Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Karena Ibadah Butuh Air

Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, konsisten melek lingkungan. Selain membangun kebun konservasi, mereka memakai energi bersih dan getol menentang penambangan fosfat.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pesantren Annuqayah di Madura melek terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup

  • Pengurus pesantren melakukan penghijauan, membuat mata pelajaran pendidikan lingkungan, sampai menolak penambangan fosfat.

  • Pesantren juga menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar lewat berbagai program pemberdayaan.

HAWA terasa sejuk di kebun konservasi Assalam, Pesantren Annuqayah, di Desa Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur. Sinar terik matahari terhalang tajuk pelbagai pohon di kebun seluas 15 hektare di Desa Prancak itu. Jarak kedua desa itu sekitar 30 kilometer. Nama Assalam adalah akronim Annuqayah Sahabat Alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebun Assalam berusia lebih dari 40 tahun. Letak kebun berada di perbukitan. Di salah satu puncak kebun berdiri rumah berdinding kayu lengkap dengan langgar, kamar mandi, serta kandang kambing. Di rumah itulah Kiai Homaidy, yang akrab dipanggil Ki Idi, tinggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria 49 tahun dengan rambut gondrong itu keluarga ndalem pesantren yang ditugasi Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) Annuqayah menjaga kebun konservasi Assalam. BPM juga yang membangun rumah serta fasilitasnya. “Selain tugas, kebetulan saya suka dengan alam, suka ketenangan, jadi pas,” kata Ki Idi kepada Tempo, Kamis, 21 April lalu.

Sudah tujuh tahun Ki Idi tinggal di kebun konservasi. Ia bercerita, kebun konservasi ini bermula dari kepedulian pendiri BPM, Kiai Haji Abdul Basith, terhadap lingkungan. Pada 1980-an, desa-desa di Sumenep tandus karena kesulitan air. Kiai Basith punya ide menanam pohon untuk menyerap air. “Prancak ini dulu gersang,” ujar Ki Idi.

Kiai Homaidy di kebun konservasi Assalam milik Pesantren Annuqayah di Sumenep, Jawa Timur, 24 April 2022/Tempo/Mustofa Bisri

Lahan kebun merupakan hibah. Mula-mula lahan ditanami jambu monyet atas permintaan pemilik lahan. Baru belakangan pohon jati ditanam. Namun kebun tak terurus sehingga banyak orang menebang pohon jati. Baru pada 2007 BPM menjadikan tempat itu pusat konservasi tempat pendidikan lingkungan. Rumah serta fasilitasnya dibangun dan selesai pada 2014.

Setahun kemudian, Ki Idi ditugasi menjaga kebun itu. Ki Idi bercerita, tantangan terberat yang ia hadapi ketika mulai menjaga kebun konservasi adalah maraknya pembakaran lahan oleh penduduk sekitar kebun. Tak jarang apinya merembet ke kebun Assalam.

Butuh waktu tiga tahun bagi Ki Idi untuk menyadarkan penduduk yang biasa membakar lahan dengan alasan bersih-bersih kebun. Ia melibatkan mereka dalam setiap kegiatan peduli lingkungan serta pemberdayaan ekonomi. Setiap Jumat dan Ahad, anak-anak kelas IV-VI sekolah dasar di Prancak diundang ke kebun Assalam untuk mengikuti Komunitas Sekolah Alam.

Ketua BPM Annuqayah Mohammad Khatibul Umam mengatakan sekolah alam berdiri sejak 2019. Salah satu materi yang diajarkan kepada anak umur 10-12 adalah pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingkungan lestari dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, tidak menggunakan kemasan sekali pakai, dan lain-lain. “Kalau ke anak kecil biasanya melekat,” ucap Umam, Selasa, 26 April lalu.    

Di kebun Assalam, BPM Annuqayah dibantu aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengader santri lewat acara sekolah air pada Ahad-Senin, 17-18 April lalu. Puluhan santri dari berbagai pesantren di penjuru Sumenep mengikuti acara bertema krisis air serta ancaman tambang fosfat itu. “Pesantren kembali menghadapi krisis sumber air,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan.

Ancaman itu, Wahyu menjelaskan, datang dari penambangan fosfat yang konsesinya berada di 15 kecamatan di Sumenep, termasuk Guluk-Guluk. Dengan mengikuti sekolah air, siswa paham ancaman krisis air di wilayah mereka begitu nyata. Wahyu berharap perlawanan masyarakat, terutama santri di Sumenep, terhadap penambangan fosfat makin solid dan kolektif. Sebab, tak ada penambangan pun air sulit diperoleh di Sumenep.

Sebetulnya perlawanan sudah ada di level elite lewat Forum Sumenep Hijau. Forum tersebut merupakan perkumpulan kiai se-Sumenep yang salah satu agendanya menolak tambang fosfat yang destruktif. Ketua Pengurus Pesantren Annuqayah Kiai Naqib Hasan salah satu yang aktif dalam perkumpulan tersebut. “Beliau yang mengkoordinasi gerakan forum itu,” tutur Umam.

Kepedulian Pesantren Annuqayah terhadap lingkungan tak lepas dari kondisi geografi Guluk-Guluk yang tandus. Sejak pesantren didirikan Kiai Haji Mohammad Assyarqowy pada 1887, pengurus menyadari pentingnya menjaga lingkungan. Kesadaran itu menurun kepada putranya, Kiai Moh. Ilyas. Ia dikenal sebagai pengasuh yang mencetuskan ide menanam pohon untuk merawat sumber air.

Kiai Musthafa, Wakil Rektor Institut Sains dan Teknologi Annuqayah, bercerita bahwa Kiai Ilyas menanam berbagai macam pohon di lingkungan pesantren. Semangat menjaga kelestarian lingkungan ini diteruskan oleh para pengasuh Annuqayah, termasuk Kiai Haji Abdul Basith, pendiri BPM Annuqayah.

Kegiatan menanam seribu pohon oleh santri Pondok Pesantren Annuqayah, di Kebun Konservasi Assalam di desa Prancak, Pasongsongan, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Januari 2020. annuqayah.id

Selain membikin kebun konservasi Assalam, BPM Annuqayah menanam berbagai pohon, seperti akasia, lamtoro gung, dan kapuk, di sejumlah tempat. Atas kiprahnya dalam program penghijauan itu, Annuqayah diganjar penghargaan Kalpataru oleh pemerintah pada 1981.

Hingga kini, program penghijauan terus berjalan. Tahun lalu, misalnya, BPM Annuqayah menanam 4.000 pohon buah-buahan. Umam mengatakan pohon sebanyak itu ditanam di berbagai tempat, dari pekarangan rumah penduduk sekitar Annuqayah sampai kebun Assalam. “Sekalian kampanye peduli lingkungan ke masyarakat,” ucap Umam.   

Annuqayah termasuk pesantren dengan jumlah murid terbanyak di Jawa Timur. Saat ini ada 11 ribu murid dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Pengasuh pesantren berencana memasukkan mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup di semua jenjang. Menurut Musthafa, rencana itu baru terwujud untuk jenjang sekolah menengah atas, khususnya di SMA 3 Annuqayah.

Musthafa adalah sosok penggagas pendidikan lingkungan hidup di SMA 3 Annuqayah. Mata pelajaran itu ada sejak 2014, ketika Musthafa menjabat kepala sekolah. Materi pelajaran, kata dia, adalah kompilasi dari berbagai buku lingkungan yang antara lain membahas perubahan iklim, gerakan lingkungan baik lokal maupun global, norma Islam, dan lingkungan. 

Kadang pembahasan materi meluas ke ihwal pergerakan organisasi lingkungan, kasus lingkungan hidup, sampai gerakan buruh. “Saya ingin materi pelajaran tidak sekadar bicara tentang alam, tapi juga pergerakan dan organisasinya,” ujar Musthafa. Pembelajaran seperti itu sejalan dengan keinginan pengurus Pesantren Annuqayah yang turut mendirikan Walhi Jawa Timur.

Selain melakukan penghijauan dan mengajarkan materi peduli lingkungan, pesantren menerapkan energi hijau dengan memakai pembangkit listrik tenaga surya sejak 2018. Sebanyak 100 panel surya terpasang di semua penjuru pesantren dengan kapasitas 30,72 kilowatt-peak. Dengan kapasitas itu, kata Umam, pesantren bisa menghemat 40 persen penggunaan listrik sehari-hari dibanding memakai setrum Perusahaan Listrik Negara.

Program hijau lain Annuqayah adalah pengelolaan sampah. Pada 2007, Musthafa membentuk komunitas Pemulung Santri Gaul (PSG) di SMA 3 Annuqayah. Komunitas yang didominasi santri perempuan itu dibentuk untuk mengurangi sampah plastik di lingkungan sekolah.

Saban hari, Musthafa menjelaskan, komunitas ini mendata jumlah sampah yang dihasilkan murid SMA 3 Annuqayah. Untuk mengurangi sampah, atas persetujuan Musthafa, komunitas membuat aturan berupa larangan, di antaranya terhadap penggunaan air mineral kemasan. Murid juga diminta membawa botol minum dan piring sendiri. “Aturan itu sukses mengurangi penggunaan sampah plastik di lingkungan sekolah,” tutur Musthafa. 

Suasana sebelum mengaji sore di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Juni 2017/M Mushthafa

Keberhasilan program PSG menginspirasi pengasuh pesantren untuk menerapkan kebijakan ramah lingkungan di asrama putri. “Sekarang pengelola asrama putri melarang penggunaan pembalut sekali pakai,” ujar Musthafa. Musthafa juga yang menggagas program kemah lingkungan yang diikuti siswa SD sampai perguruan tinggi di penjuru Sumenep setiap tahun.

Berkat program kepedulian terhadap lingkungan itu, Annuqayah kerap mengisi acara termasuk menjadi narasumber bagi Nahdlatul Ulama saat menyusun program pesantren hijau pada 2019. “Ibadah itu salah satu kebutuhannya air,” ucap Umam. “Maka, dengan menjaga lingkungan, air akan mengalir, ibadah juga lancar.”

Bukan hanya air yang mengalir lancar di pondok-pondok pesantren itu. Karena air membutuhkan pohon, udara Sumenep yang panas juga tertangkal oleh tajuk dan rindangnya pepohonan, seperti di kebun Assalam itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus