Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berpindah Hati ke BBM Bersubsidi

Kenaikan harga Pertamax dan BBM nonsubsidi lainnya berpotensi menggiring konsumen beralih ke Pertalite, yang merupakan BBM bersubsidi. Tanpa pengawasan penyaluran yang ketat, migrasi ini bakal kian memberatkan keuangan negara dan Pertamina. 

4 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina di Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kenaikan harga Pertamax berpotensi membuat konsumen beralih ke Pertalite.

  • Migrasi ini bakal kian memberatkan keuangan negara dan Pertamina.

  • Jumlah pengguna Pertamax yang bermigrasi diperkirakan tak sampai 25 persen.

JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi berpotensi menggiring konsumen beralih ke produk bersubsidi yang lebih murah, seperti dari Pertamax ke Pertalite. Tanpa pengawasan penyaluran yang ketat, migrasi ini bakal memberatkan keuangan negara dan Pertamina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyatakan perpindahan tersebut tak terhindarkan lantaran konsumen cenderung mencari alternatif bahan bakar yang lebih murah. Namun bukan berarti bahan bakar nonsubsidi bakal ditinggalkan. Sebab, setiap jenis BBM memiliki segmen sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mamit mencontohkan, Pertalite dan Pertamax masing-masing dijual seharga Rp 7.650 per liter dan paling murah Rp 12.500 per liter. Menurut dia, tidak sampai separuh jumlah pengguna RON 92 itu bersedia memakai RON 90. "Saya melihat migrasi ini berada di (kisaran) 20-25 persen dari pengguna Pertamax," ujarnya, kemarin. 

Penyebabnya adalah pengguna RON 92 mayoritas merupakan golongan menengah ke atas yang paham akan manfaat pemakaian Pertamax. Konsumen kelas tersebut memiliki pemahaman bahwa perpindahan konsumsi bahan bakar ke RON yang lebih rendah akan berisiko terhadap stamina mesin kendaraan. 

Selain itu, migrasi BBM disinyalir tidak lebih besar dari 25 persen karena kenaikan harga Pertamax yang masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Pertamina menyatakan harga keekonomian BBM mencapai Rp 16 per liter. "Kita masih disubsidi Pertamina karena selisihnya masih cukup besar. Hal ini seharusnya dipahami masyarakat," ucap Mamit.

Papan harga bahan bakar di SPBU Pertamina di Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Dengan adanya peralihan konsumen ke Pertalite, kuota yang ditetapkan sebesar 23,05 juta kiloliter tahun ini diperkirakan membengkak. Artinya, anggaran untuk subsidi energi perlu ditambah. "Saya kira sudah saatnya kita tidak lagi mensubsidi barang, melainkan langsung ke orang. Dengan kemajuan IT (teknologi informasi) saat ini, seharusnya program itu bisa segera diimplementasikan," tutur Mamit. 

Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Soeparno, juga memperkirakan ada kelebihan kuota BBM bersubsidi tahun ini jika menilik perkembangan harga Pertalite dan Pertamax. Sebab, sebelumnya, saat harga solar bersubsidi dan nonsubsidi terpaut jauh, stok bahan bakar ini sulit dicari. Pemicunya adalah perubahan harga yang dibarengi dengan kenaikan mobilitas masyarakat akibat dampak pemulihan ekonomi. 

"Tapi saya kira ini fenomena mungkin terjadi sementara saja. Tidak akan ada peralihan masif dari Pertamax sehingga kuota Pertalite jebol lagi," kata Eddy. Dia yakin para pengguna bahan bakar dengan oktan lebih tinggi sudah paham bahwa peralihan ke BBM kualitas rendah berisiko membahayakan mesin kendaraan dalam jangka panjang. 

Meski demikian, Eddy menyatakan, pengawasan dan penindakan perlu diperketat serta diterapkan dengan tegas. "Terutama kepada mereka yang melakukan penimbunan dan tidak punya hak untuk mendapat BBM bersubsidi," ucapnya. Dia menyadari bahwa pengawasan tidak mudah, mengingat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi saja terdapat 700 SPBU serta belum semuanya menerapkan digitalisasi. 

Eddy menyatakan diperlukan juga edukasi dari penyalur BBM kepada pelanggan mengenai pengaruh bahan bakar yang mereka gunakan terhadap mesin kendaraan. "Imbauan juga diberikan kepada masyarakat mampu yang beralih. Sudah kendaraannya bagus, orang itu punya kemampuan, malu dong kalau menggunakan Pertalite, misalnya," kata dia. 

Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina di Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Pemerintah sudah memperkirakan kuota Pertalite dan solar bersubsidi membengkak pada tahun ini. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tutuka Ariadji, menyatakan penyaluran Pertalite berpotensi melebihi kuota 15 persen hingga akhir tahun ini. Kuota Pertalite yang ditetapkan sebesar 23,05 juta kiloliter bakal membengkak menjadi 26,5 juta kiloliter. Kenaikan ini salah satunya dipicu peningkatan mobilitas masyarakat. 

Sementara itu, jika pengendalian penyaluran solar bersubsidi gagal, konsumsinya berpotensi lebih banyak 14 persen dari kuota yang ditentukan sebesar 15,1 juta kiloliter menjadi 16 juta kiloliter. Solar bersubsidi sempat sulit dicari. Pemerintah pun berupaya mengendalikan kembali pasokannya. Salah satunya dengan menggandeng kepolisian untuk menindak penyalahgunaan solar bersubsidi dengan berbagai modus, seperti penimbunan dan pengoplosan. 

Pertamina meyakinkan bahwa pengawasan penyaluran BBM bakal dilakukan dengan ketat sambil memastikan permintaan BBM konsumen selalu terpenuhi. Untuk mencegah peralihan konsumen dari bahan bakar bersubsidi ke nonsubsidi yang umumnya dari BBM berkualitas tinggi ke kualitas rendah, Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan perusahaannya akan memberikan edukasi. "Kami tetap akan memberikan edukasi dan sosialisasi penggunaan BBM nonsubsidi," tuturnya. 

Tugas edukasi dan sosialisasi tersebut tampaknya tak akan berjalan mudah. Angga, pengemudi ojek daring, menyatakan telah beralih dari Pertamax ke Pertalite karena harganya terpaut jauh. Dia bukannya tak paham soal dampak BBM tersebut terhadap mesin sepeda motornya. Pria berusia 34 tahun ini mengaku khawatir akan biaya perawatan kendaraannya di masa depan. "Tapi harganya naik tinggi banget. Kalau selisih Rp 1.000 atau Rp 2.000, saya masih kuat enggak pindah," ucapnya. 

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | VINDRY FLORENTIN 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus