Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertamina mengimbau konsumen elpiji non-subsidi tak beralih ke elpiji bersubsidi.
Sejumlah daerah melaporkan permintaan elpiji bersubsidi masih stabil.
Di luar risiko migrasi, pemerintah diminta menjaga pasokan agar tak terjadi kelangkaan elpiji.
JAKARTA - Kebijakan pemerintah menaikkan harga gas elpiji non-subsidi berpotensi menyebabkan lonjakan permintaan elpiji bersubsidi atau tabung 3 kilogram. PT Pertamina (Persero) menyatakan terus mencermati kemungkinan peralihan yang terjadi di masyarakat. Pertamina juga memastikan bahwa saat ini ketersediaan stok gas bersubsidi mencukupi dan terdistribusi secara merata di seluruh wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, berujar bahwa pengawasan stok dan penyaluran LPG yang tepat sasaran akan dilakukan, sekaligus memberikan edukasi peruntukannya kepada masyarakat. "Kami mengimbau para pengguna elpiji non-subsidi tidak beralih ke elpiji bersubsidi karena segmentasi penggunanya kan sudah jelas," ujarnya kepada Tempo, kemarin, 4 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana diketahui, harga elpiji non-subsidi mengalami penyesuaian dalam tiga bulan terakhir. Pada November 2021, harganya dinaikkan menjadi Rp 11.500 per kg, kemudian pada Desember 2021 menjadi Rp 13.500 per kg, dan terakhir pada 27 Februari lalu dinaikkan menjadi Rp 15.500 per kg.
Ihwal seberapa masif migrasi yang terjadi di masyarakat, Pertamina masih akan memantau permintaan dan suplai elpiji bersubsidi kemasan 3 kg dalam beberapa waktu ke depan. "Kami akan melihat tren dalam 1-2 minggu ini karena kalau harian belum bisa menunjukkan tren," kata Irto.
Upaya menjaga dan mengawasi ketersediaan stok elpiji juga turut dilakukan pemerintah daerah. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, Andri Yansyah, mengungkapkan stok elpiji tabung 3 kg untuk wilayah Ibu Kota pada tahun ini sebanyak 425.275 metrik ton atau setara dengan 141.758.334 tabung.
"Sampai Februari lalu, yang terserap baru sekitar 18 ribu metrik ton. Jadi, stoknya bisa dipastikan aman," ujarnya. Walhasil, jika terdapat peralihan masyarakat pengguna gas non-subsidi ke gas bersubsidi, Pemprov DKI Jakarta belum akan mengajukan penambahan kuota kepada Pertamina.
Pemerintah Provinsi Aceh bersama kepolisian membentuk tim terpadu untuk mengawasi distribusi elpiji kemasan 3 kg agar penyalurannya tepat sasaran. "Minggu depan, tim yang terdiri atas sejumlah lembaga dan dinas akan turun ke lapangan," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur, di Banda Aceh, kemarin.
Mahdinur menyampaikan nantinya tim tersebut bersama-sama melakukan pengecekan lapangan ke pangkalan-pangkalan di wilayah ibu kota Provinsi Aceh dan sekitarnya. Tim terpadu ini rencananya juga segera dibentuk di setiap kabupaten/kota di Aceh sehingga pengawasannya dapat dilakukan secara menyeluruh.
Aktivitas petugas agen tabung elpiji di Gambir, Jakarta, 2 Maret 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kemarin menginstruksikan Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah memantau potensi migrasi konsumen elpiji non-subsidi ke gas bersubsidi. "Langsung saya kontak Dinas ESDM. Saya minta mereka berkomunikasi dengan PT Pertamina. Hati-hati konversi ke gas kemasan 3 kilogram akan terjadi. Mereka yang kesulitan membeli gas non-subsidi akan mencari tabung 3 kg karena begitu mudah membelinya, tidak ada restriksi yang ketat," kata Ganjar di Semarang.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto, mengatakan, hingga hari kelima setelah kenaikan harga elpiji non-subsidi pada 27 Februari 2022, belum ada indikasi migrasi konsumen elpiji non-subsidi ke gas bersubsidi. "Permintaan masyarakat masih wajar dan stok juga masih aman. Namun kami berupaya menjaga agar tidak terjadi migrasi konsumen elpiji."
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, berujar bahwa tren penggunaan elpiji bersubsidi yang tidak tepat sasaran memang marak dalam beberapa waktu terakhir. Berdasarkan data peredaran, sebanyak 93 persen elpiji yang beredar di masyarakat merupakan elpiji bersubsidi 3 kg.
"Padahal kan elpiji 3 kg tertulis untuk orang miskin. Jumlahnya sekitar 20 persenan saja. Jadi, yang 60 persen itu tidak tepat sasaran karena orang mampu juga ikut menikmati," ucap Djoko. Tren ini pun diprediksi menjamur di tengah masa pandemi Covid-19. Terlebih, data pembeli elpiji kemasan 3 kg tidak diketahui, mengingat sistem pembeliannya bersifat terbuka.
Sementara itu, anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Mulyanto, menuturkan respons masyarakat yang melakukan migrasi dari elpiji non-subsidi ke elpiji bersubsidi berpotensi memicu kelangkaan dan kenaikan harga gas "melon" atau elpiji kemasan 3 kg di tingkat pelanggan hingga melebihi harga eceran tertinggi (HET). "Hal ini sangat mungkin terjadi karena gas kemasan 3 kg dijual bebas dengan pengawasan pemerintah yang sangat minim. Semua orang bisa dengan mudah membeli di agen, pangkalan, atau warung," kata Mulyanto.
Merespons hal ini, Dewan mendesak pemerintah mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif dan tidak memicu inflasi di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlangsung. "Misalnya dalam jangka pendek, substitusi elpiji dapat dilakukan dengan kompor listrik atau gas alam, juga peningkatan eksplorasi dan produksi migas di lapangan," ucap Mulyanto.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan peralihan pengguna elpiji non-subsidi ke elpiji bersubsidi merupakan risiko atas mekanisme subsidi terbuka penjualan elpiji tabung 3 kg. "Elpiji bersubsidi kan sudah ada alokasi kuota, volume, dan anggaran. Risikonya, ada kemungkinan kuota dan anggaran subsidi jebol melewati pagu pada tahun ini jika migrasi yang terjadi cukup masif," ujar Abra.
Adapun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, total anggaran subsidi energi mencapai Rp 134,02 triliun, dengan Rp 77,54 triliun di antaranya dialokasikan untuk subsidi elpiji kemasan 3 kg.
Risiko itu, menurut Abra, tak bisa dihindari pemerintah. Sebab, pemerintah berkewajiban memastikan elpiji bersubsidi tetap tersedia di masyarakat sehingga terhindar dari kelangkaan yang dikhawatirkan menimbulkan efek domino yang lebih besar. "Bisa memicu kepanikan dan kenaikan harga di tingkat konsumen yang mengganggu daya beli, yang pada akhirnya memukul pertumbuhan ekonomi yang sedang dalam tahap pemulihan."
GHOIDA RAHMAH | ANT
Baca Juga:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo