Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pabrik garmen dan tekstil mulai merumahkan karyawan dan melakukan PHK.
Ekspor tekstil dan alas kaki menurun akibat lesunya permintaan dari sejumlah negara.
Gelombang PHK massal hingga 2023 ada kemungkinan tak terbendung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMUTUSAN hubungan kerja atau PHK massal kembali menjadi momok bagi karyawan industri padat karya seperti pabrik tekstil dan sepatu. Salah satunya Diki—bukan nama sebenarnya—dan para karyawan lain PT Kahatex. Pabrik tekstil dan garmen di kawasan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, ini memang belum melakukan PHK massal, tapi mulai memangkas jam kerja para karyawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Diki, pegawai Kahatex biasanya bekerja selama sebelas hari dengan waktu libur sehari. Tapi dalam tiga bulan terakhir mereka hanya bekerja selama sepuluh hari dan dua hari berikutnya libur. Kalau saja pemotongan hari kerja itu tak mengurangi upah, Diki dan sejawatnya bakal happy. Masalahnya, Diki kini hanya menerima Rp 1,5 juta untuk dua pekan bekerja. “Dulu pembayarannya Rp 1,75 juta per dua minggu,” kata pria yang sudah sepuluh tahun bekerja di Kahatex itu, Kamis, 10 November lalu.
Diki mendengar sejumlah pekerja sudah dirumahkan sampai waktu yang tak ditentukan. “Katanya nanti akan dipanggil lagi (untuk bekerja).” Setahu Diki dan para pegawai lain, pengurangan jam kerja dan penonaktifan pekerja terjadi karena ekspor produk tekstil yang merosot.
Suasana pabrik garmen PT Kahatex di Cimahi, Jawa Barat. Foto: kaha.com
Kahatex memang bergantung pada ekspor. Perusahaan ini salah satu pelaku industri tekstil terintegrasi (dari hulu ke hilir) terbesar di Indonesia. Selain di Sumedang, pabrik Kahatex berdiri di Cijerah, Kota Bandung; dan di Solokan Jeruk, Majalaya, Kabupaten Bandung. Karyawannya lebih dari 48 ribu orang. Dalam situs resminya, Kahatex menyatakan sudah mengekspor lebih dari 40 persen produksinya ke 80 negara di dunia. Ada pula ekspor tak langsung melalui produsen garmen, kaus kaki, dan sweater alias baju hangat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi mengatakan semula Kahatex memutuskan mengurangi jumlah karyawan dengan tidak memperpanjang masa kontraknya. Tapi rencana itu dibatalkan. Manajemen Kahatex akhirnya memilih memangkas jam kerja. “Awalnya seminggu enam hari. Kini Sabtu pekerja diliburkan tapi tetap dibayar 65 persen upah yang seharusnya diterima di hari itu,” tutur Rachmat.
Manajer Kepatuhan Kahatex Tamami memastikan tak ada PHK dalam jumlah besar di pabrik Cimanggung. "Hanya ada beberapa yang tidak dilanjutkan kontraknya. Berlaku bagi karyawan yang kontraknya sudah habis dan kinerjanya tidak bagus," ujarnya pada Rabu, 9 November lalu.
Tapi kabar tentang pegawai yang dirumahkan kadung membuat karyawan Kahatex resah. Sandi—bukan nama sebenarnya—salah satu karyawan di perusahaan itu, mengatakan setiap bulan beredar informasi tentang pegawai di suatu divisi yang dirumahkan secara bergilir. "Tak pandang bulu, mau karyawan tetap mau kontrak, ada saja yang dapat giliran," ucap pria 30 tahun itu.
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jawa Barat menerima laporan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia yang menyebutkan sebanyak 87 perusahaan melakukan PHK karyawan hingga September lalu. Jumlah yang terkena PHK massal mencapai 43.567 ribu orang.
Adapun menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), jumlah pegawai yang dirumahkan atau terkena PHK sudah lebih dari 50 ribu orang. “Datanya sangat dinamis. Berubah seiring dengan kondisi yang memburuk,” kata Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja pada Sabtu, 12 November lalu. Menurut dia, dalam kondisi demikian, pekerja yang biasanya diputus kontrak lebih dulu adalah dari kelompok pegawai dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui adanya potensi PHK massal di industri padat karya, termasuk sektor tekstil. Ia menyebutkan terjadi guncangan karena perekonomian negara mitra dagang Indonesia melambat sehingga permintaan ekspor berkurang. “Demand menurun di Amerika Serikat dan Eropa," tuturnya pada Senin, 7 November lalu. Akibatnya, stok berlebih dan barang yang telanjur diproduksi menumpuk. Walhasil, banyak perusahaan merugi dan harus menghemat pengeluaran dengan merumahkan pekerja atau melakukan PHK.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Batam, Kepulauan Riau, 4 November 2022. ANTARA/Teguh Prihatna
Kelesuan bisnis tak hanya menimpa perusahaan tekstil yang berorientasi ekspor. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta mengatakan pabrik yang berfokus melayani kebutuhan dalam negeri pun terguncang karena pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Barang yang tak terserap pasar ekspor masuk ke pasar domestik. Padahal permintaan dalam negeri menyusut, seiring dengan pelemahan daya beli masyarakat akibat inflasi.
Di sisi lain, produk tekstil impor dalam bentuk kain dan pakaian jadi mengalir dari luar negeri. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament mendapat informasi bahwa pemerintah menerbitkan izin impor kepada sejumlah importir sebanyak 300 ribu ton tekstil. “Izin keluar Juli dan berlaku sampai Desember 2022,” kata Redma. “Sekitar 40 persen di antaranya sudah masuk.”
Terpuruknya industri tekstil di hulu ataupun hilir dirasakan oleh anggota asosiasi itu. Sebuah perusahaan anggota asosiasi tersebut di Tangerang, Banten, dalam dua bulan terakhir hanya mengoperasikan 65 persen dari kapasitas pabrik yang sebesar 5.400 ton. Sekitar 10 persen dari 800 pekerja pun harus dirumahkan. Bila kondisi seperti ini berlanjut, pemilik akan menyetop operasi pabrik. “Mau overhaul, perawatan mesin-mesin,” ujar Tito, sebut saja begitu, pemilik pabrik. Ia mengaku terpaksa memajukan jadwal perawatan yang semestinya jatuh pada Maret 2023. Jadwal perawatan rutin tiap dua-tiga tahun sebenarnya adalah pada saat Lebaran tahun depan, setelah “panen raya” pabrik tekstil.
Lesunya sektor tekstil juga terasa di segmen usaha kecil dan menengah (UKM). Bulan-bulan ini, Direktur PT Citra Sandang Textile (Cisatex) Agus Ruslan bercerita, sentra sarung Majalaya di Kabupaten Bandung seharusnya sibuk menyiapkan stok untuk Lebaran tahun depan. Cisatex adalah salah satu produsen kain untuk sarung. “Dari kami, kesibukan bergeser ke UKM jahit. Dua bulan menjelang Lebaran, pusat keramaian berada di lapak pedagang,” tuturnya pada Jumat, 4 November lalu.
Gerbang masuk utama pabrik tekstil PT Kahatex, Rancaekek, Kabupaten Bandung, 10 November 2022. TEMPO/Aminuddin
Namun jangankan ada keriuhan mesin perajut kain untuk sarung, pabrik Cisatex malah sudah sepekan berhenti beroperasi karena tak ada pesanan. “Kami berproduksi by order saja. Kalau bikin terus tapi tidak ada yang beli, untuk apa?” kata Agus. Ia baru menyalakan mesin lagi pada Selasa, 8 November lalu. “Itu pun order tidak banyak.”
Agus menggambarkan kelesuan bisnis tekstil saat ini dengan indikator tagihan rekening listrik. Dalam kondisi normal, Cisatex membayar tagihan listrik rata-rata Rp 13 juta per bulan. “Sekarang saya bayar listrik paling Rp 2,5 juta, kadang Rp 3,5 juta sebulan,” ucapnya. Pegawai Cisatex pun kini hanya bekerja per tiga hari. “Dulu kerja enam hari dapat upah. Sekarang kerja tiga hari dapat upah karena order pekerjaan tidak banyak,” Agus menambahkan. Dengan kondisi seperti ini, menurut Agus, pabriknya masih lebih baik. Sebab, banyak pabrik tekstil skala UKM lain yang sudah tutup.
Dengan proyeksi pasar di saat Lebaran yang tak akan terlalu bergairah, Agus menggantungkan harapan pada hajatan besar: pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah 2024. “Ada beberapa orang datang, atau menghubungi. Sekadar bertanya-tanya harga.”
Pekerja memproduksi sepatu untuk diekspor di Tangerang, Banten, April 2019. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Kondisi yang sama terjadi di industri alas kaki. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko mengatakan sebanyak 25.700 pegawai dari delapan perusahaan diputus kontrak dan terkena PHK akibat melemahnya perekonomian global. Total karyawan sektor alas kaki yang khusus berorientasi ekspor sebanyak 523.750 orang. Ratusan perusahaan lain harus merumahkan karyawan, tidak meneruskan kontrak pegawai alih daya atau outsourcing, atau membuat skema kerja 50 persen secara bergantian.
•••
RAPAT yang dipimpin pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito, Jumat, 28 Oktober lalu, berlangsung tegang nyaris sepanjang pertemuan. Dalam rapat secara daring itu, sang tuan rumah mengundang sejumlah bos pabrik tekstil besar di Tanah Air, seperti PT Kahatex, PT Pan Brothers, PT Busana Apparel Group, Pouchen Group, PT Wangta Agung, PT Berkat Ganda, PT Young Tree Industries, dan PT Venamon, serta pengurus asosiasi di sektor pertekstilan dan persepatuan.
Pekerja mengecek ulang kualitas produk sepatu di Pabrik Sepatu Aerostreet, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah, April 2021. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta yang saat itu ikut dalam rapat menantang Warsito turun langsung mengecek kondisi pabrik-pabrik yang berhenti beroperasi. Saat itu sekitar 20 ribu pekerja telah dirumahkan. Pengusaha telah menyampaikan hal itu kepada Kementerian Perindustrian, tapi tak ada respons. Hingga akhirnya kabar tentang pekerja yang dirumahkan dan PHK massal menjadi topik panas di media massa.
“Pak Warsito agak marah, mengomel, kenapa PHK di-blow up di media,” Redma menceritakan peristiwa sekitar tiga pekan lalu itu. Pelaku industri, kata dia, juga kesal lantaran Warsito mempertanyakan kebenaran data mengenai PHK.
Pekerja mengoperasikan mesin tenun pabrik tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung, Maret 2022. TEMPO/Prima Mulia
Menurut Redma, Kementerian Perindustrian mengacu pada data yang menunjukkan laju pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil sampai triwulan III tahun ini sebesar 8,09 persen (year-on-year). Angka ekspor sampai September lalu juga naik 15,6 persen. Kementerian Perindustrian pun merujuk hasil kunjungan ke pabrik PT Asia Pacific Rayon, yang masih beroperasi penuh. Padahal, Redma menambahkan, perusahaan tersebut masih bisa beroperasi penuh tanpa mengurangi jumlah pegawai atau melakukan PHK karena menambah gudang untuk menampung stok.
Saat dikonfirmasi soal ini, Warsito tak bersedia memberi penjelasan. Rencana wawancara yang dijadwalkan pada Jumat 11 November mendadak dibatalkan beberapa menit sebelum dimulai. "Perlu koordinasi dulu karena isunya sensitif," ujar seorang stafnya.
Bukan hanya Kementerian Perindustrian yang ragu akan data dari pelaku industri. Pelaksana tugas Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kementerian Keuangan, Abdurohman, menyebutkan ekspor tekstil, khususnya produk berkode Harmonized System 61 dan 62 atau pakaian dan aksesorinya, masih tumbuh sangat tinggi hingga kuartal III 2022. "Ini menunjukkan bahwa kinerja tekstil sebenarnya masih cukup tinggi," ujar Abdurohman dalam media gathering di Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 4 November lalu.
Menurut Abdurohman, perusahaan tekstil dan pabrik garmen juga masih punya performa yang baik dari sisi keuangan yang ditunjukkan lewat pendapatan dan penjualan, terutama pada triwulan I dan II. Bahkan pertumbuhan penjualan sektor tekstil berada di atas rata-rata pertumbuhan industri manufaktur. Ia menyebutkan pertumbuhan penjualan sektor tekstil mencapai 10 persen, sementara rata-rata industri manufaktur hanya tumbuh sekitar 5 persen. "Ini agak membingungkan, kalau misalnya terjadi PHK.”
Namun pada Senin, 7 November lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengkonfirmasi laporan pengusaha tentang ancaman PHK. Ia menyebut hal ini sebagai dampak perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor Indonesia yang membuat permintaan menurun.
Dalam rapat kerja bersama Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 8 November lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan hingga September 2022 jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 10.675 orang. Untuk meredam PHK, Ida menyatakan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan pengusaha. “Kalaupun PHK terpaksa dilakukan, hak-hak pekerja harus dipenuhi,” tuturnya.
Menurut Ida, ada upaya lain yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencegah PHK. Dia memberi contoh mengurangi upah direktur dan manajer, mengurangi jam dan hari kerja, menghapus jam kerja lembur, merumahkan buruh secara bergilir, tidak menambah masa kontrak pekerja yang telah habis, serta memberikan dana pensiun bagi pekerja yang telah memenuhi syarat. Hal ini, dia melanjutkan, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 907 Tahun 2004.
Meski begitu, Ida mengklaim tingkat pengangguran terbuka turun dari 6,94 persen pada tahun lalu menjadi 5,8 persen per Agustus 2022. Pada periode yang sama, penciptaan peluang kerja juga dilaporkan meningkat menjadi 4,25 juta.
Setelah pengakuan akan PHK ini muncul, forum diskusi khusus pengusaha bersama Kementerian Koordinator Perekonomian pada Jumat pagi, 11 November lalu, berlangsung lebih kalem. Pertemuan secara daring dan luring ini dihadiri beberapa pejabat setingkat eselon II dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, perwakilan Bank Indonesia, serta beberapa pengurus asosiasi usaha.
Perwakilan Bank Indonesia memaparkan kondisi makroekonomi global. Sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, anggota Uni Eropa, dan Cina, menurunkan angka pertumbuhan ekonominya. Tekanan inflasi global yang tinggi seiring dengan gangguan rantai pasok mendorong bank sentral banyak negara menaikkan suku bunga. Hal itu memicu peningkatan indeks ketidakpastian pasar global. Gonjang-ganjing di pasar global itu berdampak pada industri di dalam negeri.
Tak ada solusi yang nyata dari pertemuan yang berlangsung sekitar tiga jam itu. Sama seperti pernyataan Airlangga sebelumnya, pemerintah menyatakan akan mengkaji dan melihat kondisi di lapangan. Tujuannya adalah mencari solusi agar PHK besar-besaran tak terjadi. "Pemerintah akan melakukan seperti penanganan Covid kemarin, di mana akan bisa diberikan kebijakan khusus, termasuk kemungkinan restrukturisasi kredit," kata Airlangga.
Padahal kalangan industri telah menyalakan sinyal peringatan pada Juli lalu. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan sudah menyampaikan ihwal buruknya kondisi industri kepada Kementerian Perindustrian. “Tapi karena belum ada info soal PHK, jadi sifatnya lebih ke sinyal soal potensi dampak pelemahan ekonomi global.”
Namun, ketika order mulai menurun, kontrak pekerja tidak diperpanjang, dan kemudian berlanjut ke PHK, pemerintah baru sibuk melobi pengusaha, yang diminta tak melakukan PHK massal. Padahal, ucap Eddy, Aprisindo memperkirakan penurunan order alas kaki terus berlanjut sampai Desember 2022, bahkan hingga semester I 2023. “Bisa jadi menyusut sampai 50 persen,” ujarnya. Jika sudah begini, siapa yang sanggup membendung badai PHK?
RETNO SULISTYOWATI, FACHRI REZA, WARISATUL ANBIYA, AMINUDDIN A.S., AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo