Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI teras kolam reaktor nuklir, seorang perempuan berpakaian montir terlihat berhati-hati memindahkan beberapa tabung panjang yang terendam di dalam cairan H2O. Isi tabung itu adalah beberapa bongkah batu topas yang mengalami proses iradiasi selama 3-10 jam di Pusat Reaktor Serbaguna G.A Siwabessy, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Tangerang Selatan.
“Kalau sudah 10 jam, kami tarik lagi ke atas,” kata Camelia, perempuan yang sedang bekerja di area reaktor itu, kepada Tempo, Rabu lalu. Kegiatan merendam dan mengangkat target iradiasi di balai operasi tersebut merupakan tugas sehari-hari Camelia sebagai operator nuklir. Namun bukan itu pekerjaan utamanya. Jika reaktor nuklir berkapasitas 30 megawatt tersebut sedang diaktifkan, Camelia-lah yang bertugas mengoperasikannya dari ruang kendali.
Sebagai operator, tugasnya tidak main-main. Ia harus mempertahankan reaktor pada batas dan kondisi operasi. Misalnya, suhu kolam tidak boleh lebih dari 38 derajat Celsius. Perempuan berusia 25 tahun itu bakal sibuk mendata suhu kolam dan derajat keasaman (pH) air selama reaktor beroperasi. “Itu wajib direkam karena akan ada inspeksi dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir),” kata dia.
Camelia merupakan perempuan pertama yang direkrut Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan—kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) sebagai operator nuklir di reaktor Siwabessy. Ia bergabung menjadi pegawai negeri di sana sejak 2019. Total pegawai yang bekerja sebagai operator nuklir ada 30 orang, dua di antaranya perempuan, termasuk Camelia.
Operator reaktor nuklir, Camelia, saat melakukan target iradiasi pada kolam reaktor di Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy, Tangerang, Banten, Rabu, 7 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Dikomentari sampai Ditakut-takuti
Tiga tahun lalu, Camelia membayangkan pekerjaan operator reaktor nuklir tak berbeda dengan pegawai kantoran. Pada hari pertamanya bekerja, ia berdandan dan mengenakan sepatu wedges. Seniornya, yang kebanyakan pria lebih tua, menegur Camelia. “Saya dibilangin, kalau pakai wedges, jangan (kerja) di sini, ke bank saja,” ujar puan asal Palembang itu.
Selain cara berpakaiannya yang disoroti, Camelia sempat ditakut-takuti oleh rekan kerjanya karena berani bekerja sebagai operator. Ia sempat merasa dilematik untuk melanjutkan pekerjaan itu. “Tapi akhirnya lanjut. Sekarang sudah berteman baik dengan mereka, ya sudah biasa saja.”
Tantangan lain yang harus dihadapi Camelia ketika bekerja di bidang nuklir adalah stigma. Saat memberi tahu seorang dosennya setelah lolos rekrutmen di Batan, ia malah disarankan agar cepat menikah. Alasannya, ada pandangan yang menganggap radiasi nuklir bisa membuat perempuan menjadi infertil.
Saat itu, Camelia hanya tersenyum mendengarkan ucapan sang dosen. Ia membuktikan bahwa pandangan tersebut salah. Faktanya, Camelia kini memiliki seorang anak berusia 14 bulan. Bahkan seniornya ada yang memiliki tiga anak. “Ternyata bekerja di reaktor nuklir tidak semenyeramkan itu. Jadi, stigma itu sudah terbantahkan,” kata dia.
Intan Nafisah punya kisah berbeda. Petugas pengembang teknologi nuklir ini kerap menerima reaksi ataupun pendapat yang tak masuk akal. Saat tahu dirinya bekerja di reaktor nuklir, banyak orang yang beranggapan Intan bekerja sebagai pembuat bom.
Menurut Intan, kepercayaan publik terhadap teknologi nuklir terbilang masih rendah. Ia pun terbiasa menjelaskan fungsi-fungsi nuklir kepada orang-orang di sekitarnya. Termasuk tentang pekerjaannya sebagai pengawas dosis radiasi di lingkungan kerjanya.
Perempuan berusia 26 tahun itu mengungkapkan bahwa kesempatan bekerja di bidang nuklir sesungguhnya sangat luas. Bahkan Badan Tenaga Atom Internasional mendorong para perempuan untuk mendapat pendidikan lebih tinggi lewat beasiswa. “Sebab, secara data, kurang dari seperempat wanita yang bekerja di nuklir, khususnya di sektor keamanannya,” ujar Intan.
Co-founder Asosiasi Perempuan di Industri Nuklir, Alexandra Ryabykh. TEMPO/Friski Riana
Mendorong Perempuan Mendalami Nuklir
Industri nuklir selama ini memiliki kesan maskulin lantaran lebih banyak pria yang menggelutinya. Salah satu negara dengan proporsi pekerja perempuan yang cukup banyak di bidang nuklir adalah Rusia.
Co-founder Asosiasi Perempuan di Industri Nuklir, Alexandra Ryabykh, mengatakan bahwa lebih dari 30 persen karyawan di industri nuklir Rusia, seperti perusahaan Rosatom, adalah perempuan. Bahkan 22 persen perempuan menempati posisi manajerial di perusahaan energi nuklir milik Rusia tersebut. “Dibanding negara lain, 22 persen ini cukup tinggi,” kata dia kepada Tempo di Atom Expo, Sochi, akhir November lalu.
Selama ini, kata Alexandra, ada stereotipe mengenai profesi pria dan wanita. Karena itu, ia bersama asosiasinya mulai menggagas sejumlah program untuk memerangi stereotipe tentang perempuan. Sasarannya adalah generasi muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu proyeknya bernama Women in STEM (science, technology, engineering, and mathematic). Asosiasi itu sering mengadakan diskusi dan menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pemimpin di bidang STEM. Hal itu dilakukan agar para perempuan muda tertarik menggeluti bidang ini. “Kami menghubungkan pakar dan generasi muda untuk bertukar pengetahuan serta pengalaman,” katanya.
Program selanjutnya, Alexandra berencana membuat klub mentoring dengan menarik lebih banyak pakar dan siswa internasional untuk bergabung. Selain itu, ia sedang berupaya membentuk dewan internasional untuk mendukung perempuan di bidang nuklir.
Alexandra mengajak Indonesia untuk bergabung dalam dewan tersebut. “Ini merupakan prakarsa yang penting bagi kami, dan kami harap akan membantu mengubah persepsi perempuan di semua negara,” kata anggota dewan Forum Wanita Eurasia tersebut.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo