Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK memutuskan menjadi relawan medis di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, dokter Falla Adinda merasa perlu mengedukasi publik tentang Covid-19. Ia bertugas di sana selama dua bulan saat wabah merebak Maret lalu. "Saya harap keikutsertaan di Wisma Atlet bisa memberikan informasi yang benar dan kredibel tentang pandemi kepada masyarakat," kata Falla, 30 tahun, saat dihubungi, Sabtu, 8 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hoaks dan disinformasi seputar Covid-19 yang terus bertebaran di dunia maya membuat sejumlah dokter bekerja ekstra. Selain turun langsung merawat pasien Covid-19 di rumah sakit, mereka aktif memberikan edukasi soal penyakit menular yang mematikan itu lewat media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Falla menggunakan Twitter dan Instagram untuk berbagi informasi. Dengan pengikut di Twitter mencapai 183 ribu, dokter yang rajin mencuit tentang tip berolahraga di masa pandemi ini mengkampanyekan pentingnya menjaga jarak, memakai masker, dan membersihkan tangan. "Saya memiliki cukup suara di media sosial dan memakai kekuatan itu," ujarnya.
Saat Falla bertugas di Wisma Atlet, Jakarta masih menjadi episentrum utama penyebaran Covid-19. Pemerintah gencar mengkampanyekan agar masyarakat berkegiatan di rumah. Rumah sakit darurat Wisma Atlet, yang saat itu masih mengoperasikan dua menara, sudah merawat lebih dari 500 pasien Covid-19.
Menurut dia, arus informasi yang liar di media sosial telah membuat para pengikutnya terbelah. Ada yang memang belum mengerti tentang Covid-19 dan bahayanya. Kepada kelompok ini, edukasi lebih mudah dilakukan. Tapi, buat mereka yang menolak untuk mengerti tentang Covid-19, Falla mengabaikannya. "Saya menghindari debat yang tidak perlu."
Dr. Dirga Sakti Rambe di OMNI Hospitals Pulomas, Jakarta, Rabu 12 Agustus 2020. TEMPO/Subekti.
Dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe mulai lebih awal. Ia membagikan informasi seputar virus corona sejak Januari lalu. Saat itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan status pandemi. Indonesia juga belum melaporkan kasus positif. "Saya termasuk dokter yang paling awal memberi edukasi tentang Covid-19 dan mengingatkan potensi terjadinya pandemi," kata Dirga, Sabtu, 8 Agustus lalu.
Dirga, 33 tahun, yang aktif berkomunikasi dengan dokter dan peneliti di negara-negara lain, semula memilih Twitter sebagai saluran utama untuk berbagi informasi. Ia getol mengkampanyekan pentingnya vaksinasi sejak 2011. Dokter dan vaksinolog ini biasa mencuit di sela merawat pasien. Tapi, tiga bulan terakhir, ia juga menggunakan Instagram untuk menyebarkan konten video.
Dari rutinitasnya merawat pasien, Dirga mendapati pandemi Covid-19 belum terkendali. Penambahan kasus setiap hari mencapai 2.000-an orang, positivity rate masih tinggi, dan beberapa rumah sakit kembali penuh. "Sementara itu, banyak orang yang menganggap ini semua konspirasi," ujarnya.
Kondisi inilah yang membuat Dirga turun tangan mengedukasi publik. Menurut dia, dokter, ahli, dan peneliti, dengan keilmuan mereka, harus menyediakan informasi yang benar. Apalagi kini muncul kecenderungan orang di banyak negara tak percaya informasi dari pemerintah atau negara. "Jangan sampai sumber informasi alternatif diisi hoaks," kata Dirga.
Jiemi Ardian tak ketinggalan memanfaatkan Twitter dan Instagram untuk berbagi pengetahuan. Dokter spesialis kesehatan jiwa ini sering membicarakan perilaku yang jamak terjadi di masyarakat selama pandemi. Pada 27 Juni lalu, misalnya, ia membahas alasan orang enggan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Menurut dia, fenomena ini terjadi lantaran ketakutan terhadap perubahan.
Ia juga membahas soal perasaan tidak nyaman saat memasuki masa adaptasi kebiasaan baru pada awal Juli lalu. Jiemi mengatakan itu merupakan hal wajar karena masyarakat berada dalam kondisi yang tak lazim. "Covid-19 juga berdampak pada kesehatan jiwa," tutur Jiemi, 31 tahun, Selasa, 11 Agustus lalu. Jiemi punya 242 ribu pengikut di Twitter dan 137 ribu pengikut di Instagram.
dr. Jiemi Ardian Sp.KJ di Siloam Hospital Bogor, Jawa Barat, 12 Agustus 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Jiemi tak selalu spontan menanggapi setiap isu yang ramai diberitakan, seperti banyaknya tenaga medis yang meninggal karena terjangkit Covid-19. Tapi untuk topik yang perlu dibahas panjang, misalnya teori konspirasi Covid-19, ia biasanya membaca beberapa jurnal. "Kalau topiknya dalam begitu, saya riset dulu," ucapnya.
Ihwal pagebluk yang mempengaruhi kesehatan jiwa, Falla dan Dirga sependapat. Wabah yang telah berlangsung enam bulan itu berdampak pada setiap sendi kehidupan, tidak jelas kapan berakhirnya, membuat sebagian orang bersikap tak logis. Dalam beberapa kasus, kata Falla, rasa empati tidak terbentuk karena tak mengalami langsung. Faktor finansial, rasa bosan, dan frustrasi karena terimbas wabah membuat kualitas hidup menurun. "Ada yang kehilangan akal sehat karena pandemi ini memukul kita begitu panjang," ujar Dirga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo