Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pondok Pesantren Nurul Haramain di Lombok memberdayakan santri-santri perempuan untuk mengelola sampah secara mandiri.
Pengasuh pesantren mengajari santri perempuan menyetir mobil bak terbuka untuk mengangkut sampah ke tempat pembakaran.
Tuan Guru Hasanain Juaini membangun insinerator berkapasitas 1,5 ton supaya pesantren besutannya bisa mengolah sampah.
NADIRA sudah duduk di belakang kemudi mobil bak terbuka saat tiba jam istirahat sekolah, Sabtu pagi, 23 April lalu. Bersama empat kawannya, santri perempuan Pondok Pesantren Nurul Haramain di Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, ini bersiap menyisir 35 titik penampungan sampah di pondok putri dan putra. "Ndak jijik, kok. Ini sudah amanah," kata Nadira, siswi kelas II madrasah aliyah pesantren itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia bersama rekannya dengan cekatan mengangkut sampah dan memindahkannya ke bak mobil. Di setiap titik ada petugas piket dari tiap angkatan yang mengumpulkan sampah dari asrama, ruang kelas, dapur, hingga halaman pesantren. Sampah botol dan gelas plastik dipilah dari sampah jenis lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pondok putri, mereka bergerak menuju pondok putra yang berjarak 500 meter. Begitu bak mobil telah terisi penuh, mereka meluncur ke tempat pembakaran sampah di kompleks pesantren putra. Sampah-sampah itu kemudian dimusnahkan dalam tungku bersuhu 600 derajat Celsius.
Raisa dan Agni, yang membantu Nadira, mengatakan sampah di Pesantren Nurul Haramain dikelola secara teratur. Mereka mengkoordinasi adik-adik kelas untuk membuang sampah ke dalam tong yang telah disediakan, lalu mengumpulkannya di titik-titik penampungan. "Kami angkut sampahnya ke tempat pembakaran," ucap Raisa. Menurut Agni, mereka juga belajar mengenali dan memilah sampah.
Ustad Sarjuliadi, pelaksana harian Pesantren Nurul Haramain, mengatakan pengelolaan sampah di pondok itu sudah diserahkan sepenuhnya kepada santri putri sebagai penanggung jawab utama. "Mengurusi sampah butuh skill dan kemampuan berorganisasi," tuturnya. "Kemampuan itu kelak bisa mereka pakai dan terapkan ketika lulus."
Pengasuh pondok membekali para santri perempuan yang menjadi petugas kebersihan dengan pelatihan manajemen pengolahan sampah. Pengelola pondok juga menyediakan fasilitas kendaraan operasional berupa mobil bak terbuka serta melatih para santri perempuan mengendarainya.
Berat sampah yang dihasilkan para santri Nurul Haramain mencapai 6 ton per hari. Sarjuliadi mengatakan sampah adalah salah satu aib yang harus dituntaskan. Para santri harus dilatih bertanggung jawab menyelesaikan persoalan sampah mereka sendiri. Apa yang diajarkan di sana sejalan dengan prinsip "osamtu" atau olah sampah sampai tuntas. "Tidak boleh ada sampah keluar dari pondok," katanya.
Kemandirian Pesantren Nurul Haramain dalam mengelola sampah tak lepas dari keputusan Tuan Guru Hasanain Juaini, yang mewarisi pengelolaan pesantren dari ayahnya sejak 1996. Ia saat itu dipusingkan oleh produksi sampah yang jumlahnya setengah ton per hari. Hasanain dulu menarik sendiri sampah dalam gerobak dan membawanya ke tempat pembuangan sejauh 1 kilometer. Namun lama-lama lahan itu tak sanggup lagi menampung sampah dari pesantren.
Hasanain sempat memakai jasa dinas kebersihan dengan biaya retribusi Rp 600 ribu per bulan yang terbilang mahal pada 1990-an. Cara ini juga kandas karena petugas kerap kewalahan mengangkut sampah dari pesantren itu. Apalagi jumlah sampah meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun seiring dengan bertambahnya santri. Walhasil, Hasanain memutuskan membangun insinerator berkapasitas 1,5 ton pada 2011. Biayanya Rp 100 juta untuk membeli lahan dan kendaraan hingga membangun tungku pembakaran.
Sejak itu, persoalan sampah di Pesantren Nurul Haramain bisa diatasi. Bahkan Nadira dan santri perempuan lain yang dibantu petugas operasional insinerator bisa menghasilkan hingga Rp 7 juta tiap bulan dari penjualan sampah plastik. "Itu bonus untuk mereka yang menangani pembakaran sampah, juga untuk tambahan biaya operasional," ujar Sarjuliadi. "Tapi itu tak seberapa dibanding manfaat kesehatan pengelolaan sampah."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo