkan perekonomian di Bali yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Namun klaim bahwa acara itu mampu menambah produk domestik bruto hingga Rp 7,4 triliun dan bisa mendatangkan investasi masih harus diuji. Berbagai acara Road to G20 berbiaya mahal yang diselenggarakan pemerintah belum terbukti mampu mendatangkan investasi secara masif.
Di pasar keuangan, sejak Januari tahun ini hingga 10 November lalu, nilai investasi yang hengkang dari obligasi pemerintah mencapai Rp 178 triliun. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat investasi yang masuk lewat saham sebesar Rp 80,23 triliun. Artinya, KTT G20 sama sekali tidak menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini.
Berbagai sikap jorjoran dan klaim berlebihan merupakan hasil penilaian yang terlalu tinggi dari pemerintah serta pendukungnya soal posisi Indonesia di G20. Presidensi—istilah hiperbolis untuk “panitia penyelenggara”—G20 disalahartikan secara sempit sebagai kebanggaan atau prestasi. Padahal posisi itu dipegang bergantian berdasarkan abjad negara anggota. Indonesia juga bertukar tempat dengan India untuk menggantikan Italia.
Sikap berlebihan itu juga terlihat ketika Jokowi mengklaim akan menjadikan KTT G20 sebagai ajang mendamaikan Rusia dan Ukraina. Dalam sejarahnya, G20 tak pernah menetaskan keputusan luar biasa kecuali kesepakatan bersama yang tak mengikat para anggota. Sebagai forum ekonomi, G20 bukanlah tempat untuk menyelesaikan konflik dua negara itu. Sudah saatnya pemerintah bangun dari tidur dan tak terbuai khayalannya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo