Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Anak Nelayan Melawan Kompeni

Jonas Latumeten sakit-sakitan menjelang akhir hidupnya. Kerangkanya harus dipindahkan dan rumah keluarganya digusur.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jonas Andreas Latumeten lahir dari keluarga nelayan miskin di Desa Rutong, Ambon.

  • Sejak kecil Jonas menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.

  • Pemerintah DKI Jakarta meminta makamnya dipindahkan dan rumah keluarganya digusur.

PANTAI Rutong di Kota Ambon, Maluku, terlihat sepi pada Kamis siang, 6 Agustus lalu. Hanya ada tiga perahu nelayan bertambat di hamparan pasir cokelat. Biasanya, setiap pagi, puluhan nelayan membongkar tangkapannya di pantai itu. Penduduk setempat menamai kawasan itu Labuang Rajuno Hitipori, yang berarti teluk berlabuh bagi kapal nelayan. Di sinilah jantung aktivitas nelayan Desa Rutong sejak 1900-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Labuang Rajuno, Jonas Andreas Latumeten yang masih bocah datang setiap pagi. “Opa Jonas mengambil tangkapan dari kapal ayahnya,” kata Antonetta Louise Latumeten, cucu kesepuluh Jonas. Perempuan 66 tahun itu mendapat cerita soal kegiatan kakeknya dari ayahnya sekaligus anak kedua Jonas, John Ferry Latumeten. Menurut Louise, Jonas sesekali ikut melaut. Dia berangkat bersama ayahnya, Yohanes Latumeten, menumpang perahu semang setiap pukul 2 pagi. Empat jam kemudian, kapal mereka biasanya sudah merapat lagi ke pantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari pantai Rutong, Jonas menenteng ikan ke pasar tradisional, kini menjadi kompleks Pasar Lama di dekat Lapangan Merdeka, Kota Ambon. Ia berjalan kaki menempuh jarak sekitar 25 kilometer jauhnya untuk menukar sejumlah ikan dengan bahan kebutuhan pokok. Sering kali tentara Belanda mencegat warga pribumi. Para serdadu kompeni itu merampas hasil bumi dan tangkapan laut yang hendak dijual. Banyak penduduk menyerahkan bawaan mereka, tapi tidak dengan Jonas. “Opa melawan dengan merebut kembali ikannya dari tangan mereka,” ujar Louise.

Cucu Jonas Andreas Latumeten, Antonetta Louise Latumeten dan meja kerja kakeknya yang tersimpan di Museum Kebangkitan Nasional. Dok. Keluarga

Keluarga Jonas menggantungkan hidup pada hasil melaut. Yohanes Latumeten, nelayan dari Desa Latuhalat di pesisir selatan Pulau Ambon, menikah dengan Cristina Maspaitella, anak Raja Rutong. Meski berasal dari trah ningrat, orang tua Jonas tergolong miskin. Pengantin muda Yohanes dan Cristina tak punya rumah. Mereka menumpang di rumah milik keluarga Maspaitella. Kerabat Jonas, Yohanes Maspaitella, menyebutkan tembok rumah keluarga itu awalnya terbuat dari gaba-gaba alias pelepah sagu. Di bagian teras, atapnya terbuat dari daun rumbia. Sejak 1975, rumah seluas 10 meter x 16 meter itu dipugar dan bagian serambinya hilang.

Yohanes Maspaitella, 61 tahun, kini menghuni rumah itu bersama ibunya. Menurut dia, pasangan Yohanes dan Cristina menempati kamar bagian depan. Kamar itu kini berlantai semen serta berisi dipan dan meja. Di kamar seluas 20 meter persegi itulah Cristina melahirkan Jonas pada 15 Mei 1888. Sang ayah tak punya biaya ke rumah sakit. “Waktu itu dibantu dukun beranak,” tutur Yohanes, 61 tahun.

Jonas terkenal pandai sejak belia. Ia menempuh pendidikan di sekolah rakyat, setingkat sekolah dasar, tak jauh dari rumah keluarga Maspaitella di Desa Rutong. Bangunan sekolah yang dulu hanya seluas lapangan badminton dan disekat menjadi tiga ruang itu sudah berubah menjadi rumah warga Rutong. Di sekolah dasar, Jonas tak mampu membeli buku dan hanya bisa meminjam dari teman-temannya. Namun ia mampu mengajari mereka saat belajar bersama.

Kepandaian Jonas membuatnya punya kesempatan bersekolah di Batavia. Louise bercerita bahwa kakeknya menangis pada malam sebelum berangkat ke Batavia. Jonas yang merupakan anak tunggal tak tega meninggalkan orang tuanya di kampung. “Ia merasa bersalah karena tak bisa lagi membantu ayahnya berjualan ikan di pasar,” ujar Louise.

Di Batavia, Jonas mula-mula masuk schakel school, sekolah persamaan untuk murid bumiputra. Menggunakan bahasa Belanda, sekolah itu merupakan kelas persiapan sebelum anak pribumi seperti Jonas masuk ke sekolah anak-anak keturunan Eropa, seperti Eurospeesch Lagere School. Studi Jonas di Batavia lempang hingga ia lulus dari The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen—sekolah kedokteran bagi murid pribumi. Ia kemudian mendalami kedokteran jiwa di Utrecht University, Belanda. Setelah itu, Jonas memimpin sejumlah rumah sakit, dari Sabang di Aceh hingga Lawang di Jawa Timur.

Jonas menikah dengan Leentje Jacomina Tehupeiory, gadis Desa Hutumuri, kampung tetangga Jonas di Rutong, pada 5 September 1914. Mereka memiliki empat anak: Willem Latumeten, John Ferry Latumeten, Tineke Latumeten, dan Helena Latumeten. Jonas memboyong keluarganya ke Batavia.

John Latumeten, cucu kedelapan Jonas, bercerita kakeknya mula-mula tinggal di kawasan Cut Meutia, Menteng. Merasa rumah itu terlalu besar, keluarga Jonas pindah ke rumah di Jalan Timor Nomor 8. Menurut John, keluarga itu kemudian bergeser lagi ke Jalan Kramat Raya Nomor 156, kini kantor Bank BNI 46. “Waktu itu Jalan Kramat Raya termasuk pusat bisnis yang berkembang pesat,” ucap John.

Menjelang akhir hidupnya, Jonas sering sakit-sakitan. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Kronik Revolusi Indonesia mengatakan kesehatan Jonas menurun akibat siksaan serdadu Jepang saat ditahan. Pada 30 Mei 1948, Jonas wafat di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta pada usia 60 tahun. Jenazahnya dikuburkan di permakaman umum Kebon Jahe Kober di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

John Latumeten, 70 tahun, bercerita, pemerintah DKI Jakarta meminta keluarga memindahkan kerangka Jonas pada 1976. Mereka beralasan akan membangun Museum Taman Prasasti di area yang berisi makam sejumlah tokoh penting Hindia Belanda itu. Pemerintah DKI menyediakan lahan pengganti di tempat permakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. John ikut menyaksikan penggalian dan pemindahan kerangka Jonas di Tanah Abang. Menurut John, waktu itu tak ada satu pun perwakilan pemerintah yang datang, meski Jonas turut berjuang bagi Republik.

Malang merundung keluarga itu sepeninggal Jonas. Pada November 1978, rumah di Jalan Kramat Raya dibongkar paksa oleh petugas penertiban atas perintah Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Tjokropranolo. Sebagaimana ditulis majalah Tempo edisi 4 November 1978, rumah itu dihuni tujuh keluarga. Salah satunya Nyonya L.Y. Latumeten. Mereka sempat membangkang ketika petugas hendak merobohkan bangunan dan mendesak agar biaya ganti rugi dinaikkan. “Jasa Opa Jonas seakan-akan dilupakan oleh pemerintah,” kata John.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus