Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Harap-harap Cemas Menanti 2 Triliun

Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri mengaku lalai karena percaya begitu saja dengan janji sumbangan Rp 2 triliun keluarga Akidi Tio. Harta warisan untuk menangani pandemi Covid-19 itu diduga fiktif. Rekening Heryanty, sang penyumbang, hanya berisi Rp 3,2 juta.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi masih menelusuri alasan Heryanty memberi sumbangan diduga bodong senilai Rp 2 triliun.

  • Isi rekening Heryanty dan suaminya hanya berisi uang setara dengan UMR Kota Palembang.

  • PPATK ragu ada warisan Akidi Tio di Singapura.

KEPALA Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri harap-harap cemas pada Senin pagi, 2 Agustus lalu. Hari itu ia tengah menanti kabar pencairan bilyet giro Heryanty, anak mendiang pengusaha Akidi Tio, yang akan memberi sumbangan Rp 2 triliun untuk menangani pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada saat bersamaan, Heryanty berada di kantor Bank Mandiri Jalan Kapten A. Rivai, Palembang. Bersama ia ada Kepala Bidang Keuangan Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Heni Kresnowati serta Direktur Intelijen dan Keamanan Intel Komisaris Besar Ratno Kuncoro. Sahabat Heryanty, Siti Mirza Nuria, juga hadir di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Nuria, pegawai bank mewawancarai Heryanty soal alas transaksi, sumber uang Rp 2 triliun, hingga tujuan pemindahbukuan dari sebuah bank di Singapura. Perempuan 62 tahun itu tak bisa menjawab.

Bilyet bernomor XL 105226 senilai 2 triliun./Istimewa

Menjelang tengah hari, isi rekening bilyet masih kosong. Uang yang dinanti-nanti tak kunjung nongol di rekening Heryanty. “Jam 12 siang itu saya minta Bu Heryanty dibawa ke kantor, menunggu di sini sampai waktu kliring,” kata Inspektur Jenderal Eko Indra Heri pada Jumat, 6 Agustus lalu.

Kombes Ratno Kuncoro pun menggiring Heryanty ke Markas Polda Sumatera Selatan, yang berjarak 3,5 kilometer dari Bank Mandiri. Hingga jadwal kliring tutup pukul 14.00, transaksi itu tak pernah terjadi. Polisi lalu memeriksa Heryanty. “Ia diminta klarifikasi mengapa uangnya tidak ada,” ujar Irjen Eko Indra Heri.

Siang itu, Kombes Ratno Kuncoro menemui Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru. Ratno melaporkan temuan polisi hari itu. Soalnya, pada 26 Juli lalu, Herman Deru hadir di Markas Polda menyaksikan seremoni penyerahan bantuan Rp 2 triliun. Irjen Eko merasa perlu memberitahukan perkembangan sumbangan itu.

Setelah bertemu dengan Herman Deru, Ratno mengatakan Heryanty sudah berstatus tersangka dengan tuduhan menyebarkan informasi bohong. Ia bahkan menyampaikan bahwa Heryanty sebelumnya pernah berbohong ihwal sumbangan lain. “Tersangka sudah lama kami selidiki,” kata Ratno. “Ini adalah yang kedua kalinya ia melakukan tindakan seperti ini.”

Kabar batalnya sumbangan 2 triliun Heryanty langsung menyebar di media sosial. Informasi ini bahkan lebih heboh saat seremoni penyerahan sumbangan itu. Sejumlah pihak bahkan menyebut kisah itu sebagai prank of the year alias lelucon terbesar tahun ini.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Selatan Supriadi buru-buru mengklarifikasi. Ia mengatakan bahwa Heryanty belum menjadi tersangka. “Tidak ada prank,” ucapnya. “Beliau kami undang ke Polda untuk memberikan klarifikasi pemberian bilyet giro Rp 2 triliun, bukan ditangkap.”

Polisi sebenarnya sudah mendapat kabar tak sedap sejak rencana sumbangan Rp 2 triliun pertama kali dirilis. Seorang penegak hukum mengatakan ada perwira di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya yang mengabarkan kepada koleganya di Polda Sumatera Selatan agar berhati-hati terhadap Heryanty.

Polisi Jakarta itu mengabarkan bahwa Heryanty tengah beperkara di Ibu Kota. Heryanty terlibat utang-piutang dengan kolega pengusahanya. Kasus lain: ia diduga ingkar janji menyumbang Rp 20 miliar untuk salah satu gereja. “Pengurus gereja marah dan mencari-cari dia,” kata penegak hukum itu.

Ternyata Heryanty bukan orang tajir. Seorang penegak hukum lain mengatakan hasil penelusuran beberapa rekening Heryanty membuktikan sumbangan Rp 2 triliun itu tak masuk akal. Soalnya, salah satu rekening Heryanty hanya berisi Rp 3,2 juta. Sedangkan isi rekening suaminya, Rudi Sutadi, cuma Rp 107 ribu.

Ada lagi rekening lain Heryanty yang hanya berisi Rp 300 ribu. Ia juga tercatat tengah mencicil kredit barang, tapi kelas recehan. “Tidak mungkin orang yang punya Rp 2 triliun saldo rekeningnya seperti itu,” ujar penegak hukum tersebut. “Ada transaksi lain, tapi tetap tidak signifikan.”

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae bahkan mengatakan sumbangan Heryanty bodong. Menurut dia, timnya ikut memeriksa rekening Heryanty karena transaksi Rp 2 triliun sangat mencurigakan. Profil keuangan Heryanty tak sesuai dengan jumlah sumbangan yang ia janjikan. “Hasil pemeriksaan PPATK menunjukkan uang dalam rekening jauh dari mencukupi untuk memenuhi komitmen sumbangan itu,” tutur Dian.

Soal kabar uang warisan yang diklaim Heryanty masih tertahan di Singapura, Dian menganggap hal itu sulit dipercaya. Kalau benar, kata Dian, seharusnya masalah ini dibereskan sebelum ia membuat komitmen menyumbang untuk menangani pandemi. “Jangan melibatkan penerima yang bukan pihak terkait dengan persoalan ini,” ujarnya.

Namun pemerintah belum menelusuri kabar warisan bisnis Akidi Tio di Singapura. Juru bicara Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, Ratna Lestari Harjana, mengatakan pihaknya belum mendapat perintah penelusuran dari pemerintah pusat. “Kami hanya memantau lewat media massa, belum mendapat arahan apa-apa soal ini,” katanya.

Dian Ediana Rae, di gedung PPATK, Jakarta./TEMPO/STR/Frannoto

Sahabat Heryanty, Siti Mirza Nuria, mengaku pernah mendengar cerita harta benda Akidi Tio disimpan di luar negeri saat kurs dolar Amerika Serikat masih Rp 400. Heryanty berutang kepada Nuria senilai Rp 3 miliar untuk memproses pencairan warisan itu beberapa tahun lalu.

Menurut Nuria, Heryanty tak kunjung melunasinya. Ia sempat berniat melaporkannya ke polisi, tapi batal. “Mengingat dia sahabat saya, sedang dalam kesusahan, dan lack of financial, saya putuskan ditunda dulu,” ujar kontestan Miss Universe 1977 ini.

Tempo berupaya mewawancarai Heryanty soal sumbangan dan perkara lain dengan mendatangi rumahnya di Palembang pada awal Agustus lalu. Namun ia tak pernah menampakkan diri. Surat permintaan wawancara yang dikirim ke rumah dan nomor telepon pribadinya pun tak direspons hingga Sabtu, 7 Agustus lalu.

•••

SEBAIT pesan mendarat di akun WhatsApp Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Lesty Nurainy pada Jumat, 23 Juli lalu. Pengirimnya tertulis Profesor Hardi Darmawan. Hardi meminta nomor telepon Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri. “Beliau menjanjikan ada kabar bagus untuk Pak Kapolda,” kata Lesty kepada Tempo. “Ada yang mau memberi bantuan katalisator.”

Lesty pun langsung menghubungi Irjen Eko, lalu meminta izin membagikan nomor teleponnya kepada Hardi. Ketika Eko menanyakan identitas Hardi, Lesty menjelaskan bahwa guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya ini adalah mantan Direktur Rumah Sakit Charitas Palembang, konsultan, dan tenaga ahli bidang kesehatan masyarakat. Dengan profil seperti itu, Eko mengizinkan nomornya dibagikan.

Hardi langsung mengirimkan pesan ke nomor WhatsApp Irjen Eko. Ia menyampaikan bahwa pasiennya, Heryanty, adalah kerabat Johan alias Ahok, teman lama sang Jenderal. Keduanya anak pengusaha Akidi Tio. Obrolan mereka langsung “nyambung” karena Eko mengenal Akidi saat ia masih berpangkat inspektur dua di Aceh.

Hardi menyampaikan bahwa Heryanty berniat menyumbang dana untuk membeli obat-obatan, oksigen medis, dan kebutuhan penanggulangan pandemi Covid-19 di Sumatera Selatan. Ia pun mengabarkan bahwa keluarga besar Akidi Tio di Jakarta akan hadir naik jet pribadi untuk ikut menyerahkan sumbangan. Hardi mengusulkan pemberian sumbangan diserahkan di Hotel Aryaduta Palembang pada Senin, 26 Juli 2021, pukul 11.00.

Belakangan, Irjen Eko menyarankan pemberian sumbangan dilakukan di Markas Polda Sumatera Selatan karena penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level IV di Palembang. Agar acara lebih meriah, Hardi menyarankan Eko mengundang Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, pejabat dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, serta wartawan. Cekrek! Mereka kemudian berfoto dalam acara penyerahan simbol bantuan itu.

Foto penyerahan sumbangan itu viral di media sosial. Irjen Eko digambarkan tengah menerima papan styrofoam bertulisan sumbangan Rp 2 triliun dan foto Akidi Tio. Menurut Eko, papan styrofoam disiapkan oleh teman-teman Heryanty yang datang ke acara itu.

Setengah jam menjelang acara, Lesty bersama Hardi dan Heryanty mengobrol di ruang kerja Eko. “Pak Eko bertanya kepada Bu Heryanty, apakah uangnya tidak terkait dengan money laundering,” ujar Lesty. Mendengar pertanyaan itu, kata dia, Heryanty memastikan uang tersebut merupakan warisan sang ayah, Akidi Tio.

Kepada Tempo, Irjen Eko mengaku masih mengingat betul kalimat Heryanty dalam pertemuan itu. Eko menanyakan asal-usul uang Rp 2 triliun. “Katanya ini uang keluarga, warisan,” tutur Eko.

Terbuai Janji

Ia juga menanyakan alasan Heryanty tak memakai uang itu untuk kepentingan keluarganya. “Katanya ini uang amanat orang tua. Akan menjadi malapetaka bagi keluarganya kalau dimanfaatkan sendiri,” ucap Eko.

Irjen Eko pun menanyakan syarat sumbangan, misalnya, laporan penggunaan uang. “Dia jawab, enggak perlu. ‘Saya serahkan ke Bapak. Terserah Bapak mau jadikan apa’,” ujar Eko. Mendengar sumbangan ini tanpa syarat, hati Eko kian gembira.

Eko sempat berangan-angan membentuk tim khusus berisi personel berintegritas untuk mengelola sumbangan itu. Rencananya, ia akan menunjuk Hardi menjadi bagian dari dewan pengawas. Ia bahkan berniat menggelar syukuran. “Kalau memang ada uangnya, kami tak akan ambil serupiah pun bunganya, apalagi pokoknya. Karena ini amanah untuk masyarakat,” ucap Eko.

•••

KEPOLISIAN Daerah Sumatera Selatan membentuk tim khusus untuk mengawal pencairan sumbangan Rp 2 triliun dari Heryanty sejak Sabtu, 31 Juli lalu. Mereka juga turut mengawasi gerak-gerik Heryanty. Soalnya, Kepala Polda Inspektur Jenderal Eko Indra Heri mulai curiga terhadap sumbangan besar itu.

Ia bahkan secara khusus menugasi Kepala Bidang Keuangan Komisaris Besar Heni Kresnowati untuk pelan-pelan bertanya kepada Heryanty soal ketersediaan uang sumbangan. Tapi ia tak ingin Heryanty sakit hati. “Kami kan belum tahu ini apa, benar atau enggak. Kalau enggak benar, nanti dia stres, macam-macam. Makanya Bu Heni mendekati,” ujar Irjen Eko.

Diam-diam, lembaga lain ikut menelusuri asal-usul uang sumbangan Heryanty. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna mengatakan auditor BPK ikut menelisik kekayaan keluarga Akidi Tio saat berita sumbangan Rp 2 triliun muncul. “Itu obyek audit BPK,” katanya. “Kami harus memastikan dari mana sumber uang tersebut. Jika sumbangan itu benar, keluarga Heryanty bisa mendapat diskon pajak sekitar Rp 600 miliar.”

Hasilnya, nilai sumbangan Heryanty dengan jumlah kekayaannya jauh panggang dari api. Para auditor BPK menilai Heryanty tak akan bisa menyumbang karena warisan bisnis almarhum Akidi Tio terlalu mini.

Awalnya, Eko meyakini sumbangan jumbo akan menjadi kenyataan karena Heryanty datang bersama dua tokoh yang memiliki kredibilitas yang ia anggap baik: Lesty Nurainy dan Hardi Darmawan. Belakangan, Eko mengakui kelalaiannya.

Uang Rp 2 triliun itu tak kunjung cair hingga Sabtu, 7 Agustus 2021. Eko merasa bersalah. “Saya memang berpikir ini pribadi saya yang diberi. Kalau memang tidak keluar, ya, tidak apa-apa. Nanti yang malu saya sendiri. Tapi saya tidak memikirkan Rp 2 triliun itu banyak dan menarik perhatian orang. Itu salah saya,” ucapnya.

Uang dan Utang

Dua orang mengadukan Heryanty akibat masalah utang dan uang miliaran rupiah.

Eko menjadi bulan-bulanan di media sosial. “Ini kan jumlahnya seksi. Terus yang ketipu ini Kapolda, bintang dua, profesor, enak, kan, di-bully,” kata Eko, lalu tersenyum.

Hardi Darmawan tak merespons permintaan wawancara Tempo yang dikirimkan ke akun WhatsApp-nya hingga Sabtu, 7 Agustus lalu. Polisi sempat memeriksanya selama tujuh jam pada 2 Agustus lalu. Kepada wartawan yang menemuinya sebelum pemeriksaan, Hardi mengaku tak pernah melihat uang Rp 2 triliun milik Heryanty itu. “Pihak keluarga mengatakan kepada saya uang itu ada. Tapi saya belum melihatnya secara fisik,” ujarnya.

Meski sempat ditahan, Heryanty dipulangkan oleh polisi pada hari itu. Penyidik masih berkoordinasi dengan Bank Mandiri soal pengiriman uang. Mereka juga menggandeng Bank Indonesia dan PPATK. Namun polisi agaknya masih punya harapan di awal penangkapan Heryanty. “Bilyet giro tak bisa dicairkan karena ada kendala teknis yang harus diselesaikan,” kata juru bicara Polda Sumatera Selatan, Komisaris Besar Supriadi, kala itu.

Sadar sudah menciptakan kegaduhan tingkat nasional, Irjen Eko Indra Heri meminta maaf kepada masyarakat, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan anggota kepolisian seluruh Indonesia. Tapi Wakil Kepala Inspektur Pengawasan Umum Polri Inspektur Jenderal Arif Wicaksono tetap memeriksanya.

Berburu Dana Revolusi

SEJAK 1960-an, berkembang cerita Presiden Sukarno mengumpulkan uang hingga triliunan rupiah. Kisah para tokoh memburu “harta karun” itu masih berlanjut hingga kini.

Eko mengaku stres dan mencoba mengalihkan perhatian dari perkara sumbangan 2 triliun anak Akidi Tio. Saat bertemu dengan Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Lesty Nurainy, ia sempat berseloroh. “Ini nih tersangkanya,” ujar Eko. Lesty pun menyambut canda Eko dengan tertawa. “Tiap ketemu Pak Eko, dia bilang ke saya, ‘Gara-gara orang ini, nih’,” kata Lesty.

Harap-harap cemas Jenderal Eko menanti sumbangan 2 triliun terjawab dengan pelbagai penyelidikan polisi dan auditor.

RIKY FERDIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus