Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERIUNG di kantor Dewan Perwakilan Cabang Federasi Serikat Buruh Garment Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentra Industri Serikat Buruh Seluruh Indonesia di kawasan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu, 2 November lalu, 16 buruh tak henti berdiskusi. Mereka membicarakan rencana selanjutnya setelah mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK di perusahaan tekstil tempat mereka bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari sebelumnya, 16 buruh itu menerima surat pemberitahuan PHK yang berlaku pada awal November. Aksi protes mereka jalankan, dari menggeruduk kantor perusahaan hingga mengirim surat penolakan PHK. “Kami berdiskusi apakah bisa menang melawan perusahaan dan kembali bekerja,” kata Abdulloh, ketua serikat pekerja di perusahaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua buruh itu tenaga kontrak. Tiga di antaranya telah bekerja lebih dari delapan tahun. Jumlah gaji yang mereka terima saban bulan tak sampai upah minimum Kabupaten Bogor yang sebesar Rp 4,2 juta. Abdulloh, yang merupakan karyawan tetap, hanya mendapat Rp 3,2 juta.
Baca: Alasan Pemerintah Menahan Dana JHT Buruh
Dalam penjelasan perusahaan, PHK dilakukan karena pesanan klien berkurang. Menurut Abdulloh, manajemen perusahaan bahkan menyebutkan akan menutup kantor mulai Desember mendatang. Tapi buruh mencium hal berbeda. Perusahaan itu justru akan membuka kantor lain di kawasan yang sama. “Ordernya masih banyak dan tak berkurang,” tutur Abdulloh.
Siti Maryati, buruh pabrik tekstil di kawasan Cigombong, Kabupaten Bogor, juga dipecat pada September lalu. Isu pemecatan menghantui para pekerja di pabrik itu sejak Mei lalu. Siti di-PHK tanpa penjelasan apa pun. “Perusahaan minta saya bersabar, dan akan menghubungi kalau order kembali ramai,” ujarnya.
Kabar pemecatan bertubi-tubi diterima Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban mulai akhir Oktober lalu. Buruh yang telah dipecat atau dalam proses pemberhentian berasal dari sektor garmen, tekstil, dan alas sepatu. Hingga Kamis, 10 November lalu, jumlahnya masih di bawah 500 orang.
Menurut Elly, para buruh itu tersebar di empat perusahaan, yakni 150 orang di PT Indonesia Wacoal yang dalam proses pemecatan, 200 PT Kaho Indah Citra Garment, 16 di CV Mahkota Tunas Abadi, dan 80 di PT Dean Shoes. “Tidak ada alasan pemecatan yang jelas,” katanya.
Informasi mengenai banyaknya buruh yang terkena PHK pertama kali mencuat pada pertengahan Oktober lalu. Saat itu Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyebutkan industri tekstil dan produk tekstil telah merumahkan 45 ribu karyawan sepanjang tahun. Mereka adalah tenaga kontrak dan pegawai tetap.
Jemmy mengatakan PHK terjadi karena pasar ekspor seperti di Amerika Serikat dan Eropa menurun. Ditambah terjadi banjir produk impor ke Indonesia. “Ada penurunan utilisasi yang berimbas merumahkan karyawan,” ucap Jemmy melalui WhatsApp, Jumat, 11 November lalu.
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Bogor melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/11/2022). Dalam aksinya, mereka menuntut kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) 2023 sebesar 13 persen dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran ditengah isu inflasi dan resesi global. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU
Namun Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal ragu akan informasi tersebut. Ia pernah menanyakan data itu saat bertemu dengan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, awal November lalu. “Dia bilang belum ada laporan,” ujar Said.
Menelusuri kesahihan data itu, Said juga mengecek ke sejumlah asosiasi buruh. Namun ia tak menemukan pemecatan berskala besar. Adapun Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi mengatakan sedang mengecek laporan 87 perusahaan di wilayahnya yang memecat lebih dari 43 ribu karyawan.
Indah Anggoro Putri tak merespons pertanyaan yang dilayangkan Tempo. Dalam rapat kerja dengan Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 8 November lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan ada 10.765 kasus PHK sejak Januari hingga September lalu. Ia menyatakan angka itu justru menurun dibanding tiga tahun terakhir.
Para pemimpin serikat buruh menuding Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai biang kerok pemecatan yang terjadi belakangan ini. Aturan itu membuat pengusaha bisa lebih cepat memberhentikan karyawan. “Tak perlu lagi menunggu putusan pengadilan hubungan industrial,” tutur Said.
Baca Opini Tempo: Rame-rame Menjepit Buruh
Jika menggunakan aturan lawas, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan. Elly Rosita Silaban curiga pengusaha memecat pekerja karena ingin mengalihkan status mereka sebagai pekerja kontrak. “Undang-Undang Ciptaker mempermudah pengusaha,” katanya.
Said dan Elly juga mensinyalir isu PHK diletupkan saat buruh mulai menuntut kenaikan upah. Apalagi pemerintah berancang-ancang menaikkan upah tahun depan. Menteri Ida Fauziyah dalam rapat di Senayan mengatakan kenaikan upah minimum pada 2023 bakal relatif tinggi dengan mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi, masing-masing 5,72 persen dan 5,95 persen.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menyebutkan kenaikan tersebut sesuai dengan formula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja. Masalahnya, kalangan buruh memperkirakan angka kenaikan hanya 2-4 persen jika mengacu pada aturan yang sama. “Kami minta kenaikan 13 persen karena harga bahan pokok naik,” ujar Said Iqbal.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin Muhammad Sidarta menuturkan, isu PHK selalu muncul menjelang akhir tahun. Tujuannya, menekan pemerintah agar tak menaikkan upah. Berdasarkan laporan yang diterima organisasinya yang bergerak di bidang mesin elektronik, banyak pabrik justru merekrut pegawai baru.
Namun Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menampik anggapan bahwa isu PHK diembuskan pengusaha untuk menjegal rencana kenaikan upah. Ia menyatakan permintaan produksi ke berbagai pabrik terus menurun. “Penurunannya tajam,” kata Jemmy. Ia berharap pemerintah melindungi pengusaha dari serbuan produk impor sehingga angka PHK bisa ditekan.
Berdalih menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK), sejumlah asosiasi pengusaha mengirim surat ke Kementerian Ketenagakerjaan pada 7 Oktober lalu. Isinya permintaan pengurangan waktu kerja dari 40 jam menjadi 30 jam per pekan. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J. Supit, yang ikut menandatangani surat itu, dalam rapat dengan Komisi Ketenagakerjaan DPR menyatakan Kementerian Ketenagakerjaan perlu membuat jam kerja lebih fleksibel. “No work, no pay,” ucapnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, YOGA YUDHISTIRA (JAKARTA), AHMAD FIKRI (BANDUNG), M.A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo