Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pulau Buru telah menjadi destinasi wisata dan lokasi transmigrasi.
Kamp Cianjur menyisakan sebuah pabrik teh di daerah Sarongge.
Pusat bisnis besar Kota Tangerang berdiri di bekas lahan kerja paksa tapol 1965.
DASIPIN, 91 tahun, berjalan dengan napas tersengal menyusuri Jalan Air Mendidih yang diapit lahan persawahan di Waenetat, Waeapo, Pulau Buru, Maluku. Dia kemudian berhenti di sebuah persimpangan yang diapit gedung Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) Cabang Mako Divisi Regional Maluku, Sekolah Dasar Negeri 08 Waeapo, dan Lapangan Sepak Bola Air Mendidih. Jari Dasipin—mantan tahanan politik 1965—kemudian menunjuk gudang Bulog yang bertembok tinggi berwarna kuning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu dulu tempat 12 kamp tahanan politik. Satu kamp sekitar 50 tahanan,” kata mantan tahanan politik peristiwa 1965 asal Pekalongan, Jawa Tengah, tersebut kepada Tempo, Senin, 19 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dasipin, kawasan Waenetat dulu adalah salah satu instalasi rehabilitasi atau inrehab di Pulau Buru—istilah pemerintah Orde Baru saat itu untuk kamp penahanan dan kerja paksa para tahanan politik (tapol) 1965 atau mereka yang diduga bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Wilayah ini dikenal dengan nama Unit 1 Wanapura. Berdasarkan kesaksian mantan tahanan, Pulau Buru memiliki 18 unit inrehab yang masing-masing minimal berisi 1.000 tahanan. Jarak satu unit ke unit lain 5-10 kilometer.
Dasipin kemudian menunjuk lapangan bola yang dulu juga menjadi lokasi kamp atau barak tahanan. Sedangkan lahan SDN 03 Waeapo dulu adalah rumah dinas komandan dan barak peleton tentara yang bertugas mengawasi para tahanan selama masa pengasingan. Sebagian besar penghuni kamp di Pulau Buru adalah orang-orang dengan klasifikasi grup B—diduga terlibat dalam gerakan PKI tapi pemerintah tak memiliki cukup bukti untuk menyeret mereka ke pengadilan.
Dasipin, mantan tahanan politik di Desa Waenetat, Waeapo, Pulau Buru, Maluku, 19 September 2022. TEMPO/Jaya Barends
Dia mengatakan semua bangunan dan jejak kamp di Pulau Buru sudah nyaris tanpa sisa. Semua unit inrehab telah menjadi desa-desa baru. Di dalamnya berdiri sejumlah bangunan modern, seperti rumah penduduk serta fasilitas pertanian, peternakan, dan pendidikan. Dia memastikan sebagian besar lahan persawahan dan jalan utama di Waeapo dan Namlea adalah hasil kerja paksa para tapol yang diminta pemerintah pada era itu.
Kondisi yang sama terjadi pada Unit 4 Savanajaya. Bekas unit tersebut kini hanya berupa lahan pertanian seluas 135 hektare yang menjadi saksi bisu praktik kerja paksa di kamp Pulau Buru.
Seorang mantan penghuni unit, Diro Sutopo, 86 tahun, menyebutkan dulu area ini adalah hutan belukar. Dalam enam bulan, ratusan tahanan di inrehab tersebut harus membabat lahan yang berisi pohon kayu putih, meranti, sagu, kelapa, rotan, dan sabana setinggi 2 meter. Mereka kemudian menanam padi gogo di lahan kering tersebut sebelum menanam padi air ketika pembuatan irigasi rampung.
Menurut Diro, para tahanan saat itu membabat hutan secara manual. Mereka hanya memiliki kapak dan parang. Mereka juga menggunakan alat sederhana saat membangun jalan yang kini menjadi akses utama penghubung tiga kecamatan di Kabupaten Buru.
“Dampak manfaatnya juga cukup tinggi bagi masyarakat sekarang. Tapi waktu saya datang kerjanya babat hutan,” tutur petani asal Boyolali, Jawa Tengah, tersebut.
Berbekal informasi para eks tahanan, Tempo menyusuri beberapa titik lain, dari dermaga hingga bekas kamp. Salah satunya Pantai Sanleko, yang menjadi lokasi penambatan perahu militer dan feri berisi tahanan politik dari sejumlah wilayah di Indonesia—sebagian besar dari Pulau Jawa. Saat ini pantai tersebut menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kabupaten Buru.
Tempo juga menelusuri keberadaan kamp Jiku Kecil—kamp di sekitar pantai yang menjadi tempat singgah para tapol sebelum dikirim ke unit. Kawasan pantai sudah memiliki infrastruktur jalan yang baik. Di sepanjang rute tersebut hanya terlihat ilalang dan pohon kelapa. Bergerak lebih dalam ke arah pulau, terdapat bangunan rumah dan perkantoran baru. Di antaranya Markas Komando Distrik Militer 1506/Namlea, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Buru, serta permukiman warga.
Pulau Buru sudah tak menyisakan petunjuk adanya kisah para tahanan politik di wilayah ini pada 1969-1978. Saat pertama kali kaki menapak di Dermaga Namlea, tersaji lazimnya pemandangan sebuah pelabuhan yang dipenuhi orang dan kendaraan. Orang-orang itu hendak menyeberang ke Kota Ambon. Sopir angkutan umum pun ramai menawarkan jasa pengantaran kepada para penumpang yang baru tiba.
Memasuki kawasan kota, sejumlah rumah berbahan bata dan gedung beton dengan cat berbagai warna berjajar rapi. Sebagian besar hunian tersebut bahkan memiliki pekarangan yang luas. Perjalanan mulai melewati sederet lahan pertanian dan perkebunan setelah keluar dari kawasan kota.
Berdasarkan sejumlah kesaksian mantan tapol 1965 dan catatan sejarah, Pulau Buru menjadi lokasi penahanan dan tempat pembuangan yang pernah menampung sekitar 17 ribu tapol. Mereka dibawa dari sejumlah daerah menuju pulau seluas 8.473,2 kilometer persegi tersebut pada 1969-1970.
Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan pembebasan bagi semua tapol pada 1978. Saat itu pemerintah juga memberi kebebasan jika ada tapol yang memilih bertahan di Pulau Buru. Mereka bebas memilih tempat tinggal dan lahan sekitar 2 hektare di pulau tersebut.
Seiring dengan waktu, pemerintah pun mendatangkan transmigran yang kemudian menggenjot pembangunan dan perkembangan masyarakat di kawasan itu. Saat ini jumlah penduduk di Kabupaten Buru sebanyak 38 ribu jiwa dengan luas lahan garapan sekitar 600 ribu hektare.
•••
MINIMNYA informasi dan petunjuk juga menyulitkan Tempo ketika mencari jejak kamp tahanan politik 1965 di kawasan Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan memoar Rosidi—salah satu tapol kamp Cianjur—dalam buku yang ditulis Tosca Santoso, Cerita Hidup Rosidi, terdapat dua lokasi yang menjadi tempat penahanan dan kerja paksa di Cianjur, yaitu Panembong dan Sarongge. Berbeda dengan Pulau Buru, dua lokasi ini berisi tahanan grup C atau orang-orang yang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Tempo kemudian menemui Suhendra, 64 tahun, mantan Camat Pacet, Cianjur, yang keluarganya mendapat tugas mengawasi para eks tapol di wilayah Sarongge. Berdasarkan informasi keluarga Suhendra, ada sebuah bangunan pabrik teh hijau yang dulu adalah kamp tapol 65. Lokasinya berada di tengah perkebunan Sarongge. Bangunan tua dengan pagar hijau tersebut memiliki plang bertulisan “Pusat Penelitian Teh dan Kina Pasir Sarongge”. Di sisi pabrik, terdapat sebuah lapangan sepak bola mini dan dua unit rumah dengan gaya bangunan lawas.
“Dulu saya diberi tugas mengawasi mereka (para tapol) selama di sini,” kata Suhendra kepada Tempo, menjelaskan fungsi bangunan-bangunan tua tersebut, Rabu, 21 September lalu.
Menurut Suhendra, kamp Sarongge dulu berisi 49 tahanan politik yang terdiri atas 44 warga Cianjur dan 5 bekas tahanan Pulau Buru mulai 1968. Mereka diduga menjadi anggota atau simpatisan Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia. Organisasi ini dianggap terafiliasi dengan PKI karena tercatat kerap menyetor iuran bulanan.
“Padahal mayoritas itu hanya bayar iuran karena merasa pemilik lahan saja. Jadi ditangkap karena tercatat bayar,” ujar Suhendra.
Area SD Negeri Air Mandidi yang dulunya adalah barak pengawal dan rumah komandan untuk menjaga para tahanan politik di Desa Waenetat, Waeapo, Pulau Buru, Maluku, 19 September 2022. TEMPO/Jaya Barends
Saat itu, tutur Suhendra, semua tahanan harus menjalankan kerja paksa mengolah perkebunan teh yang kini tercatat milik badan usaha milik negara, PT Perkebunan Nasional atau PTPN VIII. Berbeda dengan di Pulau Buru, pemerintah tak menempatkan anggota militer sebagai pengawas di Cianjur. Pemerintah hanya meminta perangkat desa melakukan pengawasan dan memberi laporan minimal dua kali setiap tahun.
Suhendra mengatakan tak ada bangunan asli kamp Sarongge yang tersisa. Semuanya telah menjadi bangunan baru yang memiliki fungsi berbeda. Di sekitar pusat penelitian pun sudah banyak hunian warga. Kondisi ini sangat berbeda dengan pada periode penahanan, ketika wilayah ini cukup jauh dari permukiman.
Suhendra juga membenarkan kabar bahwa ada kamp lain yang berada di kawasan Panembong, Cihurang, dan Ciloto. Namun dia mengaku tak memiliki banyak petunjuk detail tentang lokasi dan kondisi kawasan tersebut saat ini. Selain itu, lokasi kamp kerja paksa berada di perkebunan lain di sekitar Cianjur, seperti di Sukabumi, Jawa Barat.
Tempo pun berusaha mencari sisa-sisa kamp tapol 65 dengan menyusuri kawasan Panembong, Mekarsari, Cianjur. Tapi lokasi tersebut belum bisa ditemukan berbekal petunjuk buku Tosca Santoso dan informasi dari Suhendra serta warga setempat.
Satu-satunya peninggalan organisasi PKI yang masih cukup jelas adalah sisa bangunan Wisma Karya, bekas gedung pertemuan PKI wilayah Cianjur. Gedung tua dengan ornamen khas Tiongkok itu nyaris tak tampak dari jalan utama. Posisinya sudah mulai terhalang sejumlah pohon rindang yang tumbuh liar. Pedagang kaki lima pun menyesaki sisi depan gedung yang beralih rupa menjadi Gedung Olahraga Tenis Meja Cianjur.
“Diambil alih pemerintah daerah sejak 2016,” kata Muhammad Yunus, pegawai Kecamatan Pacet.
•••
JEJAK kamp tahanan politik 1965 di kawasan Tangerang, Banten, juga sudah tak bersisa. Pemerintah saat itu memiliki dua area di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai tempat penahanan dan kerja paksa para tahanan yang diduga mendukung Partai Komunis Indonesia. Area pertama seluas 60 hektare berupa hutan berada di sisi timur anak Sungai Cisadane. Sedangkan area kedua di sisi barat anak sungai seluas 55 hektare merupakan lahan kering. Dua area ini dihubungkan sebuah jembatan kayu.
Saat ini dua area kerja paksa tersebut sudah berganti wujud secara total. Area pertama menjadi kawasan pusat niaga, Tangcity Superblock. Di area ini berdiri sebuah mal besar, deretan rumah toko, sejumlah hotel, apartemen, dan lembaga pemasyarakatan. Sedangkan area kedua menjadi Kawasan Pendidikan Cikokol. Di dalam kawasan itu terdapat sejumlah sekolah, universitas, serta perkantoran swasta dan pemerintah.
“Yang tersisa hanya satu pohon waru di pinggir pintu gerbang (Kawasan Pendidikan Cikokol),” ucap penyintas kamp tapol 65 Tangerang, Bedjo Untung, 75 tahun, Senin, 19 September lalu.
Bahkan bekas area barak atau sel para tapol pun sudah tak berbekas. Pemerintah telah meratakan bangunan berisi sekitar 150 sel tersebut. Saat ini, menurut Bedjo, kawasan kamp tersebut telah menjadi Komplek Lapas Klas I, kompleks rumah pegawai lembaga pemasyarakatan.
Bedjo mengatakan sekitar 2.000 tapol menghuni kamp Tangerang selama 1965-1979. Mereka dipaksa bekerja dengan membuka lahan di area hutan dan lahan kering. Semua area tersebut kemudian menjadi wilayah pertanian, perkebunan, dan peternakan. Meski hasil panen dan ternak berlimpah, Bedjo mengungkapkan, para tahanan hanya mendapat asupan makanan minim. Semua hasil kerja paksa dirampas tentara.
•••
KAMP Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, bernasib sama. Pusat penahanan bagi tahanan politik wanita yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia itu hanya menyisakan sejumlah tiang fondasi yang tersebar di obyek wisata pemandian air panas Desa Sangubanyu, Batang, Jawa Tengah—letak kamp ini di perbatasan Batang dan Kendal. Sisa fondasi tersebut berupa tumpukan batu yang membentuk segi empat dengan ukuran bervariasi. Sebagian besar bangunan era kerja paksa tersebut sudah hilang dan hancur terkena banjir beberapa kali.
Sisa pondasi bekas bangunan Kamp Plantungan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, TEMPO/Jamal Nashr
“Sudah tak ada lagi bangunan tapol,” kata salah satu warga Plantungan, Supri, 51 tahun, pada Kamis, 22 September lalu.
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun Tempo, kamp Plantungan pernah menampung sekitar 500 tahanan grup B yang sebagian besar anggota Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Mereka ditempatkan di bangunan bekas rumah sakit militer dan rumah sakit kusta peninggalan era kolonial Belanda. Pemerintah mulai mengubahnya menjadi kamp konsentrasi pada 1971.
Sebagian besar bangunan hancur setelah terjadi banjir bandang dari Kali Lampir beberapa kali sejak 1979. Satu-satunya bagian bangunan yang masih utuh telah diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIB Plantungan. Lembaga pemasyarakatan yang berada di tepi sungai ini masih beroperasi.
Adapun beberapa bangunan lain sudah tampak rusak dan tak terawat. Bagian atap bangunan lapuk, sebagian gentingnya pecah dan bolong, daun jendela dan pintunya keropos, dindingnya berlumut, dan halamannya penuh ilalang tinggi.
Semua kamp penahanan dan kerja paksa tahanan politik 1965 sudah tak meninggalkan sisa. Pengingat masyarakat pada peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia tersebut hanya cerita dari para penyintas. Hingga kini belum ada monumen di bekas lokasi kamp tapol 1965 sebagai situs memori atau lieu de mémoire—pengingat dan pembelajaran dari sejarah—bagi masyarakat sekarang.
JAYA BARENS (PULAU BURU), M.A. MURTADHO (CIANJUR), JONIANSYAH (TANGERANG), JAMAL NASHR (KENDAL)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo