Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seperti halnya wajah sampul dan penamaan, model penulisan Tempo meniru Time.
Dengan jurnalisme naratif, wartawan Tempo dituntut untuk menggali cerita di balik cerita dan detail peristiwa.
Jurnalisme naratif yang dikembangkan Tempo berlaku untuk semua laporan, dari skandal hingga kuliner.
SEPANJANG pekan ketiga Januari 2018, Erwan Hermawan berulang kali merombak naskahnya soal praktik prostitusi yang masih terjadi di sejumlah hotel di Jakarta. Dengan kata-kata, redaktur desk investigasi Majalah Tempo itu mereka ulang hasil penelusuran tim investigasi di Hotel Alexis yang tak lagi mendapat perpanjangan izin hotel dan griya pijat dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada akhir Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erwan menggambarkan dengan detail proses pemilihan lady companion di belakang ruang resepsionis di lantai tiga hotel tersebut. Juga, bagaimana dua perempuan yang dipilih menggelar tari telanjang di tengah gempuran suhu 23 derajat Celsius di ruangan seluas 3x6 meter persegi. “Saya ingin membawa pembaca hadir di ruangan itu, merasakan apa yang kami alami di sana,” kata Erwan pada Kamis, 4 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaya laporan bercerita atau jurnalisme naratif yang digunakan Erwan dalam tulisannya sesungguhnya telah mendarah-daging sejak majalah ini sejak terbit 50 tahun lalu. Seperti halnya wajah sampul dan penamaan, model penulisan Tempo meniru Time, majalah terbitan Amerika Serikat. Gaya penulisan sastrawi tersebut cukup banyak dipengaruhi oleh para jurnalis angkatan pertama majalah ini yang berlatar belakang sastrawan seperti Syu’bah Asa, Putu Wijaya, dan Goenawan Mohamad.
Goenawan, Pemimpin Redaksi 1971-1999, mengatakan Tempo memilih model penulisan bercerita untuk merespons situasi kebahasaan pada waktu itu. Penggunaan bahasa Indonesia pada rezim Sukarno dan Soeharto dianggap birokratis dan kaku. Tempo ingin menghadirkan tulisan yang menarik untuk pembacanya. “Dengan model jurnalisme naratif, kami ingin membebaskan pembaca dari belenggu dan kebekuan pikiran karena situasi kebahasaan zaman itu,” kata GM, panggilan Goenawan.
Laporan majalah ini, misalnya, mengharamkan penggunaan frasa “dalam rangka” yang dianggap klise. Pemakaian akronim juga dihindari. GM mencontohkan Kopkamtib atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban selalu ditulis lengkap. Kata dia, dengan menyajikan nama lengkap lembaga itu, pembaca mengetahui ada masalah keamanan di dalam cerita. “Jika disingkat, makna semula akan kabur dan pembaca kehilangan konteks,” ujarnya.
Ketika Tempo hendak terbit lagi pada 1998—setelah pembredelan empat tahun sebelumnya, model laporan majalah sempat dibahas. Dalam sebuah rapat di Utan Kayu, Jakarta Timur, sekitar Juli 1998, GM mengumpulkan sejumlah wartawan, salah satunya Leila S. Chudori, yang menjadi awak redaksi sejak 1989. Menurut Leila, GM mengusulkan laporan The Economist—yang menyajikan berita sekaligus analisis dalam artikel—menjadi acuan baru dalam penulisan berita.
Sebagian besar jurnalis yang hadir, termasuk Leila, tak sepakat dengan ide GM. “Kami dididik meliput dan menulis, bukan menganalisis seperti wartawan The Economist,” kata Leila. Jadilah, Tempo tetap mempertahankan jurnalisme bertutur dalam seluruh laporannya. “Pertama-tama, tulisan itu harus enak dibaca dan perlu.”
Pengemasan berita menjadi cerita juga berimbas pada gaya peliputan di lapangan. Menurut Leila, ketika wartawan media lain cukup mengabarkan peristiwa, jurnalis Tempo wajib mengorek cerita di balik berita. Wartawan majalah ini pun dilatih mendapatkan informasi yang lebih dalam dan luas serta menggali berbagai detail peristiwa.
Hermien Y. Kleden, mantan penanggung jawab rubrik Investigasi, mengatakan bahan tulisan yang kuat bisa didapatkan dengan menjadi saksi mata peristiwa. Ia mencontohkan, Tempo mengirim reporter yang menyamar sebagai mahasiswa biologi saat menyelidiki pembalakan di hutan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, sekitar pertengahan 2002. Kawasan hutan itu sulit dimasuki wartawan. “Dengan penyamaran, kami jadi punya mata dan telinga di lokasi kejadian,” tutur perempuan asal Larantuka, Nusa Tenggara Timur, itu.
Reporter itu sukses menemukan aktivitas perambahan hutan. Ia menyaksikan penggergajian gelondongan kayu di area hutan lindung dan kapal-kapal merapat di delta sungai untuk mengangkut kayu haram tersebut.
Urusan berikutnya adalah “menjahit”—istilah untuk menulis dan menggabungkan data serta wawancara menjadi cerita yang memikat. Kisah pembalakan di Tanjung Puting bergerak dengan pendekatan tokoh, yakni Sugianto dan Abdul Rasyid, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Utusan Daerah yang mewakili Kalimantan Tengah. Sugianto dan Abdul, yang berkerabat, membangun perusahaan bersama dan ditengarai merusak Tanjung Puting. “Pendekatan tokoh dan bukti yang kami peroleh di lapangan membuat cerita menjadi atraktif,” ujar Hermien.
Ikhtiar menjadi mata dan telinga publik untuk menceritakan sebuah peristiwa juga berlaku di palagan perang. Beberapa kali Tempo mengirim reporternya ke garis depan pertempuran, seperti di Afganistan, Suriah, dan Filipina. Mahardika Satria Hadi, wartawan Tempo sejak 2010, dikirim ke Marawi, Filipina, pada Mei 2017 untuk meliput invasi kelompok pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Ia menggambarkan kematian Kota Marawi yang ditinggalkan penduduknya. Pintu-pintu rumah terbuka begitu saja dengan kaca-kaca berserakan dan tembok berlubang akibat terjangan pelor, juga pakaian yang masih berada di tempat jemuran.
Wartawan Tempo Mahardika Satria Hadi (kanan) bersama tentara Filipina di Marawi, Mei 2017. Dok. Pribadi
Mahardika juga menyaksikan helikopter militer Filipina meraung-raung dan ledakan roket yang terdengar dari jarak sekitar 2 kilometer. Pandangan mata serta bebunyian itulah yang dikisahkan dalam laporan perang Marawi. “Detail itu menggambarkan kegawatan di lokasi perang kepada pembaca,” kata Mahardika.
Pada pertengahan 2019, wartawan Tempo, Hussein Abri Dongoran, menceritakan kehidupan orang Indonesia di pengungsian Al-Hawl, Suriah. Mereka perempuan yang mengikuti jejak suami atau ayahnya hijrah ke Negeri Syam dan bergabung dengan ISIS. Hussein juga melaporkan kondisi Raqqa—ibu kota ISIS—yang porak-poranda akibat perang.
Gaya bercerita pun berlaku dalam liputan di luar topik skandal dan peristiwa. Ketika Tempo menerbitkan edisi khusus “Antropologi Kuliner Indonesia” pada Desember 2014, para jurnalis Tempo justru tak banyak mengulas rasa penganan Nusantara. Mereka ditugasi menggali cerita di balik pembuatan makanan khas di berbagai daerah. “Liputan ini bukan soal rasa manis, asin, atau mak nyus,” ucap Purwani Diyah Prabandari, pemimpin proyek edisi khusus itu.
Prabandari, yang berkunjung ke Ternate dan Tidore, Kepulauan Maluku, misalnya, menyaksikan masyarakat tak banyak menggunakan bumbu rempah—yang lebih sering digunakan sebagai obat. Sedangkan anggota tim lain menjajal sajian kuliner di selatan Jawa yang cenderung manis. Dari penelusuran literatur sejarah dan cerita dari pakar kuliner, rasa itu berkaitan dengan banyaknya suplai gula akibat menjamurnya pabrik tebu. “Laporan yang bercerita tak sekadar mendeskripsikan rasa, tapi juga mengungkap kisah di baliknya,” tutur Prabandari, wartawan Tempo sejak 1997.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo