Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memori Mesin Jahit dan Kertas Selundupan

Para tahanan politik tak hanya dibelenggu dan dirampas kemerdekaannya. Mereka juga wajib menjalani kerja paksa untuk menghidupi penjara dan diri sendiri.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kamp Plantungan diisi tahanan politik perempuan yang dipaksa hanya beraktivitas sesuai dengan kodrat kewanitaan dan keibuan.

  • Hersri Setiawan masih mengingat kerja paksa yang berkelindan dengan penyiksaan di Pulau Buru.

  • Tak ada yang bisa lari dari kerja paksa.

MATA Yosephina Endang Lestari, 77 tahun, menatap lekat-lekat mesin jahit yang diletakkan di ruang tamu rumahnya di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jemari eks tahanan politik (tapol) peristiwa 1965 ini kukuh menggenggam gunting, benang, dan pemutar mesin jahit bermerek Singer yang dibeli pada 1981 dengan cara mengangsur itu. Mesin jahit itulah yang menopang hidup Endang selama menyandang status eks tapol dan mesti berpindah-pindah rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mesin jahit yang sebagian warna putihnya telah menguning itu mengingatkan Endang pada masa delapan tahun ia menjalani masa tahanan di Kamp Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Plantungan di Kendal, Jawa Tengah. Di Kamp Plantungan yang khusus untuk tapol perempuan itu, Endang dipekerjakan di unit penjahitan. Upah dari kerja menjahit itu adalah barang kebutuhan sehari-hari, seperti gula, teh, dan sabun mandi. Sesekali petugas kamp memintanya mengerjakan pesanan jahit dari luar kamp tahanan. “Petugas ambil sebagian uang hasil menjahit,” ujar Endang saat ditemui di rumahnya, Kamis, 29 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut sejarawan Ita F. Nadia, yang banyak mempublikasikan riset mengenai peristiwa 1965, bekas rumah sakit lepra itu dipilih untuk menunjukkan bahwa tahanan perempuan di situ setara dengan penderita lepra yang tak layak berada di tengah-tengah masyarakat. Ita menjelaskan, Kamp Plantungan dirancang khusus untuk mengedukasi ulang para tahanan serta mengembalikan harkat dan martabat sebagai ibu dan “wanita Indonesia”.

Karena itulah, kata Ita, ada lima aspek Kamp Plantungan, yakni sebagai penyaringan ideologi, pemurnian dari ideologi komunis, pemantapan Pancasila dan nilai-nilai agama, aktivitas kewanitaan dan keibuan, serta pendidikan Pancasila untuk pemimpin. Aspek aktivitas kewanitaan dan keibuan, menurut Ita, dikembalikan ke ranah domestik. “Tidak boleh membaca buku, berdiskusi politik,” ucapnya. Jika tahanan ngeyel, kamar-kamar isolasi di barak C menanti. Di sana, ujar Ita, penganiayaan hingga pemerkosaan terjadi atas nama pendisiplinan.

Unit penjahitan tempat Endang dipekerjakan merupakan bagian dari pembagian kerja paksa di kamp yang merepresentasikan aktivitas kewanitaan dan keibuan. Selain unit penjahitan, ada unit pertanian, kerajinan tangan, peternakan, dapur umum, administrasi kantor, dan pekerja rumah tangga untuk mes perwira dan bintara yang bertugas di Kamp Plantungan.

Endang bercerita, ia masuk ke Kamp Plantungan yang berada di kaki Gunung Prau itu pada 1971 bersama rombongan tapol kedua yang datang dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sebelum ke Kamp Plantungan, Endang ditahan di Benteng Vredeburg selama lima bulan. Setelah itu, ia dikirim ke penjara Wirogunan dan tinggal selama sepekan.

Tentara menangkap Endang saat ia berusia 20 tahun pada 27 November 1965 karena menjadi anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia atau CGMI. Tengah malam, puluhan laki-laki dari Perwira/Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat mengepung rumahnya di Kemantrenan Mantrijeron saat ia tertidur pulas. Endang satu-satunya perempuan anak penjahit di kampungnya yang bisa bersekolah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.

Setelah dari penjara Wirogunan, Endang diterungku di penjara Ambarawa selama dua tahun, penjara Bulu tiga tahun, dan berakhir di Kamp Plantungan hingga 1979. Saat tiba di bekas rumah sakit penderita lepra peninggalan kolonial Belanda itu, Endang harus mencabuti rumput alang-alang yang tumbuh lebat setinggi tubuhnya. Bersama tapol lain, dia mencabuti rerumputan itu dengan tangan kosong. “Tangan kami lecet-lecet,” tuturnya.

Endang ditempatkan di Blok F1 yang diawasi oleh kepala blok. Di ruangan yang sempit dan terasa pengap itu, Endang tidur berdesakan dengan tapol lain di tempat tidur susun tanpa kasur. Dia berbaring hanya beralaskan tikar. Blok ini dihuni sekitar 120 tapol.

Setiap hari penghuni Kamp Plantungan wajib mengikuti apel pagi dan kerja bakti sejak pukul 07.00 hingga 09.00 tanpa hari libur. Seusai kerja bakti dengan pengawasan yang ketat, setiap tapol masuk ke unit kerja masing-masing. Pada sore hari, mereka harus membersihkan blok, misalnya menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi. Setiap tapol juga mendapat giliran untuk memasak di dapur umum untuk 600 orang dan membagikan ransum makanan.

Setiap tapol mendapat jatah makanan yang terbatas. Pagi hari, para tapol makan sarapan singkong rebus. Siang dan malam, menu makan hanya nasi putih dan lauk seadanya. Untuk kebutuhan mandi-cuci-kakus, menurut Endang, juga sangat tidak layak.

Sebagian tapol sempat terkena penyakit tuberkulosis. Kondisi sanitasi yang buruk dan makanan yang jauh dari asupan gizi menambah parah keadaan tapol yang punya penyakit bawaan, seperti kanker payudara dan kanker rahim. Sejumlah tapol meninggal karena penyakit-penyakit tidak menular tersebut.

Endang pun sempat mengidap tumor payudara dan dikirim ke Rumah Sakit Bethesda pada 1976 untuk menjalani operasi. Komandan kamp mengirim Endang ke rumah sakit tersebut atas rekomendasi dokter yang juga tapol Plantungan, Sumiyarsi Siwirini C. Sumiyarsi menulis di bukunya, Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan, tentang sebagian besar pasien di kliniknya yang menderita diare, muntaber, kolera, tifus, disentri, demam, dan tuberkulosis.

Bagi Endang, rutinitas di Plantungan yang paling menyakitkan adalah program Santiaji Pancasila atau penataran Pancasila setiap sepekan sekali. Petugas mengumpulkan semua tapol di aula agar mendengarkan ceramah tentang Pancasila. “Mereka sering membentak dan menyebut kami tidak Pancasilais,” kata Endang.

Setelah bebas dari kamp, Endang terpaksa berpindah-pindah untuk bertahan hidup. Hanya lima bulan dia menetap di kampung halamannya, Mantrijeron. Merasa setiap tindakannya diawasi tetangga kanan-kiri, Endang kemudian mengadu nasib ke Jakarta dan bekerja sebagai penjahit di Jalan Cideng Timur atas bantuan Katedral Jakarta.

Di Ibu Kota-lah dia bertemu dengan suaminya, Wahyudi, yang juga eks tapol Inrehab Pulau Buru, Maluku. Endang kembali ke Yogyakarta karena menikah. Untuk bertahan hidup, ia bekerja sebagai penjahit dan berjualan plastik di pasar.

Kini, di usia senja, Endang yang tinggal bersama seorang anaknya menghabiskan waktu di rumah, memasak dan bersih-bersih rumah. Suaminya meninggal karena sakit pada 2 September 2007. Sambil menunjukkan kartu tanda penduduk lama miliknya yang bertulisan “ET”, Endang berharap namanya dipulihkan. “Kami hanya ingin keadilan,” tuturnya.

•••

DI tahun 1969, Pulau Buru dalam ingatan Hersri Setiawan adalah rimba dengan tanah berbatu karang. Ia bersama rombongan tahanan politik peristiwa 1965 lain terpaksa berenang sejauh 200 meter untuk menuju Pelabuhan Namlea. Pada subuh itu, kapal yang mengangkut mereka tak bisa merapat ke dermaga. Sejumlah tapol yang tak bisa berenang tenggelam dan tewas.

Lelaki yang kini berusia 87 tahun itu tak pernah membayangkan tinggal selama sembilan tahun di kamp penyiksaan. Dia datang ke pulau seluas 1.265.600 hektare di Kepulauan Maluku itu bersama konduktor terkenal Subroto, Martin Lapanuli, dan Sudarnoto sebagai bagian dari rombongan kedua setelah Pramoedya Ananta Toer dan rombongannya.

Hersri Setiawan, eks tahanan politik Pulau Buru di rumahnya di Yogyakarta, Kamis, 29 September 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Dengan alat yang serba terbatas, Hersri dan tapol lain mulai membuka lahan pertanian. “Waktu nyoba (membuat lubang) pertama kali, tanahnya penuh batu karang. Kami pakai tangan kosong,” kata Hersri saat ditemui di rumahnya di Kampung Ngadiwinatan, Kelurahan Ngampilan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 29 September lalu.

Pendengaran Hersri sangat kurang sehingga pertanyaan untuknya harus dititipkan kepada istrinya, Ita F. Nadia, yang dengan setengah berteriak menyampaikannya di dekat kuping Hersri. Betapapun demikian, ingatan Hersri cukup kuat.

Menurut cerita Hersri, dia ditempatkan di Unit 15, Savana Jaya, saat berusia 34 tahun. Ia harus berjalan kaki sejauh 5 kilometer dari pelabuhan ke Savana Jaya tanpa makanan dan minuman di bawah terik sinar matahari. Sesampai Hersri di Savana Jaya, petugas hanya memberikan sabit dan cangkul sebagai bekal untuk membangun barak.

Barak yang terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia inilah yang menjadi tempat tinggal Hersri dan 50 tapol lain. Mereka tidur di barak sesuai dengan nomor tapol yang ditentukan petugas. Setiap orang mendapat jatah tikar, bantal, dan kelambu. Bila hujan deras mengguyur, tanah barak itu becek.

Makan para tapol dijatah dari dapur yang dikelola empat orang secara bergantian. Setiap orang hanya mendapat jatah nasi dan garam. Suatu hari Hersri bertemu dengan tapol asal Bandar Lampung yang bisa membuat garam. Mereka kemudian membuat garam untuk memenuhi kebutuhan tapol.

Karena kekurangan makanan, para tapol harus masuk hutan untuk mencari sagu sebagai makanan tambahan. Mereka hanya mendapat jatah sarapan berupa singkong rebus serta nasi garam dan kubis untuk makan siang dan makan malam.

Jatah makanan tak bertahan lama. Hersri dan semua tapol wajib menjalani kerja paksa, yakni menanam padi. Petugas membagikan benih kepada tapol. Semula 500 tapol menggarap sawah seluas 9 hektare. Lahan garapan bertambah luas hingga 50 hektare, yang bisa untuk mencukupi kebutuhan beras 12 ribu total tapol Pulau Buru.

Panen padi Unit 15 melimpah dan surplus. Suatu hari Hersri membagikan sebagian hasil panen kepada unit-unit lain yang mengalami paceklik. Padahal sebagian hasil panen itu seharusnya disetor ke petugas. Karena aksi sosialnya itu, Hersri mendapat hukuman dari petugas. Tubuhnya direndam di dalam got selama tiga hari.

Di Unit 15 itu Hersri ditunjuk para tapol menjadi ketua menggantikan ketua sebelumnya yang gemar menyetor hasil panen kepada tentara. Selain bertani, tapol mendapat pembagian kerja di unit pertukangan. Unit ini bertugas menebang pohon dan menggergaji kayu. “Hasilnya harus disetor ke tentara,” tutur Hersri.

Tapi para tapol secara sembunyi-sembunyi menjual lembaran kayu kepada warga kampung supaya bisa mengumpulkan uang. Keuntungan hasil penjualan lembaran kayu secara diam-diam itu ditampung di satu tempat tertentu. Sebagian uang itu digunakan untuk membeli kertas dan alat tulis yang dijual oleh orang Bugis di kampung tersebut.

Kertas dan alat tulis itu diberikan kepada tapol yang gemar menulis seperti Hersri. Setiap malam, sepulang dari menanam padi, Hersri rutin menulis catatan harian. Ia suka mengamati kehidupan warga Pulau Buru, misalnya tentang ibu-ibu yang melahirkan dan merawat anaknya. Catatan itu ditulis dalam bahasa lokal Pulau Buru, Wayapo. Cornell University, Amerika Serikat, telah menerbitkan catatan yang berbentuk 20 buku itu. Catatan itu, kata Hersri, dikubur di dekat pohon pisang.

Selain menjalani kewajiban kerja rodi menanam padi, setiap tapol kerap mendapat penyiksaan. Suatu hari Hersri diinterogasi karena dua teman satu baraknya melarikan diri. Dua pengawal sambil tertawa menyiksa Hersri dengan cara memasukkan serangga orong-orong ke telinga kirinya.

Hersri merasakan kesakitan luar biasa. Setelah pengawal itu pergi, dia menemui mantri agar mengambil orong-orong itu. Rupanya, orong-orong itu tidak bisa diambil karena sudah terlalu dalam masuk ke kuping. Bagian tubuh orong-orong yang mati di dalam kuping itu baru bisa keluar satu per satu lima hari setelahnya. “Orong-orong ini yang merusak saraf Pak Hersri,” ujar Ita.

Selain mengalami gangguan pendengaran dan saraf, Hersri kehilangan satu paru-parunya karena petugas mengimpitkan bilah bambu ke dadanya. Dampaknya, Hersri mengalami penggumpalan darah di paru-paru dan muntah darah. Hersri dihukum karena petugas mencurigai dia mengkonsolidasikan para tapol untuk berani memprotes.

Pengalaman di Pulau Buru ditulis Hersri dalam buku berjudul Memoar Pulau Buru. Hersri bebas dari Pulau Buru pada 1978. Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Jawa Tengah itu pindah ke Jakarta dan mendirikan Biro Translasi Inkultura bersama sastrawan Rivai Apin dan Joebaar Ajoeb, yang juga baru bebas dari Pulau Buru. Mereka mampu menerjemahkan teks dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Belanda.

Di usia senja, Hersri kini menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan melihat perkembangan informasi di televisi. “Tiap hari juga rutin minum kopi, balas dendam karena di Buru tidak pernah mendapatkannya,” tutur istrinya.

•••

USIA Tuba bin Abdul Rochim masih 21 tahun saat rumah ibunya di Brebes, Jawa Tengah, digeruduk sejumlah tentara pada suatu sore. Ia bukan siapa-siapa, hanya seorang sukarelawan di Pemuda Rakyat, organisasi sayap pemuda Partai Komunis Indonesia. Rupanya, bukan Tuba yang dicari, melainkan Tohar—kakak sulungnya yang merupakan salah satu petinggi Front Nasional—yang tinggal di Sawah Besar, Jakarta.

Tohar sudah lama menjadi buron. Tuba tak tahu ke mana rimba sang kakak. Ia berangkat ke Brebes dengan tujuan menyelamatkan istri kakaknya yang menjadi pelarian. Nahas, ia ditangkap. Dari Brebes, Tuba memulai perjalanan kehidupannya dari penjara ke penjara. Dari Salemba, Rumah Tahanan Choesoes (RTC) Tangerang, hingga Nusakambangan dan Pulau Buru.

Penyintas eks Tahanan Politik Pulau Buru, Tuba, di Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Sejak 1966 hingga 1973, ia lebih banyak menghabiskan waktu sebagai tahanan politik di RTC Tangerang. “Di sana saya bekerja mencari kayu untuk kebutuhan di tahanan, terutama untuk dapur,” kata Tuba saat dihubungi pada Rabu, 28 September lalu. Dia diwajibkan mencari kayu bakar sekitar 10 meter kubik per hari. Tuba kebanyakan mencari kayu di dalam kota, di sekitar rumah penduduk, dan di ruas-ruas jalan, bukan di dalam hutan.

Setiap ada pohon yang memiliki banyak dahan, akan ia pangkas. Ia tak sendiri. Ada puluhan tapol lain yang ditugasi mencari kayu bakar, dengan berjalan kaki. Sementara itu, sejumlah tentara pengawal akan mengawasi dan mengiring para tapol pencari kayu bakar ini dari belakang. “Kalau tak dapat akan disiksa. Tapi tak pernah kami pulang dengan tangan kosong,” ucapnya. Jangankan tak mendapatkan kayu, kata dia, tak berangkat bekerja seusai apel pagi dan tak menghafal Pancasila saja sudah dipastikan akan babak belur, apa pun alasannya.

Tuba berkali-kali dipindahkan ke Salemba, tapi ia selalu ditarik kembali ke RTC Tangerang. “Supaya ada yang mencari kayu bakar,” tuturnya. Menurut Tuba, sebenarnya ia tak lihai dalam mencari kayu bakar. Ia hanya pandai melihat peluang. Prinsipnya, jika ada ranting atau dahan yang menjulur hingga ke jalan layak dipangkas.

Pekerjaan mencari kayu bakar di luar penjara itu kerap ia manfaatkan untuk menyelundupkan berbagai hal, dari makanan, minuman, rokok, hingga barang-barang lain. Barang-barang itu ia peroleh dari masyarakat yang bersimpati. Para tapol yang bertugas mencari kayu bakar memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat karena kerap membantu banyak hal, dari melakukan pijat refleksi dan totok hingga menghibur dengan nyanyian.

Tuba yang identik sebagai pencari kayu bakar tetap dipaksa melakukan hal yang sama ketika dipindahkan ke Nusakambangan. Bedanya, kata dia, mencari kayu bakar di Nusakambangan jauh lebih berat dengan tuntutan jumlah yang lebih banyak untuk menghidupkan mesin pembangkit listrik tenaga uap. Sesekali ia membabat rumput.

Dia baru merasa perjalanannya sebagai tapol agak ringan ketika tiba di Pulau Buru pada 1976 hingga dilepaskan pada 13 November 1979. Di sana ia ditempatkan di Unit Ronggolawe. Dari seluruh perjalanannya, RTC Tangerang yang paling membekas dalam ingatan Tuba. “Saya masih merasakan pahitnya berada di Tangerang,” ucapnya.

Tuba kini tinggal di rumah warisan orang tuanya, yang meninggal pada 1975. Rumah itu berdinding tripleks di permukiman padat penduduk di kawasan Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Dia menunjukkan foto Tohar, kakaknya. Tuba mengaku tak memiliki pekerjaan tetap, tapi ia masih menyempatkan diri ikut kegiatan para korban peristiwa 1965.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus