Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara genap berusia 100 tahun.
Tamansiswa dianggap sebagai sekolah liar oleh pemerintah kolonial Belanda.
Banyak pamong Tamansiswa yang kritis ditangkap pada 1965 karena dianggap bagian dari PKI.
PERTUNJUKAN drama musikal di Pendapa Agung Tamansiswa, Yogyakarta, Ahad siang, 3 Juli lalu, begitu semarak dan menggugah. Puluhan bahkan seratusan anggota keluarga besar Tamansiswa—tua, muda, anak-anak, siswa, pamong, dan alumnus Perguruan Tamansiswa—bersatu menyajikan pentas berjudul Sang Pamong yang menceritakan riwayat kehidupan Ki Hadjar Dewantara. Pertunjukan kolosal itu dihelat untuk memperingati satu abad usia Tamansiswa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktor senior Yogyakarta, Joko Kamto, memerankan Ki Hadjar Dewantara. Berbeskap hitam dengan blangkon dan jarit, dia tersenyum sembari menuntun sepeda ontel, melangkah penuh percaya diri. Di tengah jalan, bocah-bocah semburat menyalami lelaki itu dan mengucapkan salam. Menghadap papan tulis, dia memandu anak-anak belajar di Pendapa Agung Tamansiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko Kamto terlihat menjiwai sosok Ki Hadjar. Sutradara pergelaran, Yuli Miroto, menampilkan puluhan bocah berkebaya dan berjarit menembang Jawa. Anak-anak lain berdiri melingkar, menari, dan saling menyatukan telapak tangan. Puluhan remaja ditampilkan sedang giat berlatih silat. Ibu-ibu berbaris rapi, serempak mengepalkan tangan dan menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan di Tamansiswa. Sebagian alumnus Tamansiswa tampak berkaca-kaca menyaksikan pertunjukan itu. “Pendapa kembali hidup. Ini saya nantikan sejak puluhan tahun lalu,” ujar perupa asal Aceh, Syahnagra Ismail.
•••
SELAIN teater, pameran foto dokumentasi dan memorabilia Tamansiswa serta peluncuran buku berjudul Tamansiswa dan Indonesia Kisah Perjuangan Para Murid Ki Hadjar Dewantara mewarnai peringatan seabad usia Tamansiswa di kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Buku setebal 339 halaman itu memuat riwayat 23 murid awal Ki Hadjar Dewantara yang sebagian besar menempuh sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Kweekschool Tamansiswa, setara dengan sekolah menengah pertama, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pada 1928.
Foto dokumentasi 23 pamong pelopor itu juga ditampilkan di kampus Universitas Sarjanawiyata. Menurut ketua tim editor, Darmanto, buku dan pameran foto yang digagas Paguyuban Anak Mantu Cucu tokoh Tamansiswa ini menampilkan sosok-sosok penting yang berperan dalam pembangunan Perguruan Tamansiswa. “Nama-nama mereka tidak banyak dikenal dan diabaikan. Mereka seolah-olah tenggelam. Padahal Tamansiswa menjadi perguruan yang disegani karena peran tokoh-tokoh itu,” kata Darmanto.
Dokumen berupa catatan milik Iskandar Subekti di Gedung International Institute of Social History di Amsterdam, Belanda. Dokumentasi Ita Fadia
Menarik menyaksikan foto langka para tokoh Tamansiswa generasi awal yang tak pernah dipublikasikan itu, dari Ki Hadisukatno dan Nyi Kustihadi Hadisukatno, Ki Hertog, Ki Iman Soediyat, Ki Moh. Said Reksohadiprojo, Ki Samawi, Ki Sayoga, sampai Ki Sarino Mangunpranoto. “Ini foto ayah saya, Ki Ismail. Beliau dari Aceh. Setelah bertemu dengan Ki Sarmidi Mangunsarkoro di Jakarta, beliau sekolah di Tamansiswa. Dengan dana sendiri lalu Ayah mendirikan Tamansiswa Teluk Betung,” ujar perupa Syahnagra Ismail sembari menunjuk foto ayahnya yang tampan.
Dalam pameran itu juga ditampilkan lukisan-lukisan dua seniman Tamansiswa, Ki Hendro Djasmoro dan Ki Sindhusiswara. Ki Sindhusiswara dikenal sebagai anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia dan sahabat dekat maestro seni lukis Sudjojono. Konsep terkenal Sudjojono dalam melukis, jiwa ketok (jiwa tampak), adalah hasil diskusinya dengan Ki Sindhusiswara.
Betapapun pameran foto itu luar biasa, bila diamati, sama sekali tidak tampak dipajang foto-foto pamong Tamansiswa yang dicap komunis, dikeluarkan dari Tamansiswa, dan kemudian dipenjara. “Saya dengar memang foto-foto pamong Tamansiswa yang kiri, seperti Wikana, tidak boleh dipasang,” ucap pengamat sosial Ita Fatia Nadia. Menurut Ita, pada 1955 Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa sesungguhnya didominasi pengurus dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu ada 14 anggota Majelis Luhur yang terdiri atas enam orang PKI, tiga anggota Partai Sosialis Indonesia, dan lima orang Partai Nasional Indonesia. “PKI mayoritas,” tutur Ita. Enam pengurus dari PKI itu adalah Wikana, Sartono, Wardoyo, Semaun, Sophan Waluyo, dan Soehardjo. Foto-foto tokoh ini sama sekali tidak turut dipasang dalam pameran tersebut, juga tidak diulas di buku.
•••
SEJAK awal pendirian Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara memberi kebebasan kepada murid-muridnya dan pengurus Majelis Luhur untuk terlibat dalam organisasi ataupun memilih partai politik apa pun. Kebebasan itu ia nyatakan melalui keputusannya pada 1931. Banyak pamong Tamansiswa kemudian terlibat aktif alam kegiatan Partai Komunis Indonesia dan onderbouw-nya. Pada perkembangannya kemudian terjadi pertentangan antara mereka yang non-PKI dan PKI.
Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa dari politbiro Partai Komunis Indinesia, Iskandar Subekti. Dokumentasi Ita Fatia
Salah satu tokoh fenomenal Tamansiswa yang giat melawan kaum kiri di tubuh Tamansiswa adalah Ki Mochammad Tauchid. Ki Tauchid sesungguhnya adalah pendiri Barisan Tani Indonesia. Tapi kemudian, saat Barisan Tani diambil alih PKI, ia mendirikan Gerakan Tani Indonesia yang berada di bawah Partai Sosialis Indonesia. Ki Tauchid dikenal sebagai pelopor perjuangan agraria. Dia sangat menguasai bahasan konflik agraria sejak masa kolonial hingga pascakemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara merekrut dia sebagai guru Tamansiswa di Sumpyuh, Kebumen, setelah ia dipecat dari Normal School Purwokerto di Jawa Tengah. Ki Hadjar mengangkatnya sebagai sekretaris dan anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa pada 1938.
Ki Tauchid dikenal paling vokal melawan tokoh-tokoh Tamansiswa dari PKI dalam perebutan kursi pimpinan Majelis Luhur. Pada 1960 memang terjadi pertarungan sengit tokoh PKI, PSI, dan Partai Nasional Indonesia. PKI dikabarkan ingin mengganti prinsip dasar atau kemurnian ideologi Tamansiswa. Budi Basuki, anak Ki Tauchid, ingat, saking kerasnya sikap ayahnya terhadap tokoh-tokoh PKI, rumah tinggalnya menjadi sasaran amukan Pemuda Rakyat. “Kami terpaksa pindah ke Muja Muju supaya aman,” katanya.
Tokoh lain yang satu kubu dengan kelompok Ki Tauchid adalah Ki Suryobroto, ayah Jenderal Tyasno Sudarto yang menjabat Ketua Umum Majelis Luhur pada 2006-2011. Ki Hadjar Dewantara pernah menugasi Ki Suryobroto menjadi ketua Tamansiswa cabang Surabaya. Ia menjabat Ketua Bidang Organisasi Majelis Luhur pada 1960 saat pengurus Majelis Luhur Tamansiswa diwarnai pertarungan keras karena perbedaan ideologi.
Salah satu penulis dalam buku, Ki Prijomustiko, mengakui pada awal 1960-an kekuatan pamong Tamansiswa yang non-kiri dan kiri sama kuat. Pada 1959-1960 sudah terjadi perpecahan yang tajam. Dalam kongres Tamansiswa pada 3 Juli 1963, pertentangan itu memuncak. Saat itu pamong-pamong Tamansiswa yang kiri antara lain Ki Harun Al Rasyid, Ki Soehardjo, Ki Sofyan Waluyo, Ki Abu Wijaya, Ki Bisma Wignyawijaya, dan Ki Hardjosucipto. Menurut Ki Prijomustiko, kongres pada tahun itu buntu.
Ki Hajar Dewantara (tengah) dan pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, di pameran foto pameran foto dokumentasi dan memorabilia, di Pendapa Agung Tamansiswa, Yogyakarta, 3 Juli 2022. Repro/TEMPO/Shinta Maharani
Dalam situasi genting itu, istri Ki Hadjar, Nyi Hadjar Dewantara, sebagai pemimpin umum Persatuan Tamansiswa, menurut Ki Prijomustiko, mengambil keputusan menyelamatkan asas Tamansiswa. Nyi Hadjar memutuskan memberhentikan pengurus Majelis Luhur yang berideologi komunis pada 1964. “Diberhentikan dengan tidak hormat,” ucapnya.
•••
ITA Fatia Nadia, peneliti Wanita Tamansiswa, dalam risetnya selama sebulan di International Institute of Social History di Amsterdam, Belanda, menemukan data bahwa, setelah peristiwa 1965 pecah, Nyi Hadjar kembali mengeluarkan keputusan yang menyatakan Tamansiswa harus bersih dari orang-orang yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia.
Di lantai empat International Institute of Social History, tempat khusus untuk menyimpan semua arsip tentang Indonesia, Ita menemukan dokumen dalam bentuk catatan yang diketik. Isinya menunjukkan Nyi Hadjar Dewantara sebagai Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa mengeluarkan keputusan membersihkan Tamansiswa dari orang-orang berideologi kiri. Keputusan itu termuat dalam instruksi nomor 1 tahun 1965 tanggal 28 Oktober 1965. Bunyinya: Tamansiswa wajib membersihkan diri dari segala tindakan revolusioner.
Pada 5 November 1965, Nyi Hadjar membentuk tim pengaman dan penyelamat Tamansiswa. Sejak saat itu, hampir semua pamong dan intelektual Tamansiswa di banyak kota yang terlibat dalam PKI dipenjara, bahkan dibunuh. “Keputusan itulah yang menyebabkan semua pamong berhaluan kiri ditangkap dan dibunuh. Pamong perempuan juga banyak dikirim ke kamp konsentrasi Plantungan,” kata Ita.
Ki Priyo Mustiko (kanan)saat penyerahan buku "Tamansiswa dan Indonesia, Kisah Perjuangan para Murid Ki Hadjar Dewantara", di Kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 4 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Berbeda dengan pendapat Ki Prijomustiko yang menganggap keputusan Nyi Hadjar itu berani, Ita melihat instruksi tersebut diteken di bawah paksaan rezim Orde Baru. Menurut Ita, Nyi Hadjar tidak memihak ke mana-mana atau berada di tengah. “Nyi Hadjar di bawah tekanan,” ujarnya. Menurut Ita, tidak mungkin Nyi Hadjar berbuat demikian. Apalagi sebagian anggota keluarga Ki Hadjar Dewantara berideologi kiri. Contohnya putranya sendiri, Bambang Sokawati Dewantara, dan keponakan Ki Hadjar, Sumardi, bahkan pendiri Marx House di kawasan Pathuk, Yogyakarta.
Di International Institute of Social History, Ita pun menemukan catatan Iskandar Subekti, pamong Tamansiswa kepercayaan Ki Hadjar yang juga tokoh PKI. “Iskandar Subekti adalah think tank Tamansiswa,” tutur Ita. Iskandar dihukum di penjara Salemba, Jakarta. Dalam penjara, dia membuat tulisan-tulisan di atas karung gandum. Di situ ia menjelaskan bahwa Nyi Hadjar dipaksa mengeluarkan surat keputusan pada 28 Oktober 1965 dan 5 November 1965. Iskandar menulis, Nyi Hadjar sesungguhnya tidak mau mengumumkan keputusan tersebut.
Menurut catatan Iskandar, sesudah instruksi 5 November 1965 keluar, segera dibuat daftar penangkapan orang Tamansiswa alias Tamsis yang kiri. “Setelah instruksi 5 November 1965, ada tim yang mencatat semua nama pamong Tamsis yang anggota PKI, Lekra, Gerwani, Pemuda Rakyat, HIS, untuk diserahkan ke Pangkopkamtib. Bukan Nyi Hadjar yang bikin, tapi orang Tamansiswa lain,” kata Ita. Menurut Ita, kemungkinan besar Iskandar mengetahui pembuat daftar itu, tapi tidak menginformasikannya dalam catatan.
•••
PADA 1965, tokoh-tokoh Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa non-Partai Komunis Indonesia mengambil alih Tamansiswa. Pengambilalihan itu dimotori Ki Mohammad Tauchid dan Ki Suratman yang didukung militer. Ki Tauchid dalam kongres luar biasa pada 1967 terpilih sebagai wakil ketua umum dan pada kongres 1970 menjadi ketua umum. Selanjutnya, campur tangan Orde Baru di Tamansiswa, Ita Fatia Nadia menjelaskan, masuk melalui adik Presiden Soeharto, Probosutedjo, yang pernah menjadi pamong Tamansiswa di Sumatera. Soeharto meminta Probosutedjo mengambil alih Tamansiswa dengan memberikan banyak bantuan dan fasilitas kepada institusi itu. Probosutedjo pernah menjadi penasihat Majelis Luhur. Tapi pendapat ini ditolak Ki Prijomustiko.
“Sama sekali tak pernah Probosutedjo masuk ke Tamansiswa. Dia malah kami tolak karena mau mengubah prinsip Panca Dharma Tamansiswa,” kata Prijomustiko. Panca Dharma adalah prinsip Tamansiswa yang mengajarkan kodrat alam, kemerdekaan, jiwa merdeka, kemanusiaan, dan kebangsaan. “Probo ingin menghapus kodrat alam karena dianggapnya seperti animisme. Kami tak mau,” dia menambahkan.
Ki Hajar Dewantara (duduk, ketiga kanan), bersama staf pengajar Tamansiswa di Yogyakarta, antara 1920-1930. Tropenmuseum
Menurut Ita, banyaknya pemikir Tamansiswa yang dibunuh dan hilang sedikit-banyak menyumbang kemerosotan kualitas pendidikan sekolah tersebut. Dalam amatannya, ratusan tokoh utama yang dikenal cerdas disingkirkan. Sophan Waluyo, misalnya, yang dikenal sebagai ahli pendidikan anak. “Ki Hadjar pernah mengirim Sophan Waluyo untuk mengamati pendidikan di negara-negara Skandinavia. Ki Hadjar punya harapan Sophan merumuskan kurikulum baru untuk Tamansiswa sepulang keliling dari negara-negara itu. Sophan menyelamatkan diri ke Swedia dan menjadi wakil menteri pendidikan di negara tersebut. Saya pernah bertemu dengan beliau. Ia sangat lembut,” ucap Ita.
Ahli sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Budiawan, ingat, ibunya yang saat remaja sekolah di Tamansiswa, Sri Hening Ruswaliyah, pernah bercerita tentang Sophan Waluyo. “Menurut cerita ibu saya, Pak Sophan Waluyo orang yang sangat pandai. Dia menginspirasi murid-murid Tamansiswa,” ujar Budiawan. Akan halnya anak Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa pada 1963, Totong, mengatakan ayahnya, Soehardjo, ditangkap pada peristiwa 1965. Tentara menahan dan menginterogasi Soehardjo di sejumlah tempat sebelum menjebloskannya ke rumah tahanan Salemba pada pertengahan 1966-1968.
Tentara kemudian mengirim tokoh PKI itu ke Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 1980-an. Keluarga mengira Soehardjo akan dikirim ke Pulau Buru karena dia masuk kategori tahanan politik B. Rupanya, Soehardjo setelah itu dibebaskan dan pulang ke Jakarta. “Wajib lapor sepekan sekali kepada tentara,” kata Totong. Nasib tragis juga dialami keluarga seniman Yayak Yatmaka. Pakde Yayak yang juga pamong Tamansiswa, Karto Winoto, hilang sejak peristiwa 1965 meletus karena terlibat dalam Barisan Tani Indonesia. Ki Hadjar Dewantara pernah menugasi Karto Winoto mendirikan taman guru di sepanjang Sumatera. Adapun paman Yayak lainnya, Imam Santoso, dikirim ke Pulau Buru.
Sejumlah murid di depan Tamansiswa, sekitar 1922-1923. Perpusnas RI
“Separuh pamong Tamansiswa habis. Mantan Ketua Lekra Jawa Tengah yang juga pamong Tamansiswa, Pak Suyut, dibunuh satu keluarga, dimasukkan ke sumur. Istrinya, anak-anaknya,” kata Ita. Penangkapan massal pamong Tamansiswa yang kritis ini, menurut Ita, membuat pamong-pamong yang konservatif mendominasi selama masa Orde Baru.
Budiawan melihat tragedi 1965 membuat Tamansiswa kehilangan sumber-sumber intelektualnya. Dia juga merasa miris karena Tamansiswa tidak merangkul keluarga Ki Hadjar Dewantara ataupun tokoh Tamansiswa yang berideologi kiri. Dia juga heran mengapa fakta-fakta ini tak pernah dibuka secara transparan di Tamansiswa. “Sejarah seperti ditaruh di bawah karpet,” ujar Budiawan.
Ki Prijomustiko mengakui bahwa sesungguhnya para pamong kiri pun bagian dari keluarga Tamansiswa. Tapi, menurut dia, kemunduran Tamansiswa pada era Orde Baru tidak hanya disebabkan oleh banyaknya pamong kiri yang hilang. “Itu tidak sepenuhnya benar. Menurut saya lebih karena selama Orde Baru secara internal Tamansiswa kurang mawas diri,” katanya. Dia mengungkapkan, ada ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai sifat, bentuk, irama, dan isi atau SBII. “Sifat tidak boleh berubah. Ada asas dan tujuan. Visi-misi dipertahankan. Tapi bentuk, isi, dan irama disesuaikan dengan alam dan zaman. Tampaknya semasa Orba Tamsis tidak melaksanakan SBII dengan baik,” dia menambahkan.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo