Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dakwah Ekologi di Lembah Madani

Pengasuh dan santri pesantren Nurul Haramain di Lombok, Nusa Tenggara Barat, bertahun-tahun melestarikan lingkungan. Menghijaukan lahan tandus, merevitalisasi sungai, hingga mengolah sampah secara mandiri.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tuan Guru Hasanain Juaini memimpin Pondok Pesantren Nurul Haramain di Lombok menjadi pesantren berwawasan lingkungan.

  • Hasanain Juaini pernah dianggap gila karena mengajak para santrinya untuk menghijaukan lahan kritis dan bekas pembalakan liar.

  • Selain melakukan penghijauan dan reboisasi, Hasanain Juaini mengajarkan gerakan kitab biru yang berfokus pada perlindungan sungai.

PONDOK pesantren itu sekilas seperti lokasi wisata alam. Ada tiga kolam ikan air tawar berlatar sawah. Sebuah peternakan ayam dan bebek menyempil di tengahnya. Selebihnya beragam tanaman perdu dan bunga. Di seberangnya, terpisah oleh sungai kecil yang terhubung sebuah jembatan kecil, terdapat sejumlah berugak atau gazebo khas Lombok berukuran 3 x 6 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana asri Pondok Pesantren Nurul Haramain di Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tersebut layaknya desa-desa wisata yang belakangan muncul di Lombok. “Saya sudah lama mengenal pondok ini dari koran,” kata Ahmad Syafawi, orang tua santri dari Desa Tolot-Tolot, Lombok Tengah, yang menjenguk putrinya, Jumat sore, 22 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syafawi mengenal Nurul Haramain sebagai pondok pesantren yang bertransformasi dari mengajarkan kitab kuning ke “kitab hijau”. “Pondok ini mengajari santrinya untuk peduli lingkungan,” ucapnya. Keputusan putrinya memilih nyantri di Nurul Haramain ketimbang pesantren lain sejak beberapa tahun lalu juga terbilang sederhana. “Dia memilih belajar di sini karena katanya kamar mandinya bersih.”

Sejak dipimpin Tuan Guru Hasanain Juaini pada 1996, pesantren Nurul Haramain memang dikenal sebagai pondok berwawasan lingkungan. Pesantren dengan pengajaran ekodakwah itu mengajak para santrinya tidak hanya berdakwah di mimbar-mimbar, tapi turun langsung berbuat untuk lingkungan. Nama pondok ini makin moncer saat Hasanain meraih penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay pada 2011 karena kiprahnya membangun pesantren peduli lingkungan, pemberdayaan perempuan, dan toleransi antarumat beragama.

Santriwati Pondok Pesantren Nurul Haramain mengikuti pelajaran Bahasa Inggris usai sholat Asar berjamaah di aula pondok, 20 April 2022/TEMPO/ Abdul Latief Apriaman

Mengasuh lebih dari 3.000 santri, Hasanain mengatakan gerakan ekodakwah—dakwah ekologi—yang digagasnya merupakan bagian dari konsep kepeloporan. “Harus ada sesuatu program sosial yang menjadi pionir bagi pondok pesantren lain,” ujarnya, Selasa, 26 April lalu. Sebagai lembaga pendidikan, kata dia, pesantren Nurul Haramain harus mengambil bagian mendidik masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup.

Ulama 57 tahun itu sempat dianggap gila saat menggerakkan para santrinya, termasuk santri perempuan, menyulap sekitar 40 hektare lahan kritis di Dusun Gunung Jae, Desa Sedau, Lombok Barat, menjadi sebuah lembah yang subur pada 2006. Lembah tandus yang semula bernama Lembah Suren itu adalah lahan berpasir sisa letusan Gunung Samalas yang hanya ditumbuhi ilalang. Sementara itu, bagian atasnya adalah lahan bekas pembalakan liar. “Warga bahkan bilang, ‘Tuan Guru, potong telinga kami kalau bisa tumbuh pohon di situ,’” tutur pelaksana harian pesantren Nurul Haramain, Ustad Sarjuliadi.

Bersama tujuh pengelola pondok dan para santri, Hasanain menginap di Lembah Suren berbulan-bulan. Mereka bereksperimen, mencari cara supaya pohon bisa ditanam dan tumbuh di sana. Sarjuliadi, salah satu pengasuh pondok yang ikut saat itu, mengatakan bahwa mereka sampai mendatangkan berton-ton pupuk kandang. “Tapi masih saja gagal. Pohonnya mati,” ucapnya. Sampai akhirnya mereka menemukan penggunaan sabut kelapa untuk mengurung bibit tanaman agar tidak kering.

Lembah Suren yang tandus pun berubah menjadi hutan. Warga juga sudah kembali menanami area bekas hutan yang ditebangi. Dari situlah masyarakat mulai mengubah sebutan lembah itu menjadi Lembah Madani. Di dalamnya terdapat sebuah pusat pelatihan bahasa Inggris dan tahfiz Al-Quran bernama Madani Super Camp. Ada pula tiga aula besar, dan di antara aula itu terdapat asrama santri dan puluhan saung. Selain disambangi santri dari berbagai daerah, Lembah Madani menjadi tujuan wisata alam bagi turis lokal dan mancanegara.

Selain menghijaukan Lembah Madani, Hasanain dan para santrinya bergerak masif menghijaukan berbagai tempat di Lombok. Hasil kerja keras mereka antara lain dapat dilihat di sepanjang jalan dan di area sekitar Bandar Udara Internasional Lombok di Pelabuhan Haji, Lombok Timur. Ribuan pohon berjajar hingga Kota Mataram.

Khairul Anwar Salah, alumnus santri yang kini menjadi ustad di Nurul Haramain, mengaku sempat kesal terhadap apa yang dulu dilakukan tuan gurunya. “Kesal juga menanam pohon di tanah orang,” ujarnya. Tapi semua kekesalan itu terbayar. Ia kini bisa melihat bibit-bibit yang ditanamnya dulu sudah menjadi pepohonan besar.

Pesantren Nurul Haramain juga mengembangkan pembibitan pohon yang jumlahnya mencapai lebih dari 1 juta tiap tahun. Hasanain membagikan gratis semua bibit pohon kepada siapa pun yang ingin menanamnya. Ada bibit pohon jati, trembesi, mahoni, ketapang, nangka, mangga, tanjung, gamelina, mimba, hingga pepaya. Sebagian bibit itu sudah tertanam di berbagai pulau di Indonesia, bahkan negara tetangga.

Bagi Hasanain, setiap perubahan harus diawali dengan teladan. Ia mengutip pepatah Sasak, “Pelisaq bawen batu, ndek kugitaq ndek kunyadu (kalau tidak ada bukti nyata, tidak akan dipercaya)”, dalam menggerakkan para santri dan masyarakat untuk peduli lingkungan. Tidak hanya lewat mimbar-mimbar, Hasanain berdiri paling depan dalam kerja-kerja fisik sekalipun. “Cara mengajari masyarakat di NTB ini harus memberikan contoh, seperti yang kami lakukan di gerakan penghijauan dulu,” ucapnya.

Selain mendapatkan Ramon Magsaysay Award—Nobel versi Asia—Hasanain meraih Indonesia Green Award pada 2012 hingga Kalpataru tahun 2016. Menurut Ustad Khairi Habibullah, adik Hasanain yang juga mengasuh pesantren, pelabelan Nurul Haramain sebagai pesantren berwawasan lingkungan tak lepas dari kesungguhan para pendidik dan santrinya dalam melestarikan alam. Bahkan Hasanain harus membawa kalkulator untuk meyakinkan masyarakat tentang nilai ekonomi dari lingkungan yang hijau.

Perjuangan Hasanain tidak berhenti pada pengajaran “kitab hijau”. Keberadaan pondok pesantren putri dengan ciri persawahan, kolam ikan air tawar, juga sungai berair deras dan jernih menandai pergerakan kebijakan Nurul Haramain ke ranah pelajaran “kitab biru”. Sementara kajian kitab hijau merujuk pada gerakan penghijauan dan reboisasi, kitab biru mengacu pada gerakan lingkungan yang berfokus pada air. “Air identik dengan warna biru, sehingga disebut kajian kitab biru,” kata Khairi Habibullah.

Tuan Guru Hasanain Juaini/Dok. Ponpes Nurul Haramain

Hasanain mengatakan banyak dalil dalam Al-Quran ataupun hadis yang menjadi sandaran ekodakwah, termasuk gerakan berbasis air. Dia menyitir Surah Al-Mulk ayat ke-30 yang berbunyi, “Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering, maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?’” Bagi Hasanain, ayat itu sebuah peringatan keras agar jangan bermain-main dengan air. “Surga sebagai tempat yang damai selalu saja digambarkan dengan adanya sungai yang mengalir,” ujarnya. “Sebuah gambaran tentang betapa pentingnya fungsi air.”

Gerakan kitab biru dimulai dengan menggarap 1,7 kilometer sungai yang melintasi pesantren Nurul Haramain. Selain menjaga kebersihan dari sampah, sebagian ikan yang dipelihara di kolam pondok putri dilepas ke sungai agar bisa dinikmati bersama. Masyarakat boleh memancing ikannya. Tapi sebelumnya pengurus pesantren membuat awig-awig atau kesepakatan bersama santri dan warga sekitar untuk tidak membuang sampah ke sungai. Juga tidak menangkap ikan dengan menyetrum atau meracunnya.

Dari pengelolaan sungai itu muncul ide pertanian terpadu. Hasanain, misalnya, mulai mempraktikkannya dengan mengairi tanaman padi dengan air kolam ikan. Tiga tahun ini mereka sudah tidak menggunakan pupuk kimia. Untuk pakan ikan, sebagian diambil dari kandang unggas, sebagian lagi dengan Lemna minor atau mata lele, sejenis tanaman air yang proteinnya lebih tinggi daripada pakan produksi pabrik. Setidaknya 50 persen pakan sudah memakai Lemna minor dan keuntungan terbukti bertambah. “Kami sudah menghemat harga pupuk hingga Rp 7 juta per hektare,” tutur Hasanain.

Melalui gerakan kitab biru, Hasanain bercita-cita menjadikan sungai di pesantrennya terbersih, terproduktif, terindah, dan menjadi inspirasi pesantren lain. Dari pondok-pondok pesantren, ia berharap masyarakat tertular menjaga sungai. Hasanain memimpikan sungai di pondoknya seperti sungai-sungai di Jepang yang menjadi destinasi wisata. “Kalau sungai bagus, berarti daerah itu maju,” ujarnya.

Amri Nuryadin, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Barat, menilai tindakan Tuan Guru Hasanain dan para santrinya adalah upaya nyata penegakan keadilan iklim. "Haramain memberikan perspektif keadilan iklim dengan menjaga alam," kata Amri.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus