Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berjanji akan melindungi ABK dari ancaman perbudakan di atas kapal.
Pemerintah bakal memigrasi tata kelola pelindungan ABK dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Tenaga Kerja.
Mekanisme penempatan ABK secara government to government dan business to business berpotensi melanggengkan perbudakan modern.
JAKARTA – Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menghapus perbudakan di kapal. Dari membentuk Gugus Tugas Penanganan dan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, hingga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Pekerja Migran yang diteken Presiden Joko Widodo baru-baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, menjelaskan bahwa beragam ketentuan itu untuk menjamin perlindungan bagi anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal asing. Tak terkecuali melalui penerbitan aturan turunan PP Nomor 22 Tahun 2022 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). “Peraturan ini memberi kepastian hukum penguatan pelindungan ABK dan menghindari para awak kapal niaga dan perikanan dari berbagai bentuk eksploitasi perbudakan modern serta perdagangan manusia,” ujar Benny kepada Tempo, Jumat, 10 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak buah kapal (ABK) menaiki kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
PP Nomor 22 Tahun 2022 ini terbit di tengah gugatan tiga mantan ABK terhadap pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini terdaftar dengan perkara Nomor 145/G/TF/2022/PTUN.JKT pada 31 Mei lalu. Perkara tersebut kini memasuki tahap pemeriksaan persiapan pada 15 Juni mendatang. Dalam perkara ini, para ABK meminta pengadilan mewajibkan pemerintah menetapkan peraturan tentang penempatan dan pelindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan.
Benny mengatakan PP Nomor 22 Tahun 2022 juga menjamin perlindungan dari ancaman kerja paksa, kekerasan, kesewenang-wenangan, serta perlakuan yang melanggar hak asasi. Bagi Benny, aturan ini merupakan regulasi yang progresif demi memberikan perlindungan bagi pekerja migran di sektor perikanan dan kapal niaga.
Nantinya, kata Benny, BP2MI berperan sebagai lembaga yang berwenang dalam pelindungan ABK, dari sebelum pemberangkatan hingga selagi berada di luar negeri. Dengan demikian, perbudakan modern di atas kapal diklaim dapat dihapuskan. “Peraturan pemerintah ini sudah dibahas dalam proses harmonisasi selama dua tahun.”
Dia juga menyebutkan peraturan ini memberi angin segar untuk memangkas dan mereduksi dualisme tata kelola dalam penempatan serta pelindungan pelaut di kapal niaga ataupun kapal ikan. Selama ini pengelolaan tersebut ada di Kementerian Perhubungan melalui perizinan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
Perizinan perusahaan agensi ABK bakal dikelola Kementerian Ketenagakerjaan melalui penerbitan Surat Izin Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SP3MI). Adapun wewenang BP2MI nantinya adalah memberikan Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI) sesuai dengan Undang-Undang PPMI Nomor 18 Tahun 2017. Dalam proses penegakan hukum, pemerintah mengamanatkan Gugus Tugas TPPO, yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan selaku Ketua I dan Ketua II.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, menjelaskan bahwa kebijakan penerbitan PP Nomor 22 Tahun 2022 diharapkan dapat meminimalkan, mencegah, serta menghapus terjadinya perbudakan modern terhadap ABK. Menurut Anwar, aturan ini bakal menjadi rujukan kementerian dan lembaga untuk berkolaborasi menjamin penghapusan perbudakan di atas kapal. Upaya ini juga dibarengi hubungan bilateral, regional, serta multilateral dengan sejumlah negara penerima pelaut dari Indonesia.
Namun Anwar tak merinci lembaga yang bertanggung jawab jika ada perusahaan agensi yang didapati melakukan perdagangan manusia atau perbudakan modern terhadap ABK. “Tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya permasalahan, tentunya ini menjadi tanggung jawab bersama, disesuaikan dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga,” ujarnya.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, tidak bisa dimintai konfirmasi ihwal lembaga yang bakal bertanggung jawab tersebut. Adapun juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, hanya membaca pesan permintaan konfirmasi yang Tempo kirim melalui gawainya.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menilai bahwa penerbitan PP Nomor 22 Tahun 2022 sudah telat dan tidak menjawab permasalahan pelindungan ABK dari perbudakan modern di atas kapal. “Mekanisme PP Nomor 22 justru menempatkan ABK secara government to government dan business to business sehingga potensi pelanggaran hak asasi dan perbudakan akan terus terjadi, terutama di atas kapal.”
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo