Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kultur HAM dan Peristiwa 1965

Pemerintah perlu memelihara ingatan atas pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, terutama di sekitar G30S 1965. Agar peristiwa kelam tidak berulang.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRAGEDI 30 September 1965 atau G30S memiliki dua wajah. Di satu sisi terjadi pembunuhan tujuh perwira Tentara Nasional Indonesia oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Kolonel Untung. Di sisi lain, peristiwa itu mengawali penangkapan, penahanan, penyiksaan, dan pembantaian terhadap ratusan ribu hingga jutaan anggota, simpatisan, dan mereka yang dituding terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Sisi yang kedua ini kini diabaikan bahkan diupayakan ditutup-tutupi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengabaian tersebut salah satunya terlihat dari ditelantarkannya penjara dan kamp tahanan PKI di antaranya di Pulau Buru, Maluku; Plantungan, Jawa Tengah; dan Tangerang, Banten. Liputan majalah ini menemukan situs-situs tersebut kini rusak atau telah berganti menjadi area perkantoran, sawah, dan tempat wisata. Periode gelap pelanggaran hak asasi manusia pasca-peristiwa 30 September pelan-pelan hilang dari ingatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjaga dan memelihara situs-situs tersebut memang membutuhkan kebesaran hati: keikhlasan untuk mengakui bahwa negara pernah melakukan kejahatan besar. Jerman memelihara kamp konsentrasi Auschwitz, tempat orang Yahudi dibunuh Nazi karena alasan rasisme. Kamboja merawat kamp S-21 untuk mengingat kebengisan rezim komunis Pol Pot. Di kedua negara, pelaku kejahatan itu kini merupakan musuh rezim yang berkuasa.

Indonesia menghadapi tantangan lebih besar karena kamp-kamp penyiksaan PKI didirikan dan dioperasikan oleh tentara dan aparat negara—elemen yang tidak pernah menjadi musuh penguasa bahkan selalu memainkan peran besar dalam kancah politik.

Kekejaman yang dialami korban 1965 tak pantas dilupakan. Kejadian itu harus diingat bukan agar masyarakat saling menyalahkan, melainkan sebagai sarana refleksi. Apalagi kini terdapat banyak teori mengenai peristiwa itu. Selain versi pemerintah yang menyebut PKI sebagai dalang, teori lain mengatakan tragedi itu merupakan buntut cekcok internal Angkatan Darat. Ada pula yang mensinyalir keterlibatan intelijen Amerika Serikat dan Inggris.

Indonesia hendaknya mencontoh Korea Selatan. Pada 2008, pemerintah meresmikan Jeju Memorial Park untuk mengenang peristiwa periode kelam 1947-1954. Kala itu tentara memberangus gerakan masyarakat di Pulau Jeju yang memprotes pemilihan umum dan pemisahan dua Korea. Kala itu, sekitar 30 ribu orang meninggal. Sepuluh tahun setelah monumen berdiri, Presiden Moon Jae-in menyampaikan permohonan maaf.

Indonesia telah memiliki Undang-Undang HAM dan meratifikasi delapan dari sembilan instrumen pokok HAM internasional. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.


Artikel Liputan Khusus Peringatan 30 September 1965:


Meski demikian, aturan-aturan tersebut kerap tak diindahkan. Di masa Orde Baru bahkan sampai sekarang pelanggaran HAM berat terus terjadi tanpa penyelesaian hukum yang tuntas. Kasus Talangsari, Priok, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, pembunuhan Munir, serta sejumlah kekerasan dan pembunuhan di Papua hingga kini menggantung. Pemerintah belakangan menempuh jalan pintas: membentuk badan untuk menjustifikasi pemberian kompensasi ekonomi kepada korban tanpa upaya memastikan fakta sebenarnya berikut mengungkap pelakunya.

Memorial atau situs peringatan sejatinya dapat membantu kita membangun kultur HAM. Dari sana diharapkan lahir kesadaran tentang pelbagai kekeliruan masa lalu. Selain itu, kultur HAM diharapkan dapat mendorong masyarakat melakukan rekonsiliasi.

Negara hendaknya memastikan perbuatan lancung yang mencederai HAM tidak terulang. Pengusiran orang dari tanahnya, penyiksaan dan pembunuhan warga negara, atau perilaku segelintir elite politik yang membiarkan bahkan merancang konflik horizontal di dalam masyarakat untuk kepentingan jangka pendek tak boleh lagi terjadi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus