Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalih Ormas Mengayomi Masyarakat

Ormas seperti Pemuda Pancasila dan Forum Betawi Rempug (FBR) bisa bertahan meski lekat dengan kekerasan. Mereka mengklaim banyak membantu masyarakat kecil.

13 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Pancasila (PP) berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Magang/Ridho Fadilla

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ormas seperti Pemuda Pancasila bisa bertahan karena dekat dengan pemerintah.

  • Pembentukan ormas mewarisi kelompok paramiliter buatan pemerintah kolonial.

  • Keberadaan ormas seperti Pemuda Pancasila dan FBR kembali menjadi sorotan setelah muncul konflik.

JAKARTA – Musta'in, Sekretaris Pimpinan Anak Cabang (PAC) Pemuda Pancasila Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berang saat mendengar rencana pemerintah membongkar pos organisasi kemasyarakatan atau ormas pada dua pekan lalu. Sebab, pos Pemuda Pancasila di Kelurahan Jatipadang, Pasar Minggu, masuk daftar pembongkaran tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia bergegas mendatangi kantor camat dan kantor kepolisian setempat untuk meminta penjelasan. "Kalau dibongkar, akan kami kerahkan pasukan," kata Musta'in ketika ditemui Tempo di Pasar Minggu, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ancaman tersebut sempat membuat nyali petugas keder. Petugas tidak dapat menjelaskan bukti alas hak bahwa pos tersebut berdiri di aset negara. Mereka hanya menjelaskan kepada Musta'in bahwa rencana tersebut merupakan instruksi dari atasan.

Suasana pos milik anak cabang Pemuda Pancasila di Pasar Minggu, Jakarta, 12 Desember 2021. TEMPO/Avit Hidayat

Penindakan pos organisasi massa ini merupakan buntut dari bentrokan Pemuda Pancasila dengan Forum Betawi Rempug (FBR) di Pasar Lembang, Ciledug, Kota Tangerang, bulan lalu. Disusul pernyataan Presiden Joko Widodo agar kepolisian mengembalikan kewibawaan aparat penegak hukum dengan tidak sowan ke kantor organisasi kemasyarakatan.

Akhirnya, pos Pemuda Pancasila Jatipadang tidak dihancurkan. Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta hanya mengubah warna dindingnya dari loreng oranye-hitam menjadi warna putih. Musta'in tetap menganggap tindakan petugas tersebut tak beralasan. Dia mengklaim Pemuda Pancasila kerap membantu warga Pasar Minggu, terutama masyarakat kelas bawah. Dari pembagian bahan pokok dan daging kurban, penyemprotan disinfektan pada masa pandemi Covid-19, hingga penampungan pedagang.

Musta'in juga tak memungkiri bahwa organisasi kepemudaan itu terlibat bisnis penjagaan lahan. Biasanya permintaan itu datang dari pihak yang sedang bersengketa. Tugas Pemuda Pancasila adalah mengamankan area lahan sampai ada putusan pengadilan yang tetap ihwal hak milik yang sah. "Tapi kami dicap menguasai lahan."

Agung, 50 tahun, pedagang kelontong di Pasar Minggu, mengaku tak mempersoalkan keberadaan organisasi Pemuda Pancasila. Dia menyebutkan organisasi itu justru membantunya mendapat lapak di tepi luar rel Stasiun Pasar Minggu. "Saya berdagang di sini sudah hampir 30 tahun," kata dia.

Pemuda Pancasila merupakan organisasi paramiliter yang didirikan Abdul Haris Nasution, Ahmad Sukarno Hadi Jaya, dan beberapa jenderal TNI Angkatan Darat pada 28 Oktober 1959. Awalnya, organisasi ini bernama Pemuda Patriot yang merupakan onderbouw Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia bentukan Jenderal A.H. Nasution. Gerakan ini bertujuan mengimbangi Pemuda Rakyat bentukan Partai Komunis Indonesia.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), Wijayanto, menjelaskan bahwa Pemuda Pancasila memiliki sejarah panjang sebagai organisasi yang terlibat dalam aksi kekerasan. Padahal seharusnya mereka tak punya hak melakukan tindakan tersebut karena bukan bagian dari penegak hukum. "Persoalan ini tidak bisa dipisahkan sejarahnya dengan pembentukan negara kolonial Hindia Belanda," ucap dia.

Pemerintah Belanda membentuk pasukan paramiliter untuk memaksa orang pribumi tunduk. Ketika Indonesia merdeka, praktik ini dilanggengkan oleh pemerintah dan kelompok militer. Warisan kekerasan melalui organisasi kemasyarakatan itu bertahan melewati Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi saat ini.

Menurut Wijayanto, hari ini organisasi-organisasi tersebut dimanfaatkan sebagai alat politik, termasuk dalam pengerahan massa ketika terjadi pemilihan politik elektoral. Ormas juga dibiarkan terlibat dalam bisnis keamanan, yakni menjaga dan menguasai lahan berkonflik. "Publik sebenarnya tidak membutuhkan tindak premanisme oleh aktor non-negara yang selama ini dilakukan ormas."

Massa dari Forum Betawi Rempug (FBR) bentrok dengan polisi saat unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta, 12 Oktober 2011. TEMPO/Amston Probel

Peneliti dari Murdoch University, Australia, Ian Douglas Wilson, menyatakan tindak kekerasan dan premanisme yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila bakal terus langgeng karena mereka menyokong kepentingan penguasa dan pemerintah. Apalagi organisasi tersebut memiliki relasi politik dengan sejumlah pejabat yang merupakan kader Pemuda Pancasila. Akibatnya, sulit membayangkan bahwa pemerintah akan membubarkan mereka.

Berbeda terbalik, Wilson melanjutkan, dengan nasib Front Pembela Islam (FPI). Menurut penulis buku Politik Jatah Preman ini, semula FPI didirikan karena punya relasi dengan penguasa. Tindak kekerasan yang dilakukan FPI pada masa lampau mendapat impunitas karena saat itu masih dianggap berguna oleh pemerintah, misalnya untuk membungkam pengkritik. Situasi berubah ketika FPI menjadi kelompok oposisi sehingga organisasi tersebut dibubarkan dan para pemimpinnya dipenjara karena berbagai tuduhan.

Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Pemuda Pancasila, Yorrys Raweyai, mengamini pandangan bahwa mereka selalu menjadi organisasi pendukung pemerintah. Dalihnya adalah mengawal Pancasila sebagai ideologi negara.

Yorrys mengklaim bahwa kader Pemuda Pancasila sebagian besar berpendidikan strata 1 hingga strata 3, bahkan profesor. Anggota ormas ini tersebar di berbagai bidang, dari pejabat, pengusaha, hingga politikus di parlemen—ada 25 kader yang duduk di DPR. "Kami ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Papua tersebut.

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus