Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah peristiwa G-30-S, ribuan orang ditahan di berbagai kamp penahanan.
Mereka yang masih hidup menjalani kerja paksa dan disiksa.
Bekas lokasi kamp tahanan itu kini telah menjadi mal, toko, dan perkantoran.
MENYUSURI Jalan Perintis Kemerdekaan di Tangerang, Banten, selalu membawa ingatan Bedjo Untung pada kenangannya saat berada di sana sekitar 40 tahun lalu. Daerah yang kini disesaki sekolah, gedung kantor, dan pusat belanja itu menyimpan sejarah kelam. "Daerah ini dulu tempat kami menjalani kerja paksa," katanya pada Rabu, 31 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bedjo adalah tahanan politik 1965. Pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 14 Maret 1948, ini ditangkap pada 14 Oktober 1970 di Jakarta karena menjadi anggota Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia. Setelah diinterogasi di salah satu pos Operasi Kalong di Gunung Sahari, ia dikirim ke penjara Salemba dan kemudian ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang pada 1972.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama di kamp tahanan Tangerang, ia bersama sekitar 200 tahanan 1965 lain menjalani kerja paksa di lahan seluas 115 hektare di Cikokol. Lokasi kerja paksa itu sekitar 2 kilometer dari tempat ia dibui. Setiap hari mereka pergi pagi dan pulang sore. Mereka diharuskan menanam dan menggiling padi. Mereka hanya diberi makan seadanya dan tak mendapatkan upah dari hasil keringat sendiri. Praktik semacam ini dapat dikategorikan sebagai kerja paksa atau malah perbudakan. Daerah di Cikokol itu juga hanya satu dari sejumlah kamp yang bisa disebut sebagai kamp kerja paksa seperti Gulag pada era Uni Soviet.
Menurut komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, pihaknya telah menyelidiki kasus 1965 ini pada 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Komnas HAM menemukan banyak tempat dan korban peristiwa 1965. Saat itu Komnas HAM memeriksa 349 saksi dan korban yang tersebar di sejumlah kamp di Maumere, Nusa Tenggara Timur; Denpasar, Bali; Sumatera Selatan; Sulawesi Selatan; Maluku; dan Sumatera Utara.
Dari hasil penyelidikan, Komnas HAM menemukan bukti terjadinya pelanggaran HAM berat sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM. "Sebab, ada serangan ke penduduk sipil yang sifatnya sistematis dan meluas," ujar Beka pada Jumat, 30 September lalu. Bentuk kejahatan itu meliputi pembunuhan, pengusiran, pemindahan secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, dan perbudakan.
•••
SELEPAS kudeta gagal Letnan Kolonel Untung dalam Gerakan 30 September 1965 (G-30-S), terjadi penangkapan besar-besaran terhadap pengurus, anggota, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ada yang langsung dieksekusi mati, yang jumlahnya ditaksir 500 ribu-3 juta orang. Ada juga yang akhirnya ditangkap dan diadili. Mereka yang ditangkap dan tak ada bukti cukup untuk dibawa ke pengadilan biasanya dikirim ke kamp penampungan seperti di Pulau Buru, Maluku; Plantungan, Kendal, Jawa Tengah; dan Moncongloe, Maros, Sulawesi Selatan.
Para tahanan itu dikelompokkan menjadi tiga golongan tergantung keterlibatan mereka dalam G-30-S, yakni A, B, dan C. Militer menuding PKI di balik upaya kudeta yang gagal itu. Golongan A berisi orang-orang yang nyata terlibat dalam G-30-S, sementara golongan B diperuntukkan bagi yang terlibat secara tidak langsung. Adapun golongan C terdiri atas orang yang diduga terlibat ataupun tidak terlibat secara langsung dalam G-30-S.
Jumlah mereka yang ditahan sangat besar sehingga menimbulkan masalah dalam penanganannya. Pada masa-masa awal, mereka ditaruh di lembaga pemasyarakatan atau ruang tahanan militer. Setelah diinterogasi, mereka biasanya akan dikirim ke sejumlah kamp, seperti di Plantungan dan Pulau Buru.
Bangunan di kawasan Kamp Plantungan yang dulunya menjadi tempat tinggal pimpinan Kamp Plantungan, kini menjadi Lembaga Pemasyarakatan Pemuda di Kendal. Jawa Tengah, pada 22 September 2022. TEMPO/Jamal Nashr
Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional, dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Hermawan Sulistyo, terdapat dialog antara pimpinan tentara dan organisasi kemasyarakatan yang mengaku sulit menampung dan menghidupi orang-orang PKI. "Jadi solusinya waktu itu kebumikan saja, dimasukkan ke dalam bumi, daripada susah-susah mengeluarkan biaya," ucap Asvi.
Asvi juga membahas "bon", istilah untuk praktik tentara yang "menjemput" tahanan politik dari kamp tahanan tapi tak pernah mengembalikannya. Praktik ini diduga berkontribusi besar terhadap banyaknya jumlah kematian. "Dari pengalaman-pengalaman yang dipenjara, ya, seperti itu. Ketika ada rekan mereka yang di-“bon” itu, ya, tidak akan kembali lagi," ujarnya.
Saat berada di kamp, mereka dijauhkan dari masyarakat. Kamp di Plantungan, misalnya, dipagari kawat berduri. Saat berada di kamp inilah mereka juga menjalani hukuman, termasuk melakukan pekerjaan yang tak mereka sukai dengan jam kerja panjang yang dikenal sebagai praktik kerja paksa.
Inilah yang dialami Hersri Setiawan saat ia dikirim ke Pulau Buru. Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Jawa Tengah ini tiba di sana dengan hanya dibekali alat seadanya untuk membuka lahan serta membangun kamp yang akan ditempati para tahanan politik (tapol).
Selain itu, mereka wajib menanam padi. Petugas keamanan yang menjaga kamp membagikan benih kepada mereka. Semula 500 tapol menggarap lahan seluas 9 hektare. Lahan garapan bertambah luas hingga 50 hektare, yang bisa mencukupi kebutuhan total 12 ribu tapol di Pulau Buru.
Di Plantungan, para tapol perempuan mendapat berbagai tugas sebagai bagian dari pembagian kerja di kamp. Yosephina Endang Lestari salah satu penghuninya. Ia ditangkap dan dikirim ke sana karena menjadi anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), onderbouw PKI.
Sejumlah kegiatan ia lakukan selama di kamp itu. Selain menjahit, ia mengurus pertanian, peternakan, dapur umum, dan administrasi kantor serta membuat kerajinan tangan. Ia juga menjadi pekerja rumah tangga di mes perwira dan bintara. Petugas kerap meminta tapol mengerjakan pesanan jahit dari luar kamp. "Petugas ambil sebagian uang hasil menjahit," kata Yosephina saat ditemui di rumahnya di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 29 September lalu.
Lokasi penahanan, juga tempat mereka menjalani kerja paksa, itu kini seperti nyaris tak berbekas. Di Pulau Buru, misalnya, bekas kamp penahanan sudah menjadi gudang Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Divisi Regional Maluku Cabang Mako. Ada juga yang beralih menjadi lapangan sepak bola. "Di sini berdiri 12 kamp," tutur Dasipin, eks tapol asal Pekalongan, Jawa Tengah, kepada Tempo pada Senin, 19 September lalu.
Di Plantungan, bangunan yang dulu ditinggali para tapol wanita telah rusak diterjang banjir bandang pada awal 1991. Sebagian masih tegak terawat karena digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIB Plantungan. Lainnya hanya menyisakan sedikit saja kenangan saat lokasi ini menjadi tempat menahan para tapol yang umumnya anggota Gerakan Wanita Indonesia, organisasi perempuan yang berafiliasi ke PKI.
Kompleks Lapas Kelas 1 Tangerang, yang dulunya adalah Kamp tahanan politik di Tangerang, Jawa Barat, 22 September 2022. TEMPO/Joniansyah
Di Tangerang, penjara tempat penahanan Bedjo Untung dan kawan-kawan masih ada. Namun jejak area yang dulu pernah menjadi lokasi kerja paksa sudah tidak terlihat. Bedjo ingat lokasi yang kini menjadi kawasan Tangcity Superblock itu adalah area perbukitan untuk peternakan kuda, kambing, domba, dan ayam. Salah satu area bekas kamp kerja paksa itu kini menjadi Taman Gajah Tunggal di tepi Sungai Cisadane. "Apa tidak lebih baik ada penanda? Agar kasus serupa tidak terulang," ucapnya.
Menurut Ketua Sekretariat Bersama ‘65 Winarso, setelah para tahanan keluar dari kamp pada akhir 1970-an, bangunan-bangunan itu dirobohkan. Ia mencontohkan gedung di Plantungan. Bangunan itu dirobohkan agar secara politis jejaknya tidak ada lagi sehingga sangat sulit dilacak. "Ada upaya menghilangkan jejak," ujarnya.
Winarso menambahkan, kalau berkunjung ke Plantungan saat ini, kita tidak akan tahu bahwa di sana pernah ada sekitar 500 perempuan yang ditahan. Menurut dia, seharusnya lokasi itu menjadi situs sejarah, misalnya museum. "Kalau toh memang tidak bisa seperti itu, cukup ada prasasti di situ sebagai pengingat," tuturnya, Jumat, 30 September lalu.
•••
ASVI Warman Adam menilai, dengan melihat kondisi kamp penahanan dan lokasi kerja paksa saat ini, terkesan ada upaya agar keberadaan kamp itu tidak diketahui publik dan tak akan dibuka lagi. "Seperti di Pulau Buru. Kan, tidak ada tanda seperti ‘Di sini pernah ditahan sekian ribu orang dalam waktu tertentu’. Itu kan tidak ada," katanya.
Asvi melihat tragedi yang pernah terjadi di kamp-kamp itu sengaja disembunyikan dari mata publik. “Kalaupun ada peringatan mengenai hal tersebut, yang terjadi malah sebaliknya. Misalnya TV One, NET TV, Trans TV, dan MNC TV masih memutar film Pengkhianatan G 30 S PKI untuk mengingatkan bahaya komunisme dan PKI."
Tahanan politik 1965 bekerja di di Kamp Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Pulau Buru, Maluku, 1979. Dok. TEMPO/Amarzan Loebis
Kepala Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Baskara T. Wardaya, punya pendapat sama. "Boro-boro soal penjara tempat pembuangan ini dijadikan monumen peringatan. Maunya kalau bisa seluruh peristiwa 1965 ini dilupakan saja," tutur penulis dan sejarawan yang kini mengajar di Marquette University, Wisconsin, Amerika Serikat, itu.
Ada sejumlah indikasi yang menguatkan pendapat Baskara. Mereka yang punya versi berbeda dengan versi pemerintah akan dipersoalkan. Misalnya pihak yang hendak membuat film tentang peristiwa 1965 dipersilakan asalkan sesuai dengan narasi Orde Baru. "Membuat narasi berbeda saja tak boleh, apalagi inisiatif melestarikan tempat-tempat ini," ujar Baskara.
Baskara menyatakan setuju prasasti dibangun sebagai penanda. Ia merujuk pada cara sejumlah negara lain dalam menangani sejarah kelam masa lalu mereka. Salah satunya Jerman. Eks Kamp Konsentrasi Sachsenhausen yang dulu adalah tempat penahanan di masa pemerintahan Nazi kini menjadi Situs dan Museum Sachsenhausen.
Kamp ini dulu dipakai untuk menahan lebih dari 200 ribu orang. Puluhan ribu tahanan tewas akibat kelaparan, penyakit, kerja paksa, penyiksaan, juga pembunuhan secara sistematis oleh Schutzstaffel (SS)—organisasi paramiliter utama di bawah Adolf Hitler dan Partai Nazi.
Bekas kamp Auschwitz, tempat Hitler menahan jutaan warga Yahudi di masa perang dunia, juga menjadi situs bersejarah di Polandia. Kamp ini dioperasikan oleh Nazi Jerman di wilayah Polandia selama masa Perang Dunia II dan Holocaust. Lebih dari 1,5 juta orang tewas di kamp yang didirikan pada 1940 ini.
Beka Ulung Hapsara juga setuju terhadap ide memberi penanda di eks kamp tapol 65 itu. "Ini penting karena itu kan sebagai pengakuan negara bahwa memang ada kesalahan, sebagai pengingat dan pelajaran serta jaminan ketidakberulangan," ucapnya. Pembuatan penanda itu juga bisa menjadi salah satu cara memulihkan korban karena ada pengakuan dari negara.
Tahanan politik 1965 berkumpul untuk mengambil nomor tanda bebas di Kamp Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru, Maluku, 1977. Dok. TEMPO/Salim Said
Beka mencontohkan situs-situs kekejaman penguasa masa lalu di Jerman yang menjadi museum. Ia juga menyinggung monumen May 18th Minjung Struggle Memorial Tower di Gwangju yang dibangun untuk memperingati peristiwa saat warga melawan tentara dan polisi Korea Selatan hingga sekitar 170 orang tewas. Perlawanan ini terjadi karena mahasiswa dibunuh dan dipukuli oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi menentang pemerintahan darurat militer.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan tidak selalu ada prasasti yang dibuat untuk menandai peristiwa semacam itu, termasuk kejadian di kamp bekas tapol 1965. Ia mengaku tahu persis soal itu karena pernah membuat penelitian di Kamboja, Cile, Timor Timur, Rwanda, dan Yugoslavia. "Yang paling penting kan bukan menandai kamp dan sebagainya. Yang paling penting adalah supaya kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari," katanya.
•••
ASVI Warman Adam dan Baskara T. Wardaya menyadari adanya tantangan politik untuk membangun memorial kamp tahanan 1965, juga monumen di lokasi kerja paksa. Sebab, ada faktor politik sebuah negara yang akan berpengaruh terhadap rencana tersebut. Hal yang bisa dilakukan di Jerman atau Kamboja belum tentu bisa dilakukan di Indonesia.
Dalam situs yang dibangun di Kamboja, misalnya, pelaku pembantaian di masa lalu adalah kelompok komunis. Mereka membunuh orang-orang yang dianggap intelektual. "Kalau di Indonesia sebaliknya. Yang menjadi korban adalah komunis. Itu beda latar belakang yang sangat jelas," ujarnya Asvi.
Baskara mengatakan pelaku pembantaian di Kamboja adalah diktator Pol Pot. Adapun pelaku pemusnahan Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II adalah pemerintah Nazi di bawah Adolf Hitler. "Di Jerman dan di Kamboja pelakunya kan KO (knocked out). Nazi kalah. Pol Pot dan kawan-kawan keok. Kalau di Indonesia?" tuturnya.
Menurut Asvi, kompleksitas kasus di Indonesia adalah pelaku kekerasan di masa lalu terhadap anggota dan simpatisan PKI bukan hanya tentara, tapi juga sejumlah kelompok masyarakat. "Dengan situasi itu, pembuatan monumen akan menimbulkan penolakan. Itu bisa dianggap membuka luka lama," ucapnya.
Deretan barak tahanan politik di Pulau Buru, Maluku, 1979. Dok. TEMPO/Amarzan Loebis
Setelah kini mereka berkuasa, Asvi menambahkan, hal ini menjadi handicap. Bukan hanya handicap dalam pembangunan memorial, tapi juga narasi mereka yang dominan. "Inti narasi itu kan mereka yang dibunuh sudah layak dibunuh, yang dibuang layak dibuang. Kan, itu intinya. Waktu melakukan itu, para pembunuh tak merasa bersalah. Itu yang harus diubah dulu sebelum ada usaha membangun monumen," katanya.
Dengan iklim politik seperti itu, Asvi melanjutkan, memorial kasus 1965 sangat mungkin dibangun dengan cara lain, misalnya membuat film tentang Pulau Buru dan menunjukkan kejadian tersebut atau menerbitkan buku atau novel. "Hanya dengan hal semacam itu hal tersebut diingat. Jadi tidak ada peringatan dan monumen-monumen yang sifatnya fisik," ujar Asvi.
Baskara menyarankan pemerintah meniru Korea Selatan dalam menangani pemberontakan orang kiri di Jeju yang dianggap memiliki preferensi politik lebih dekat ke Korea Utara pada 1948. Perlawanan ini dihadapi dengan keras oleh pemerintah Pyongyang sehingga memakan korban dalam jumlah besar. Peristiwa itu dikenal sebagai Jeju Massacre.
Pembantaian Jeju itu sempat menjadi pembicaraan tabu sampai akhirnya Jeju 4.3 Special Act disahkan menjadi undang-undang pada 12 Januari 2000. Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun lalu membentuk komite untuk menyelidiki insiden Jeju dan kemudian meminta maaf.
Sejumlah memorial dibangun di Jeju. Ada situs Bukchon Neobeunsungee, salah satu lokasi permakaman korban insiden Jeju yang cukup besar. Lalu ada Peace Park dan Monumen Memorial Hall yang menjadi peringatan bagi ribuan orang yang tewas pada periode gelap Korea Selatan itu.
Menurut Baskara, memorial kam tahanan seperti itu perlu dibangun supaya kita bisa belajar dari sejarah, mencegah kasus serupa terulang, dan menghormati kemanusiaan. Apa yang terjadi di Jeju, kata dia, tercapai "berkat dorongan dan usaha masyarakat sehingga ada pengakuan (atas kesalahan masa lalu) dan dibuat memorial itu".
TARA REYSA, FELIN, JONI JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), JAMAL NASHR (KENDAL), JAYA BARENS (PULAU BURU)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo