Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTERIMA kasihlah kepada keluarga Akidi Tio. Bukan atas janji sumbangan Rp 2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan, tapi atas munculnya kenyataan: betapa banyak orang, termasuk pejabat publik, dengan mudah menerima hal yang tak masuk akal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tengoklah seremoni penyerahan sumbangan keluarga pengusaha asal Langsa, Aceh, itu pada 26 Juli lalu. Gubernur Herman Deru, Kepala Kepolisian Daerah Inspektur Jenderal Eko Indra Heri, serta para pejabat dan tokoh setempat gegap gempita menerimanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar gembira di tengah pengap pandemi satu setengah tahun terakhir ini disiarkan ke mana-mana. Sebagian orang mengglorifikasinya dengan aneka pujian. Mereka melewatkan langkah yang seharusnya dilakukan: menjaga logika dan sikap hati-hati.
Logika itu sebenarnya mulai terusik dari jumlah sumbangan. Uang Rp 2 triliun merupakan seperlima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Selatan 2021. Dana itu separuh lebih dari Rp 3,5 triliun sumbangan yayasan milik pasangan terkaya sedunia yang telah berpisah, Bill and Melinda Gates Foundation, untuk penanganan Covid-19 global. Sumbangan keluarga Akidi ibarat dongeng pangeran kaya raya yang menghibahkan semua harta untuk rakyatnya—sesuatu yang tak lebih dari mimpi di siang bolong.
Menurut Hardi Darmawan, yang mengaku 48 tahun menjadi dokter pribadi keluarga itu, Akidi adalah pengusaha besi dan kontainer asal Langsa, Aceh Timur. Masih menurut Hardi, keluarga itu sering berderma selama pandemi, tapi tidak pernah dipublikasikan. Hardi pula yang mengaku diminta keluarga menyerahkan sumbangan kepada pemerintah Sumatera Selatan.
Pejabat di Sumatera Selatan lupa diri: mereka tak mengecek asal-usul dan legalitas duit yang dijanjikan. Bisnis Akidi dan keluarganya bisa dengan mudah dilacak melalui riwayat pajak. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan mudah mengecek kebenaran rekening penyimpan dana. Catatan lain, pemberian yang ditujukan ke rekening pejabat kepolisian pun telah menimbulkan tanda tanya. Bahkan, jika dana tersedia, donasi semacam itu semestinya diberikan kepada Kementerian Keuangan untuk dialokasikan bagi penanganan Covid-19.
Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri, menerima bantuan sebesar Rp 2 triliun dari keluarga pengusaha Akidi Tio untuk dana penanganan Covid-19, Senin (26/7/2021). Dok. Humas Polda Sumsel
Cerita kosong ala keluarga Akidi pernah kita lihat pada masa lalu. Pada 2008, muncul “penemuan” Blue Energy: teknologi yang mampu mengubah air menjadi bahan bakar. Pada tahun yang sama, lahir pula Supertoy, padi yang diklaim mampu menghasilkan panen hingga 15 ton per hektare atau empat-lima kali lipat jenis lain. Lingkaran dalam kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempromosikan dua teknologi itu yang nyatanya hanya omong kosong alias “zonk”.
Pada awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo pernah terpesona oleh tawaran “minyak murah” dari Angola, yang diklaim bisa menghemat pengeluaran negara hingga Rp 30 triliun per hari.
Perjanjian bahkan sudah ditandatangani di Istana Kepresidenan. Tak muncul inisiatif dari pembantu Presiden untuk mengecek siapa Sam Pa, pengusaha asal Tiongkok yang menawarkan minyak Sonangol tersebut—saudagar yang terjerat kasus hukum di sejumlah negara.
Terpincut keinginan mendapat solusi jalan pintas, para pejabat terbuai angan-angan. Angka-angka fantastis di luar logika memang menyilaukan. Sebagian pejabat yang lapar pengakuan menyambarnya sebagai momentum untuk mencari tepuk tangan—syukur-syukur bisa naik jabatan.
Kini polisi bingung menetapkan status hukum kepada keluarga Akidi Tio. Pasal penipuan sulit diterapkan karena tak ada yang secara materiel dirugikan. Tudingan bikin gaduh juga tidak pas karena bukan mereka yang mengumumkan bantuan ini, melainkan polisi.
Keluarga itu jelas bukan Djoko Suprapto yang dihukum tiga setengah tahun penjara dalam perkara penipuan Blue Energy. Djoko dinyatakan bersalah karena menjual mesin dengan janji penghematan biaya listrik hingga separuhnya. Keluarga Akidi juga tak serupa dengan Said Agil al-Munawar, Menteri Agama kabinet Megawati Soekarnoputri, yang pada 2003 merusak situs bersejarah di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat, demi mencari “peninggalan Prabu Siliwangi”.
Keluarga Akidi Tio belum merugikan siapa pun—kecuali pemerintah yang telah membayar biaya acara, termasuk pembuatan plakat sumbangan. Mereka hanya mencoreng muka sejumlah pejabat. Namun justru kepada mereka kita patut berterima kasih. Keluarga Akidi telah mengingatkan kita perihal bahaya hilangnya akal sehat—penyakit yang menghinggapi pejabat yang ingin populer, naik pangkat, atau kaya secara kilat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo