Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUKARNO nyaris sukses mengusili Johannes Leimena. Suatu siang pada April 1963, Presiden dan Wakil Perdana Menteri I itu tengah menunggu kedatangan Presiden Cina Liu Shaoqi di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta. Sambil mengajak ngobrol, Bung Karno perlahan merogoh saku belakang celana Leimena, seperti hendak mengambil dompet. Tapi sang Menteri keburu menyadari telah menjadi korban kejailan Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua yang ada di situ tertawa terpingkal-pingkal,” Remy Jesaja, putra ketujuh Leimena, mengisahkan peristiwa itu kepada Tempo pada Jumat, 14 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedekatan Bung Karno dengan Leimena tergambar dari panggilannya. Sukarno memanggil pria kelahiran Ambon, Maluku, 6 Maret 1905, itu dengan julukan Mijn Dominee, yang berarti “Pendetaku” dalam bahasa Belanda lantaran karakternya yang lemah lembut.
Kekaguman si Bung kepada Leimena yang juga akrab disapa Om Jo ini ia ungkapkan terang-terangan dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) yang ditulis Cindy Adams. “Ambilah, misalnya, Leimena... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui.”
Sukarno juga sangat percaya kepada Leimena. Tak hanya menjadikan Leimena sebagai menteri, hampir di sepanjang masa pemerintahannya, Sukarno bahkan mengangkatnya sebagai Pejabat Presiden ketika sedang berpesiar ke luar negeri.
Dari kiri: Soeharto, Soekarno, dan Johannes Leimena. Dok.Catharina W. Leimena
Setidaknya tujuh kali, selama 1961-1965, Leimena menjadi Pejabat Presiden. Putri kedelapan Leimena, Lendra Kraton Melani Kusumahati, mengingat, bila tugas itu tiba, semua pegawai Istana seperti boyongan ke Jalan Teuku Umar 36, Jakarta, kediaman Leimena. “Mulai juru masak, pelayan, sampai semua peralatan di meja makan. Kami dilayani seperti (keluarga) presiden,” tutur Melani pada Kamis, 13 Agustus lalu.
Menurut Melani, ayahnya tak pernah bercerita tentang amanat baru itu. Ketika pertama kali Leimena mengembannya, Melani yang baru pulang dari sekolah kaget di rumah telah berkumpul pasukan pengawal presiden lengkap dengan mobil RI-1 dan sejumlah pegawai Istana. Di meja makan, ia melihat berbagai hidangan Istana dengan peralatan makan serba luks. Ke sekolah pun, kata Melani, dia dikawal. “Pernah suatu kali Bung Karno pergi ke luar negeri hingga tiga bulan. Kami mendapat pelayanan selama itu.”
Putra ketujuh Leimena, Remy Jesaja, mengenang, jika ayahnya menjadi Pejabat Presiden, hidangan Istana di meja makan seperti tak ada habisnya. Remy duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) ketika itu. Beberapa kali ia membawa teman-temannya ke rumah untuk menikmati santapan Istana. “Saya memang sering mengajak teman makan ke rumah. Tapi hidangan kali ini beda.”
Melani mengisahkan, pengawalan lengkap terhadap sang ayah awalnya sempat menghebohkan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Paulus di kawasan Taman Suropati, Jakarta. “Akhirnya gereja tahu, ‘O, Dr Leimena sedang jadi Pejabat Presiden,’” ujarnya.
Bukan hanya dengan Leimena, Bung Karno pun dekat dengan Melani dan saudara-saudaranya. Catharina, putri kedua Leimena, mengatakan ia beberapa kali diundang makan oleh Bung Karno. Misalnya saat menempuh sekolah musik di Verdi Conservatory di Milan, Italia, ia diminta datang ke kantor Kedutaan Besar RI di Roma.
Peristiwa itu terjadi pada awal 1960-an. Tahun berikutnya, ia juga diundang makan siang ketika Sukarno dan sejumlah menteri, termasuk Leimena, berada di Wina, Austria. “Saya juga diminta menyanyi ‘The Last Ross of Summer’.” Catharina kini guru vokal. Ia pernah melatih sejumlah penyanyi, seperti Agnez Mo dan Krisdayanti. Sempat juga ia membimbing kontestan Indonesian Idol.
Melani mengenang sang ayah sebagai sosok yang bersahaja. Saat menjabat menteri, Om Jo berjalan kaki dari rumahnya menuju gereja tanpa pengawalan. “Saya sering berdua jalan kaki dengan Ayah pulang dari gereja.”
Leimena tidak pernah mencari hiburan di luar rumah. Pulang kantor, ia bersalin baju dengan sarung dan kaus atau kemeja, lalu bercengkerama dengan keluarganya. Hari-hari libur juga dihabiskannya bersama keluarga.
Waktu lain, ketika Remy meminta dibelikan jas, sang ayah malah memintanya pergi ke Jalan Surabaya, kawasan pasar loak di Menteng. “Mungkin Ayah pikir, dulu saat berunding dengan Belanda, dia saja pakai jas pinjaman,” ucap Melani.
Saat delegasi Indonesia akan berunding dengan Belanda dalam Perundingan Renville, Leimena meminjam jas teman sekamarnya. Meski agak kekecilan, dia bisa bertahan beberapa jam. “Jangan khawatir. Saya tidak akan bikin malu negara kita,” seperti diceritakan Faisal Basri dan Haris Munandar dalam buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan dan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019).
Cerita Remy sedikit berbeda. Sang ayah, kata Remy, memintanya menurunkan lampu kristal untuk dibawa ke Jalan Surabaya. “Maksudnya disuruh jual lampu kristal untuk beli jas. Saya akhirnya dapat duit untuk beli jas,” ujar Remy.
+++
MIJN Dominee, penganut Kristen yang taat itu, sama sekali tidak memprotes ketika putri bungsunya, Melani, menikah dengan seorang muslim pada 1975. “Ayah enggak marah. Ayah saya terserah anaknya. Beliau selalu bilang, ‘Saya mendidik anak begini-begini, terserah kamu, mana yang terbaik, dipikirkan. Risikonya tanggung sendiri.’”
Menurut Melani, ayahnya bahkan mengantarkan sendiri undangan pernikahan tersebut kepada keluarga Presiden Soeharto. Tapi, saat bertemu dengan Soeharto, Leimena menyampaikan permohonan maaf karena tidak mengundang Presiden. “Ayah khawatir tak sanggup membiayai dan menservis Presiden dan pasukan pengawalnya yang banyak sekali,” ujarnya. Maka hanya Ibu Negara Tien Soeharto yang hadir dalam resepsi pernikahan yang berlangsung di kediaman Leimena setelah pensiun, di Jalan Teungku Cik Di Tiro, Jakarta.
Leimena juga tak menginterupsi saat putra dan putrinya yang lain menikah dengan bukan pemeluk Kristen. Kakak sulung Melani, Anne Marie Elisabeth, bersuamikan seorang haji. Begitu pula kakak nomor enam, Viveka Nanda. “Kakak nomor enam sudah almarhum. Istrinya masih ada, muslim sampai hari ini,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Leimena dikenal sebagai pribadi yang terbuka. Ia berkarib dengan Mohammad Natsir, pemimpin Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang memperjuangkan syariat Islam. Dokter Jo sendiri adalah pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Natsir bercerita, Belanda menyebut Leimena dengan julukan Meneer de Dominee (Tuan Pendeta). “Dan kalau Meneer de Dominee sudah berkata secara tough, lawan perundingan tahu: sudah pukul berapa sekarang,” ujar Natsir dalam kata sambutan di buku Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab: Mengenang Dr. Leimena.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo