Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kariadi tewas dibedil tentara Jepang ketika hendak mengecek sumber air yang kabarnya ditaburi racun.
Meninggalnya Kariadi memantik pertempuran hebat selama lima hari di Semarang.
Lebih dari 2.000 orang Indonesia dan 500 tentara Jepang tewas dalam pertempuran lima hari itu.
DARI arah Jalan Dokter Soetomo, Semarang, gedung bergaya Eropa itu terlihat mencolok ketimbang bangunan lain di sekitarnya. Disangga empat pilar berkelir putih, gedung beratap segitiga dan trapesium itu adalah bekas rumah sakit peninggalan kolonial, Centrale Buzgerlijke Ziekewsichting, yang dibangun 95 tahun silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 1964, gedung itu berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi. Patung replika dokter Kariadi setinggi 3 meter terpacak di lobi gedung. “Dia gugur demi menyelamatkan warga Semarang,” kata Nina Herlina Lubis, guru besar sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, yang menulis biografi Kariadi, pada Rabu, 5 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kariadi terlibat dalam pelucutan senjata tentara Jepang sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam buku Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 karya Benedict Anderson, pelucutan itu dilakukan para pemuda yang dibantu Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro. Kecuali terhadap pasukan Kidobutai, pelucutan tersebut dianggap relatif berhasil.
Pasukan elite yang dipimpin Mayor Kido Shinichiro itu menolak melucuti semua senjatanya. Mereka tetap bersiaga di tangsi di Jatingaleh, daerah perbukitan di Semarang. Penolakan itu membuat berang laskar pemuda, termasuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara)—nama RSUP Kariadi di era Jepang—tempat praktik Kariadi.
Patung sosok Dokter Kariadi di RSUP dr Kariadi Kota Semarang. Tempo/Jamal A. Nashr
Pada 12 Oktober 1945, ketegangan di Semarang memuncak seiring dengan tersebarnya berita kedatangan pasukan Inggris di Jawa Barat. Apalagi Mayor Jenderal Nakamura menyediakan pengawal untuk Letnan Kolonel Tull, perwakilan Inggris di Jawa Tengah, ketika memindahkan tahanan dari kamp Magelang dan Ambarawa ke Semarang. Pada 14 Oktober 1945 pagi, laskar pemuda menangkapi anggota staf Tull, termasuk tentara Jepang.
Menurut biografi Kariadi yang ditulis Nina Herlina Lubis dan Miftahul Falah, para pemuda bersiap mencegat kendaraan tentara Jepang yang melintas di depan rumah sakit sejak subuh. Dari penyergapan itu, mereka menyita kendaraan dan senjata milik seorang anggota Kempeitai—polisi militer Jepang. Selain itu, sekelompok pelajar dari sekolah Taman Siswa menyerang mes perwira Jepang di Candi Baru, tak jauh dari tangsi Kidobutai.
Tentara Jepang membalas penyergapan itu sorenya. Pasukan Jepang di bawah komando Mayor Shinichiro memasuki kota dan membubarkan para pemuda yang berkumpul, bahkan ada yang mereka bunuh. Wongsonegoro ditahan di rumahnya, lalu dibawa ke penjara Bulu.
Pasukan Jepang juga menyerang delapan polisi Republik yang tengah menjaga sumber air, Reservoir Siranda. Petang itu, tersiar kabar bahwa tentara Nippon menabur racun ke sumber utama air minum masyarakat Semarang tersebut. Rakyat pun gelisah.
Informasi itu sampai ke kuping para pemuda AMRI yang tengah mengadakan rapat di Purusara. Pemimpin pemuda meminta Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara, mengecek reservoir itu untuk membuktikan kabar penaburan racun.
Dengan cepat alumnus Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Artsen School) itu menuju reservoir. Soenarti, istri Kariadi, mencoba mencegah keinginan suaminya karena keadaan saat itu genting. Kariadi ngotot pergi. “Suasana saat itu berbahaya karena tentara Jepang ada di mana-mana, termasuk di jalan menuju reservoir,” ujar Nina Herlina.
Soenarti, yang juga seorang dokter, tak bisa menahan kehendak suaminya. Dia hanya bisa menawarkan secangkir minuman kopi sebelum sang suami pergi. Tapi, baru saja Soenarti melangkah ke dapur, Kariadi pamit. “Aku pergi, ya,” ucapnya. Ia pergi naik mobil disopiri Yanto, siswa sekolah menengah teknik yang menjadi anggota Tentara Pelajar.
Benar saja. Dalam perjalanan menuju reservoir, tentara Jepang mencegah mobil Kariadi di Jalan Pandanaran. Sempat terjadi cekcok antara tentara Jepang dan Kariadi karena mereka tak memberikan izin lewat. Kariadi memaksa dengan berusaha menerobos barikade itu. Tentara Jepang lalu menembaknya.
Yanto membawa Kariadi ke rumah sakit sekitar pukul 23.30. Ketika Kariadi dibawa ke ruang operasi, luka di tubuhnya sudah parah. Nyawa dokter kelahiran Malang, Jawa Timur, itu tak tertolong. Anak bontot dari dua bersaudara itu meninggal pada usia 40 tahun.
Di rumah, Soenarti dan tiga anaknya waswas karena Kariadi tak kunjung pulang meski hari sudah larut. Tiba-tiba telepon rumah berdering. Soenarti dengan cepat menyambarnya. Dari ujung telepon, Purusara mengabarkan bahwa Kariadi meninggal akibat luka parah.
Tubuh perempuan kelahiran Palembang, 5 Juli 1909, itu lunglai. Soenarti merangkul anak-anaknya, mengabari bahwa ayah mereka sudah tiada. Tangis pun pecah. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi semua orang menangis,” tutur Sri Hartini Kariadi, anak bungsu Kariadi, dokter dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Pada malam kematian Kariadi, terjadi pertempuran sengit di depan Purusara. Suasana bertambah kacau setelah 400 orang Jepang yang ditahan di asrama sekolah pelayaran memberontak dan kabur, lantas bergabung dengan pasukan Nippon. Pada pukul tiga dinihari, 15 Oktober 1945, Mayor Kido Shinichiro memerintahkan sekitar seribu tentara menghancurkan Kota Semarang.
Berita gugurnya Kariadi memantik kemarahan penduduk kota itu. Pertempuran pun meluas ke sekujur kota. Suara ledakan dan peluru yang lepas dari moncong senapan bersahutan. Korban berjatuhan di mana-mana. “Dalam teori revolusi, Kariadi disebut sebagai martir,” kata Wasino, guru besar sejarah Universitas Negeri Semarang, pada Selasa, 4 Agustus lalu.
Karena mendapat perlawanan sengit dari rakyat Semarang, Jepang meminta gencatan senjata pada 17 Oktober 1945. Tapi mereka diam-diam mereka menyerang beberapa kampung di Semarang. Akibatnya, banyak penduduk sipil menjadi korban.
Perang pun tak terelakkan. Kabar pertempuran hebat di Semarang mengundang bala bantuan dari daerah lain, seperti Demak, Pati, Cepu, dan Purwodadi. Pertempuran makin luas seiring dengan datangnya bala bantuan itu. Tentara Jepang pun kewalahan.
Pada 19 Oktober 1945, Jepang kembali meminta gencatan senjata. Pada hari itu juga Mayor Jenderal Nakamura bersama pimpinan Badan Keamanan Rakyat terbang dari Yogyakarta, menyebarkan pamflet berisi imbauan gencatan senjata. Perang selama lima hari itu pun usai.
Pertempuran itu menelan korban sekitar 2.000 orang Indonesia yang gugur serta menewaskan sekitar 500 tentara Jepang. Kariadi masuk hitungan itu. Pada 17 Oktober 1945, di tengah desingan peluru, jenazahnya dimakamkan di halaman Purusara. Kecuali Soenarti yang tak sanggup melihat jenazah suaminya, semua anak-anaknya hadir dalam pemakaman itu.
Enam belas tahun kemudian, kerangka tubuh Kariadi dipindahkan dari halaman rumah sakit ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Sri Hartini, yang saat itu merupakan mahasiswa kedokteran, sempat mengecek tulang ayahnya. “Saya melihat ada bekas retakan di tengkorak. Mungkin karena dipukul sebelum ditembak,” ucapnya.
Pada Mei 2020, Kariadi diajukan untuk memperoleh gelar pahlawan nasional. “Dengan semua pengorbanannya, ia layak mendapatkannya,” tutur Wasino, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Tengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo