Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Motor Pemberdayaan Masyarakat

Pesantren Annuqayah di Sumenep, Madura, menjadi motor gerakan ekonomi masyarakat melalui usaha mikro dan kecil. Sampai ke Jepang.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pesantren Annuqayah di Sumenep mendampingi masyarakat sekitar dalam pemberdayaan ekonomi.

  • Usaha kecil berupa produksi jamu herbal dan keripik yang memberdayakan perempuan desa.

  • Disorot pelbagai lembaga besar hingga PBB.

GERAKAN melek lingkungan di Sumenep, Jawa Timur, tak lepas dari kiprah Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) Pesantren Annuqayah. Didirikan Kiai Haji Abdul Basith 44 tahun lalu, BPM menjadi motor gerakan program serba hijau serta pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren di Madura itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga itu muncul setelah Basith mengikuti Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial pada 1977. “Beliau ingin menerapkan ilmu dengan terjun langsung ke masyarakat,” kata Ketua BPM Annuqayah Mohammad Khatibul Umam kepada Tempo Selasa, 26 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain menanamkan rasa cinta lingkungan, BPM Annuqayah menjadi motor pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantren. Umam mencatat ada empat desa lokasi pendampingan Annuqayah yang mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di Desa Payudan Dungdang, Guluk-Guluk, misalnya, BPM mendampingi masyarakat memproduksi jamu herbal. Jamu herbal terbuat dari temu lawak dan kunyit. “Ini desa yang berhasil,” tutur Umam.

Bagi Umam, ukuran keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya ekonomi baru. Jamu herbal Payudan Dungdang, menurut Umam, cukup laris. Produk jamu herbal itu telah mendapat izin dari pemerintah pada 2021. “Yang menjual kebanyakan perempuan,” ujarnya.

Salah satu penggerak produk jamu herbal adalah Hasbiyah. Alumnus Pesantren Annuqayah ini adalah pemimpin Kelompok Sumber Makmur yang mewadahi puluhan pembuat jamu herbal di Payudan Dungdang. Setiap hari, kata Hasbiyah, pendapatan tiap orang dari penjualan jamu mencapai Rp 100 ribu. Satu botol jamu berukuran 1,5 liter dijual Rp 20 ribu. “Bahannya ambil di kebun, makanya murah,” ucapnya.

Menurut Hasbiyah, keberhasilan Payudan Dungdang memproduksi jamu herbal tak lepas dari pendampingan Annuqayah, yang bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) dan Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Ketiga lembaga itu bahu-membahu selama delapan tahun sejak 2000 membangun usaha kecil yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.

Konsep kebun jamu Annuqayah, Umam menjelaskan, berupa penanaman bahan baku di pekarangan rumah penduduk. Tanamannya pun lokal. Porsi Yayasan Kehati adalah memberikan berbagai macam pelatihan produksi jamu. Dari situlah lahir berbagai jamu, seperti untuk ibu menyusui dan sari rapet. “Sementara itu, Universitas Muhammadiyah Malang yang meneliti khasiatnya, plus mencari namanya dalam biologi,” kata Umam. 

BPM juga mendampingi warga Payudan Dungdang dalam pembuatan pattola, kerupuk dari tepung beras. Sama seperti jamu, kerupuk ini laris di pasar. Hasbiyah mengatakan pendapatan dari penjualan kerupuk mencapai Rp 5 juta per bulan. “Satu bulan bisa habis 700 kilogram beras. Pembuatnya janda-janda di sini,” ujar Hasbiyah.  

Berkat jamu herbal, Hasbiyah diajak Wahid Institute mempromosikan produk lokal di sebuah forum di Jepang pada 2018. Setahun sebelumnya, BPM dan Wahid Institute bersama Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) mengadakan Desa Damai Sumenep, program pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender serta promosi perdamaian berbentuk pelatihan peningkatan kapasitas dan ekonomi demi menaikkan taraf hidup masyarakat.

Di Desa Prancak, BPM Annuqayah juga kerap mengadakan pelatihan di kebun Assalam, kebun konservasi dan penghijauan yang dibangun pesantren, dari membatik sampai membuat keripik. Sahirul Alim, 33 tahun, salah satu penduduk yang mendapat pelatihan itu. “Kalau lagi musim panen jambu mete, kami juga bisa ikut memanen buahnya,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus