Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nama Sutan Sjahrir tak diucapkan di rumah Boentaran Martoadmodjo.
Di klinik Boentaran, pasien miskin bisa berobat gratis.
Memiliki penyakit gula, Boentaran suka makan yang manis-manis.
HAMPIR saban Sabtu pada 1960, Ratna Amijanti Amino Sitompul dijemput kakeknya, Raden Boentaran Martoadmodjo, di rumahnya di Jalan Kwini, Senen, Jakarta Pusat. Bersama keluarganya, Ratna yang saat itu berusia 7 tahun diboyong ke Cipayung, Puncak, Jawa Barat. “Kami menginap di vila Pakde,” kata Ratna saat ditemui Tempo pada Ahad, 9 Agustus lalu. Meski telah menjadi kakek, Boentaran selalu meminta para cucunya memanggil dia “pakde” agar tidak terkesan tua dan terlalu berjarak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratna ingat betul, kakeknya yang sering mengenakan kemeja warna putih selalu bermain layang-layang di vila itu. Kadang-kadang sang kakek mengajak dia bermain dan memintanya memegang kaleng benang. Ratna selalu berada di belakang kakeknya dan bertugas menggulung atau mengulur benang. Suatu ketika Ratna tak memperhatikan keadaan sekitar saat menarik benang. Ia tercebur ke dalam kolam ikan yang cukup besar dan dalam. Boentaran yang panik lalu terjun mencari Ratna yang tenggelam. Dia terjun ke bagian yang dikerubungi ikan dan menemukan Ratna, yang lalu dibawanya ke tepi kolam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cucu Boentaran itu tak mengetahui alasan kakeknya gemar menerbangkan wau. Belakangan, Ratna baru tahu hobi Boentaran menerbangkan layangan itu menjadi pelampiasan rutinitas di Jakarta, terutama aktivitas politik sang kakek. Pada 1960, Boentaran menjabat Wakil Ketua Umum Partai Indonesia (Partindo). Ratna menilai kakeknya suka mengendalikan arah seperti memainkan layang-layang dan tidak suka dikekang. “Makanya dia tidak bisa dipenjara lama,” ucap Ratna, yang kini berusia 86 tahun.
Boentaran pernah dipenjara pada 1948-1950. Dia tergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan, organisasi yang didirikan Tan Malaka. Bersama kawan-kawan dan adiknya, Raden Sundoro Budhyarto Martoatmodjo, Boentaran menentang kabinet yang dibentuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada November 1945.
Sebelum dipenjara pada 1948-1950, Boentaran sering dicari dan menjadi tahanan harian. Lokasi penjaranya berpindah-pindah selama dua tahun. Boentaran pernah dipenjara di Yogyakarta dan Jakarta. Karena peristiwa ini, menurut Ratna, nama Sutan Sjahrir dilarang diucapkan di rumahnya. “Keluarga merasa Sjahrir tidak baik kepada Eyang,” ujarnya.
***
BOENTARAN Martoadmodjo lahir di Purworejo pada 11 Januari 1895 dari pasangan Raden Boekardjo Martoatmodjo dan Bardjijah. Ayah Boentaran adalah priayi dan guru di lingkungan Keraton Mangkunegaran, Solo. Ketika Boentaran berusia 4 tahun, Boekardjo meninggal karena sakit tifus pada 1899. Tri Budhy Hartaty Budhy Rahayu menuturkan, Boentaran berperan seperti ayah di dalam keluarga dan menjaga adik-adiknya. “Sering menyemangati adiknya untuk terus belajar,” ujar keponakan Boentaran ini.
Bardjijah dan anak-anaknya pindah dari Solo ke Purworejo. Buku karangan Ibnu Mufti dan Muhtar Said berjudul Mr. R.S. Budhyarto Martoatmodjo: Pejuang Kemerdekaan dan Pendidik Tiga Zaman (2016) menyebutkan bahwa Boentaran menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) Purworejo atau sekolah dasar untuk keturunan Eropa. Ketika itu, tidak semua pribumi bisa bersekolah di ELS. Namun Boentaran dianggap terpandang. “Dapat hak khusus karena golongan priayi,” seperti tertulis dalam buku itu.
Setelah itu, Boentaran melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau dikenal sebagai sekolah pendidikan untuk dokter pribumi. Ia lalu melanjutkan pendidikan dokter di Universiteit Leiden, Belanda. Boentaran disebut-sebut tertarik menjadi dokter lantaran ayahnya meninggal karena sakit. Boentaran dikenal sebagai dokter yang murah hati. Tri Budhy menuturkan, klinik Boentaran di Jalan Raden Saleh, Menteng, Jakarta Pusat, memperbolehkan masyarakat tidak membayar jasa dan obat. “Orang enggak punya duit bisa berobat,” tuturnya.
Dua cucu Boentaran, Ratna Amijanti dan Ida Faiza, menilai kakek mereka tegas dan tertutup. Dia tidak pernah mencampuradukkan urusan keluarga dan pekerjaan. Menurut keduanya, Boentaran juga tak pernah membahas soal politik di dalam rumahnya. Ratna dan Ida sama-sama tak pernah mendengar diskusi politik di rumah Boentaran di Jalan Gresik 20, kini Jalan Sutan Syahrir, Menteng, Jakarta Pusat. Setiap keduanya bertanya soal politik, tak pernah ada jawaban dari kakek-nenek dan orang tua mereka.
Ratna pernah bertanya kepada sang kakek ihwal tetamu dari Rusia yang datang ke rumah. Kakeknya tak menjawab apa pun. Namun Boentaran membawa Ratna menonton pertunjukan balet dari Rusia. Belakangan, dia mengetahui Boentaran menjadi Ketua Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Uni Soviet.
Ida Faiza, cucu dokter Boentaran Martoatmodjo di RS Jakarta, 11 Agustus 2020. TEMPO/STR/Nurdiansah
Kedekatan Boentaran dengan Uni Soviet terjalin saat dia menjadi Ketua Yayasan Rumah Sakit Jakarta. Lokasi rumah sakit itu di Jalan Sudirman Kaveling 49, dulu menjadi area Pekan Raya Ekonomi Internasional. Pada perhelatan itu, Rusia memamerkan pesawatnya. “Duta Besar Rusia pernah memberikan bantuan ke Yayasan,” ujar Ida Faiza, Direktur PT Jakarta Sentra Medika Sejahtera, salah satu perusahaan di bawah Yayasan Rumah Sakit Jakarta.
Ida mengenang kakeknya gemar menonton pertandingan sepak bola sendirian di Lapangan Menteng serta membaca koran dan majalah. Boentaran kerap menggarisbawahi artikel yang menarik. Selain itu, Boentaran sering memanggil tukang es krim dorong yang lewat di depan rumah dan memberikannya kepada para cucunya. Sering kali dia menghabiskan es krim dan memberikan sisa cone kepada mereka.
Menurut Ida, Boentaran yang gemar mengkonsumsi makanan manis ternyata mengidap sakit gula. Keluarga baru tahu belakangan penyakitnya itu. Boentaran meninggal pada 30 Oktober 1972. Pada November 1992, Presiden Soeharto memberikan anugerah tanda kehormatan kepada 37 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Boentaran menerima Bintang Mahaputra Adipradana.
Boentaran dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Di samping kuburannya yang berkeramik hitam, bersemayam juga jasad istrinya, Maryam, dan putri pertamanya, Tuti Buyamti Amino.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo