Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah mengeluarkan puluhan miliaran rupiah untuk membayar influencer di media sosial.
Pendengung di media sosial biasanya bekerja berdasarkan narasi besar pemberi kerja dan bersifat tertutup.
Penggunaan buzzer dan influencer dinilai sebagai ketidakpercayaan pemerintah terhadap programnya.
SELAMA menjabat Menteri Keuangan, Sri Mulyani bolak-balik diserang isu utang di media sosial. Sejumlah warganet alias pengguna Internet dan media sosial menjuluki Sri Mulyani sebagai menteri pencetak utang karena jumlah pinjaman negara terus bertambah.
Berbicara melalui kanal Instagram pribadi pada 18 Juli lalu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meminta warganet tak memberikan stigma buruk terhadap kebijakan utang. “Saya sebagai Menteri Keuangan hanya mengelola utang itu, seperti mengelola perusahaan,” katanya. Pada Maret 2019, ketika membuka acara Hackathon Kementerian Keuangan, Sri meminta anak buahnya membuat media sosial untuk menjawab kritik dan memberikan informasi tentang pengelolaan keuangan negara.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengungkapkan, institusinya mencoba memetakan perang narasi soal utang di media sosial. “Ada akun-akun khusus yang mendengungkan isu utang dan menyerang kami,” ujar Rahayu melalui telepon, Jumat, 28 Agustus lalu. Menurut dia, tim komunikasi biasanya menjawab sendiri serangan itu melalui akun resmi Kementerian Keuangan—jumlahnya lebih dari sepuluh akun di Instagram, Twitter, dan Facebook. Salah satu pesan yang sering dipublikasikan adalah kebutuhan pembiayaan yang mendesak sehingga pemerintah harus meminjam dari pihak lain.
Walau demikian, sejumlah pejabat Kementerian Keuangan juga berdiskusi dengan tokoh pembentuk opini publik (key opinion leader) yang mendukung program pemerintah. Rahayu mengatakan forum itu dipakai untuk menjelaskan detail kebijakan utang pemerintah. Ia mengklaim lembaganya tak memberikan honorarium kepada para pembentuk opini itu dan membebaskan mereka menyebarkan pesan itu atau tidak.
Rahayu menjelaskan, Kementerian juga menggaet pemengaruh atau selebritas media sosial. Strategi ini dipakai ketika Kementerian memiliki hajatan besar dan ingin menjangkau audiens yang lebih luas. Misalnya saat perhelatan rapat tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali pada 2018. Bekas Kepala Sub Bagian Publikasi Elektronik Kementerian Keuangan, Rezha Amran, menyebutkan sentimen netizen terhadap acara itu sangat negatif. Pemerintah dituding memboroskan anggaran untuk mendatangkan lembaga internasional yang sering memberikan utang.
Rezha, kini menjabat Kepala Sub Bagian Edukasi Publik, dan timnya membuat dua narasi untuk audiens lokal dan internasional. Kepada warganet dalam negeri, Kementerian mengirim pesan bahwa kedatangan lembaga asing dalam rapat tahunan itu tak bertujuan memberikan utang serta bisa mendongkrak bisnis pariwisata di Bali dan sekitarnya. Adapun narasi untuk dunia internasional adalah Bali aman dikunjungi—karena waktu itu terjadi erupsi Gunung Agung.
Kementerian mengundang sejumlah seniman dan pemengaruh yang memiliki 10 ribu-100 ribu pengikut untuk mengunjungi Bali. Mereka dibawa ke sejumlah lokasi acara dan perajin suvenir yang akan berpartisipasi dalam rapat tahunan IMF-Bank Dunia. Setelah itu, mereka membuat konten yang menceritakan kunjungannya. “Setelah kami menganalisis media sosial, impak influencer sangat terasa karena sentimen positif langsung terbentuk,” tutur Rezha, yang waktu itu didapuk menjadi manajer media digital.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo