Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BUMN transportasi berlomba terjun ke bisnis kurir.
Potensi besar di tengah geliat e-commerce.
Belajar dari kesalahan unit bisnis yang sebelumnya tak laku.
SETIAP hari, Ramadhani Febriantoro bersiaga berkeliling ke seantero Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari rumahnya di Jalan Gading Tutuka, Soreang, pria 26 tahun ini akan mendatangi konsumen yang meminta barang kiriman mereka dijemput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barulah keesokan harinya, sekitar pukul 10 pagi, Rama—begitu Ramadhani biasa dipanggil—pergi ke Kota Bandung. Mengendarai sepeda motor yang penuh dengan paket, dia melaju sekitar 17 kilometer ke arah utara, menuju kantor PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk di Jalan Asia Afrika. Bila paket sedang banyak, Rama pergi dengan mobil. “Saya kasih aturan. Kalau mau dijemput barangnya, saya buka dari jam 12 siang sampai jam 8 malam,” kata Rama, Kamis, 27 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah sebulan lebih Rama menjalani peran ganda itu, menjadi agen kurir alias Sohib KirimAja yang menerima barang kiriman pelanggan sekaligus Sub-Console yang mengirim barang ke pusat pengumpulan. Ruangan depan di sayap kanan rumahnya disulap menjadi kantor agen KirimAja, lengkap dengan meja, seperangkat desktop, sofa hitam buat duduk pelanggan, timbangan besar, dan rak kaca. Logo besar KirimAja yang dicetaknya sendiri menggantung di dinding sebelah atas desktop.
Agar kantor itu mudah dikenali, Rama memasang spanduk besar di kaca luar jendela. Di tajuk rawal berkelir biru langit itu tertulis “Authorized Sohib KirimAja”. Menurut Rama, rata-rata dia bisa menghimpun 20-40 kilogram paket dalam sehari.
KirimAja merupakan layanan kurir yang mulai beroperasi awal Juni lalu di bawah naungan PT Aerojasa Cargo, anak perusahaan Garuda Indonesia. Bagi Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, yang dilakukan KirimAja mendekonstruksi cara berbisnis industri kurir, ekspres, dan parsel kebanyakan.
KirimAja, misalnya, tak mengintervensi fase first mile, atau tahap pengirim menyerahkan barangnya kepada agen kurir hingga pengiriman ke pusat drop. Semua proses itu dijalankan oleh mitra. “Memanfaatkan aset mitra yang ada saja,” tutur Irfan, Selasa, 25 Agustus lalu.
Persis seperti yang dilakukan Rama. Pemuda itu tidak perlu menyewa ruko buat kantor agen kurir. Dia juga tak mempekerjakan petugas pengiriman dan tidak perlu membayar uang jaminan kepada perusahaan.
Proses first mile yang sederhana itu menjadi jawaban dari Garuda atas Go Express, layanan kurir besutan mereka sebelumnya yang kurang laku di pasar. Go Express, yang menganut model kemitraan bisnis kurir pada umumnya, tetap tidak bersuara di pasar kurir kendati telah menawarkan layanan door-to-door berbasis aplikasi dengan harga miring. “Pelan-pelan kami matikan Go Express itu. Kesannya kok seperti punya Gojek,” ujar Irfan, berkelakar.
KirimAja juga menandai keseriusan Garuda menggarap bisnis kurir. Hampir tiga bulan beroperasi, sampai Agustus ini, KirimAja sudah mengangkut 1,3-1,4 ton barang kiriman per hari dari 200-an transaksi. Angka ini masih jauh dari pemain kurir lain. "Saya berharap bisa ratusan ton dengan transaksi ribuan per hari," ucap Irfan.
Petugas kargo melintas di dekat pesawat Garuda Indonesia di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. [Dokumentasi TEMPO/Aditia Noviansyah]
Selama ini, Garuda Indonesia lebih menjalankan bisnis area logistik dan ekspedisi muatan. Ketika sektor perniagaan elektronik (e-commerce) meledak dan memicu pertumbuhan bisnis kurir, Garuda mulai tergopoh-gopoh. Yang pertama kali menikmati pertumbuhan pengiriman barang kecil dan cepat itu, karakter utama bisnis kurir, justru perusahaan yang tidak punya armada transportasi udara. Sedangkan Garuda hanya menjadi pengangkutnya alias menjalankan peran sebagai middle mile logistics.
Bisnis kargo Garuda memang terus menanjak. Pada 2018, pendapatan perseroan dari kargo dan dokumen hanya US$ 266,5 juta atau Rp 3,8 triliun dengan kurs Rp 14.500. Angka ini setara dengan 7,52 persen dari total pendapatan penerbangan berjadwal. Namun, pada 2019, pos yang sama mulai menyumbang US$ 326,9 juta atau Rp 4,7 triliun alias 8,66 persen dari pendapatan penerbangan berjadwal.
Namun kenaikan itu berasal dari kebijakan perusahaan menaikkan tarif kargo, bukan menciptakan pasar baru di bisnis kurir. Masalah lain: volume muatan barang kiriman fluktuatif sehingga ruang kargo pesawat Garuda dan anak usahanya, Citilink, kerap melompong ketika terbang. “Rasanya kami harus set own destiny juga,” ujar Irfan.
•••
CERUK kurir serta pengiriman ekspres dan parsel merupakan bagian kecil dari ekosistem bisnis logistik. Sektor jasa ini hanya melayani pengangkutan dan pengiriman barang berukuran kecil, biasanya maksimal 32 kilogram, yang diantar langsung ke pintu rumah penerima. Waktu pengirimannya tiga-tujuh hari, meski belakangan muncul layanan sehari sampai.
Laporan riset pasar dari Ken Research berjudul “Indonesia Logistics and Warehousing Market Outlook to 2023” menyebutkan pendapatan dari sektor kurir ini pada 2023 diperkirakan baru sebesar US$ 5,5 miliar alias senilai Rp 79,95 triliun. Omzetnya masih jauh di bawah sektor ekspedisi muatan yang mencapai US$ 38,9 miliar dan sektor pergudangan yang sebesar US$ 27,7 miliar.
Ekspedisi muatan dan pergudangan selama ini memang menguasai porsi pasar logistik nasional. Pada 2023, pendapatan total pasar logistik diperkirakan mencapai US$ 74,9 miliar alias Rp 1.090 triliun dengan pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sejak 2018 mencapai 6 persen.
Dalam riset yang sama, Ken Research menyebutkan peluang sektor kurir untuk bertumbuh masih sangat terbuka. Pada 2018 saja, ketika biaya pengiriman masih tinggi akibat infrastruktur logistik yang belum memadai, jasa kurir bisa mencuri 5,9 persen pangsa dalam pasar logistik nasional. Pertumbuhan signifikan penggunaan Internet beserta perkembangan e-commerce pada 2013-2018 berkontribusi signifikan pada pertumbuhan pasar kurir. Menurut riset tersebut, pada 2022 jumlah pelanggan e-commerce diperkirakan mencapai 65 juta orang. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah pelaku e-commerce diperkirakan menyentuh angka 5 juta.
Sementara itu, LLP Mordor Intelligence, yang merilis laporan riset pasar berjudul “Indonesia Courier, Express, and Parcel (CEP) Market-Growth, Trends, and Forecast (2019-2024) “ pada Agustus 2019, memperkirakan pasar bisnis kurir mencapai US$ 9,76 miliar atau sekitar 142 triliun pada 2024 dengan CAGR 12,28 persen. Seperti Ken Research, Mordor Intelligence menyebutkan pertumbuhan dahsyat sektor kurir selaras dengan pertumbuhan e-commerce. Pada 2024, Mordor meramal ukuran pasar niaga elektronik nasional lebih dari US$ 50 miliar alias Rp 726,5 triliun.
•••
Pekerja mendorong paket barang yang akan dikirim ke sejumlah kota di Pulau Jawa menggunakan jasa Rail Express di Stasiun Jakarta Gudang, Kampung Bandan, Jakarta, 30 Juli 2020. Tempo/Tony Hartawan
BUKAN hanya Garuda Indonesia yang menjadi penonton di tengah pertumbuhan bisnis kurir selama ini. PT Kereta Api Indonesia (Persero) bernasib serupa. KAI memang punya PT Kereta Api Logistik (Kalog). Namun anak usaha ini bermain di angkutan komoditas berbasis kontrak business-to-business dan kargo setengah retail dengan bobot minimal per 10 kilogram.
KAI bertahun-tahun hanya menjadi alat transportasi perusahaan kurir. Kalog yang semula disiapkan untuk menciptakan peluang di ekosistem bisnis ini malah kalah langkah dibanding perusahaan ekspedisi swasta berbasis kereta api lain yang berani memberikan layanan sampai ke pintu rumah penerima barang. “Kami jadi angkutan saja (middle mile) selama ini,” kata Maqin Norhadi, Direktur Niaga KAI, Jumat, 28 Agustus lalu.
Perseroan sebetulnya cukup puas dengan pendapatan dari bisnis logistik mereka. Pada 2019, pendapatan angkutan barang KAI mencapai Rp 6,86 triliun, naik 8,7 persen dibanding 2018. Namun, di balik kinerja angkutan barang yang moncer—didominasi angkutan batu bara—penetrasi KAI di bisnis pengiriman barang hantaran alias parsel sangat kecil. Tahun lalu, pendapatannya bahkan anjlok menjadi Rp 215 miliar dibanding pada 2018, yang masih mencapai Rp 250 miliar. “Potensi inilah yang kami lihat. Makanya kami menciptakan Rail Express,” ucap Maqin.
KAI meluncurkan Rail Express pada awal tahun ini. Diniatkan sebagai penyedia layanan kurir, Rail Express saat ini baru bisa melayani pengiriman dari stasiun ke stasiun. “Akan kami tingkatnya model bisnisnya agar bisa menjangkau first mile dan last mile,” ujar Maqin.
Kendati belum sampai menjangkau pintu rumah penerima, Rail Express sudah kebanjiran konsumen yang kegirangan dengan tarif murahnya. Rosikhah Al Maris, 30 tahun, salah satunya. Dosen perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini menyambung hidup selama pandemi Covid-19 dengan berjualan kudapan berbahan cokelat. Sebelum ada Rail Express, Rosikhah, yang mengejar pengiriman cepat, kerap mengandalkan travel untuk mengirim dagangannya kepada pengecer di luar kota. Lantaran biaya kirimnya mahal, dia terpaksa menyubsidi tarif itu yang berdampak pada naiknya harga jual. Laba untuk pengecer menjadi tipis.
Rosikhah menjual dagangannya lewat media sosial, antara lain Instagram. Di platform yang sama, dia akhirnya mendapatkan informasi tentang Rail Express. Pada 27 Juli lalu, dia mengirim barang dagangan untuk pertama kalinya lewat Rail Express. “Kebetulan kota pengecer saya jadi persinggahan Rail Express juga,” tuturnya, Jumat, 28 Agustus lalu.
Jadilah 11 kilogram penganan coklat itu naik kereta dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, dengan tarif Rp 8.000 saja. Rosikhah kini menambahkan opsi pengiriman Rail Express buat para pengecernya yang berada di luar kota. “Dulu pengecer luar kota pada mundur, khawatir dengan biaya pengiriman tinggi.”
Putri Novita Firdaus, mahasiswi tahun terakhir asal Pasuruan, Jawa Timur, juga bersyukur atas kehadiran Rail Express. Pada 14 Juli lalu, Putri mengirim barang-barang miliknya ke Yogyakarta, tempat dia diterima bekerja. Saking banyaknya barang itu, perempuan 23 tahun ini perlu menyewa becak ke stasiun. Tiba di stasiun, tagihan dari Rail Express untuk 129 kilogram barang tersebut cuma Rp 41.500!
Maqin menjanjikan ekosistem first mile sampai last mile Rail Express beres pada tahun ini. KAI membangun ekosistem itu dengan menggandeng mitra yang sudah ada, seperti Grab, Gojek, dan Blue Bird. “Kami optimistis bisa masuk di pasar ini karena kami lebih murah dan lebih cepat dibanding angkutan jalan,” kata Maqin.
Sementara Garuda dan KAI lebih dulu menggelar layanan bisnis kurir, PT Pelayaran Nasional Indonesia atau Pelni (Persero), perusahaan kapal milik pemerintah, masih memantapkan persiapan internal mereka untuk terjun di bisnis kurir. Pelni masih menyiapkan ekosistem My Cargoo, lokapasar angkutan barang retail berbasis kapal yang akan mereka luncurkan. “Kalau aplikasinya saja sudah 90-an persen siap. Sistem internal dan mitra yang belum,” ujar Masrul Khalimi, Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni, Rabu, 26 Agustus lalu.
Pelni mengincar pasar kurir barang berukuran agak besar. Dalam bayangan Masrul, barang-barang itu akan berbobot 50-100 kilogram. “Kalau satu kiriman ukuran 100 kilogram dipaksa naik pesawat, agak sulit tarifnya,” ucapnya.
Demi memudahkan pengirim dan penerima barang, Pelni sedang mempersiapkan kerja sama strategis dengan Garuda Indonesia, PT Pos Indonesia (Persero), PT Pegadaian (Persero), dan PT Bhanda Ghara Reksa (Persero). Kerja sama dengan Garuda akan menopang pengiriman barang internasional. Kongsi dengan Pos Indonesia dan Pegadaian lebih pada pemanfaatan outlet buat pusat drop. Adapun Bhanda Ghara Reksa akan menyediakan fasilitas pergudangan. Rencana ini digadang-gadang bakal mendobrak ekosistem ekspedisi barang muatan besar yang selama ini menghadapi kendala pada jaminan waktu dan proses serah-terima barang.
KHAIRUL ANAM | AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo