Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tamansiswa yang berpusat di Yogyakarta kini tersebar di sejumlah kota di Indonesia.
Bertahan sampai sekarang meski ada beberapa yang kondisinya pas-pasan.
Mempertahankan metode pengajaran pamong.
MEMASUKI gerbang kampus Universitas Tamansiswa (Unitas) di Jalan Tamansiswa Nomor 9, Kota Padang, tampak di sisi kanan berdiri gedung perkuliahan bertingkat tiga bercat hijau yang warnanya mulai memudar. Sedangkan di sisi kiri terdapat gedung perkuliahan yang tengah dalam perbaikan. Beranjak masuk lebih dalam ke kampus Unitas, logo Tamansiswa berbentuk segi lima tampak menempel pada gedung perkuliahan berlantai dua. Lalu terdapat gedung rektorat yang juga berlantai dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain kampus Tamansiswa, di kompleks Unitas yang luasnya sekitar 1,1 hektare itu terdapat sekolah menengah atas yang terdiri atas empat ruang kelas, sekolah menengah kejuruan dengan enam kelas, dan sekolah menengah pertama yang punya empat ruang kelas. Juga terdapat satu gedung Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa. Menurut Ketua Yayasan Tamansiswa Padang, Sumatera Barat, Irwandi Yusuf, dulu sempat ada sekolah dasar Tamansiswa. "Dulu di sini awalnya masih ada sekolah dasar. Tapi, karena banyaknya sekolah dasar negeri, akhirnya SD Tamansiswa mati," kata pria kelahiran 1953 itu sambil menunjuk bekas bangunan SD Tamansiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekolah Tamansiswa di Sumatera Barat sesungguhnya ada sejak 1927 di Bonjol, Kabupaten Pasaman. Lalu sekolah dibuka lagi di Kota Payakumbuh; Kabupaten Agam; dan Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. "Karena saat itu masa kolonial Belanda, jadi sekolahnya pindah-pindah," Irwandi menerangkan. Pada 1935, Ki Samud membuka sekolah Tamansiswa di Kota Padang. Tapi sekolah itu mati pada 1947 lantaran terjadi Agresi Militer I Belanda. Baru pada 16 Agustus 1957 Ki Haji Yusuf Nur mendirikan kembali sekolah Tamansiswa. “Saat itu banyak orang yang bertanya lantaran Ki Haji Yusuf Nur bukanlah orang Tamansiswa," ucap Irwandi.
Menurut Irwandi, Ki Haji Yusuf Nur berasal dari Muaro Labuh, Solok Selatan, Sumatera Barat. Dia pernah sekolah di Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayutanam, Pariaman, pada 1950 di bawah pimpinan Mohammad Sjafei. “Waktu sekolah itulah Ki Haji Yusuf Nur sering mendapat cerita atau ceramah tentang Tamansiswa bahwa perjuangan Tamansiswa dan INS bertujuan sama, yaitu masyarakat merdeka untuk menentukan sekolah dan merdeka belajar,” tuturnya. Ki Haji Yusuf Nur lalu meminjam uang kepada orang tuanya untuk mendirikan sekolah Tamansiswa dengan menyewa lokasi di Jalan Sawahan Nomor 61, Kota Padang, sebuah bangunan bekas gudang kayu. “Lokasi itu saat ini sudah jadi kos-kosan," ujar Irwandi.
Gerbang kampus Universitas Taman Siswa di Padang, Juli 2022. Fachri H Jasril
Universitas Tamansiswa di Padang berdiri pada 1987 dengan nama awal Akademi Peternakan Tamansiswa. Pada 1989, namanya diubah menjadi Universitas Tamansiswa atau Unitas dengan tiga fakultas, yakni ekonomi, hukum, dan pertanian. Saat ini, kata Irwandi, Unitas memiliki 10 program studi sarjana dan satu program studi magister. Jumlah mahasiswanya sebanyak 1.500. Tanah seluas sekitar 1,1 hektare yang menjadi area kampus Unitas, tutur Irwandi, adalah hibah dari Pemerintah Kota Padang pada 1972.
Saat ini sekolah Tamansiswa di Sumatera Barat hanya ada di dua daerah, yaitu Padang dan Payakumbuh. Di Payakumbuh berdiri sebuah SMK. Tamansiswa di provinsi ini adalah cabang ke-109 di Indonesia. Menurut Irwandi, konsep Merdeka Belajar yang dipakai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat ini sudah lama diterapkan oleh Tamansiswa. "Tamansiswa punya juga silabus ketamansiswaan yang diajarkan dari SD sampai perguruan tinggi,” ujarnya.
•••
KONDISI bangunan sekolah Tamansiswa di Padang masih tergolong baik. Tapi banyak di daerah lain yang mulai rusak atau memprihatinkan. Di antaranya sekolah Tamansiswa cabang Bogor, Jawa Barat, yang berada di kawasan perempatan Jalan Merdeka-Tentara Pelajar, Bogor Tengah, Kota Bogor. Bangunan bercat biru muda itu terlihat rapi dan bersih. Demikian juga halaman atau area bermain anak-anak usia taman kanak-kanak di sana. Namun kondisi bangunannya bisa dibilang kurang layak. Warna cat dindingnya sudah memudar. Banyak plafon yang bolong dan beberapa bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi itu lebih terlihat sebagai tempat penampungan penyandang tunawisma. Kondisinya kalah jauh dibanding bangunan sekolah lain di Bogor. Apalagi lokasi sekolah Tamansiswa Bogor bersebelahan dengan gedung mewah kampus Bina Sarana Informatika Bogor.
Kepala Bidang Taman Muda (setara dengan sekolah dasar) Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa Bogor Endah Sriwening mengatakan kondisi bangunan yang masuk daftar warisan benda cagar budaya Kota Bogor itu bisa dibilang wajar dan tidak wajar. Perempuan 49 tahun yang akrab disapa Ening itu menjelaskan, kondisi gedung tersebut bisa dibilang wajar karena sudah berdiri puluhan tahun. Tamansiswa alias Tamsis Bogor ada sejak 1930. “Pusatnya kan di Yogyakarta. Kalau yang di sini berdiri pada 1930, sewindu setelah yang di Yogya berdiri. Ini cabang yang keberapa saya kurang hafal, tapi ini menjadi yang tertua untuk Yayasan Tamansiswa kelompok Jabar Jaya atau kelompok Perguruan Tamsis wilayah Jawa Barat,” kata Ening.
Ening menambahkan, di kelompok Jabar Jaya, Perguruan Tamansiswa meliputi Kota dan Kabupaten Bogor serta Depok, Bekasi, Sukabumi, Karawang, Cirebon, dan Bandung. Perguruan Tamansiswa yang berada di Kelurahan Ciwaringin, Kota Bogor, selain merupakan yang tertua, adalah satu-satunya cabang perguruan untuk tiga wilayah, yakni Kota dan Kabupaten Bogor serta Kota Depok.
Sebelum berlokasi di Jalan Merdeka Nomor 172 saat ini, Tamansiswa Bogor berpindah empat kali di sekitar Ciwaringin dan Jalan Tentara Pelajar. Musababnya, menurut Ening, saat itu dunia pendidikan selalu diganggu oleh pemerintah kolonial Belanda. Gedung Buitenzorg (Istana Bogor) yang menjadi rumah dinas Gubernur Jenderal Belanda hanya berjarak sepelemparan batu dari Tamansiswa. Pada 1955-1957 dan 1958-1961, saat Hasjrul Harahap (Menteri Kehutanan Kabinet Pembangunan V) menjadi guru di Taman Muda dan Taman Madya Perguruan Tamansiswa, baru ditetapkan titik pusat perguruan di lokasi saat ini. Artinya, Ening melanjutkan, Tamansiswa bisa bertahan hingga hari ini karena perjuangan keluarga besar Tamansiswa sendiri.
“Dari pemerintah saat ini kami hanya menerima dana bantuan operasional sekolah. Itu pun kami pergunakan untuk kebutuhan siswa dan nafkah guru yang mengabdi, karena rata-rata di sini muridnya kalangan tidak mampu. Itu kan misi utama kami yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, membumikan pendidikan bagi pribumi,” ucap Ening sambil menyeka air matanya. Saat ini dari tingkat Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA dan SMK), hingga Sarjanawiyata (universitas), Ening mengatakan, ada sekitar 600 siswa.
Iswandi Yusus, Ketua Yayasan Taman Siswa Sumatera Barat, di salah satu gedung perkuliahan Universitas Taman Siswa, Padang. Fachri H Jasril
Dalam metode belajar-mengajar, Ening menambahkan, hingga kini Tamansiswa masih mempertahankan gaya pengajaran among yang mengedepankan tanggung jawab, welas asih, dan penuh kasih sayang dari guru atau pamong. Tidak ada paksaan apalagi hukuman kepada siswa karena Tamansiswa tetap memprioritaskan pengajaran adab budi pekerti, mengasihi sesama, dan tidak membedakan satu sama lain dalam hal apa pun. “Kan, dari awal Tamansiswa dibangun untuk menjaga budaya ketimuran kita agar tidak terbawa atau terkontaminasi budaya Barat,” Ening menjelaskan.
Ening berharap, pada usia yang sudah mencapai 100 tahun ini, Yayasan Tamansiswa sebagai pelopor pendidikan Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, seperti penunjang kelas yang memadai dan tunjangan bagi pamong yang mengabdi, tidak sebatas dana bantuan operasional sekolah.
“Waktu peringatan 100 tahun di Yogya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberi sambutan pidato secara virtual. Tapi entah, saya juga bingung mengapa beliau tidak menyinggung atau mempertanyakan kondisi Perguruan Tamansiswa di daerah seperti apa. Harapan kami tidak banyak, kami ingin murid dan guru nyaman belajar di sini tanpa takut terjadi hal-hal lainnya,” ucap Ening.
FACHRI H. JASRIL (PADANG), M.A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo