Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ledakan kasus penularan virus corona dua pekan terakhir membuat hampir semua rumah sakit di Jawa dibanjiri pasien Covid-19.
Kebijakan pemerintah tak segera menutup penerbangan dari India dan negara-negara transitnya dituding ikut mendorong lonjakan jumlah kasus positif Covid-19 dari varian delta.
Pelacakan varian delta yang amat berbahaya dan cepat menular tak bisa cepat dilakukan karena keterbatasan laboratorium di Indonesia dalam melakukan pemeriksaan whole genome sequencing.
RIDWAN Fauzi mendadak limbung ketika rumah sakit keempat yang dia datangi menolak merawat pamannya yang terinfeksi Covid-19 pada Sabtu, 19 Juni lalu. Ketika itu, sang paman tengah demam tinggi dan mengeluh sesak napas. Dia sudah menghubungi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor, Rumah Sakit Hermina Bogor, dan Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi, Bogor, Jawa Barat. Semua penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula, dia berharap RSUD Cibinong bisa menerima pamannya, yang sudah berusia 60 tahun dengan riwayat penyakit diabetes. Tapi, ketika Ridwan tiba di sana, pasien berjubel sampai ke selasar. Ada dua tenda darurat di depan rumah sakit penuh pasien dengan keluhan di luar Covid-19.
Baca: Menguji Manfaat Obat Cacing Ivermectin untuk Terapi Pasien Covid-19
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasein Covid-19 menjalani perawatan di tenda darurat yang dijadikan ruang IGD di RSUD Bekasi, Jawa Barat, 25 Juni 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
“Saya putuskan isolasi mandiri di rumah saja,” kata Ridwan, Kamis, 24 Juni lalu. Rumah warga Perumahan Puri Kemang, Kabupaten Bogor, ini kebetulan hanya terpisah beberapa blok dari rumah pamannya. Semua anggota keluarga sang paman sudah diungsikan ke kediaman kerabat lain. “Ada relawan juga dari satgas kelurahan yang membantu,” ujarnya.
Tim relawan itulah yang saban hari mengantar makanan dan obat-obatan. Bahkan, ketika paman Ridwan membutuhkan pasokan oksigen untuk membantu napasnya yang tersengal-sengal, para relawan ini juga yang pontang-panting mencarikan.
Keputusan Ridwan tak bisa disalahkan. Sepanjang pekan lalu, ketersediaan tempat tidur pasien di semua rumah sakit yang ada di zona merah pandemi terus menipis. Dari ruang perawatan intensif (ICU), ruang isolasi, hingga instalasi gawat darurat penuh. Mereka yang bernasib seperti Ridwan tak sedikit. Pada pekan yang sama, LaporCovid-19 menerima 43 aduan warga yang tak memperoleh layanan rumah sakit. Tiga orang kemudian meninggal sebelum sempat dirawat di ICU.
Baca: Biang Keladi Bernama Firli
Angka penularan virus Covid-19 mulai menanjak naik seusai libur Lebaran pada akhir Mei lalu. Pada Sabtu, 26 Juni lalu, total jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 2.093.995 orang dengan penambahan kasus harian sebanyak 21.095 orang. Jumlah pasien Covid-19 yang meninggal pada hari itu sebanyak 358 orang, hingga total keseluruhan kasus kematian di Tanah Air mencapai 56.729 orang.
Adhityo Gilang, pasien Covid-19 di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan sampai harus ke luar kota mencari kamar isolasi di rumah sakit. Setelah gagal mendapat tempat di dua fasilitas layanan kesehatan di sekitar tempat tinggalnya, ruang perawatan (shelter) Universitas Islam Indonesia dan Jogja International Hospital, dia akhirnya mendapat ruang perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bantul, Sri Wahyu Joko Santoso, membenarkan kondisi itu. “Kondisinya benar-benar parah. Pasien antre di mana-mana,” katanya.
Selain kehabisan kamar isolasi, sejumlah rumah sakit mengalami krisis persediaan oksigen. Para dokter di RS Nur Hidayah, Bantul, misalnya, mesti menunda operasi pasien Covid-19 karena kehabisan oksigen. Pemilik RS Nur Hidayah, Sagiran, mengaku kalang-kabut mencari pasokan oksigen hingga ke Kabupaten Klaten dan Purworejo, Jawa Tengah. Namun hasilnya nihil. Terpaksa kedua pasien itu lalu dirujuk ke rumah sakit lain. Sayangnya, mereka belakangan tak tertolong.
Baca: Manuver Istana untuk Periode Ketiga Jokowi
Peningkatan angka kematian akibat Covid-19 membuat petugas penguburan juga kewalahan. Nuryasin, petugas pemulasaran jenazah Covid-19 di Jakarta, mengaku beban kerjanya meningkat dua kali lipat dalam dua pekan terakhir. Ditemui Jumat, 25 Juni lalu, Nuryasin hari itu mengaku sudah memakamkan 27 jenazah. “Padahal biasanya sehari hanya 12 jenazah,” tuturnya. Dia dan rekan-rekannya hanya tidur beberapa jam sehari.
Akibat keterbatasan tenaga, banyak jenazah yang tak bisa langsung dimakamkan. “Kemarin ada yang meninggal dari Pademangan, baru bisa kami kuburkan sehari kemudian,” katanya. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia mengakui adanya lonjakan angka kematian akibat Covid-19 di wilayahnya. “Kemarin, 22 Juni, ada 150 jenazah Covid-19. Hari ini 180 jenazah,” ujarnya.
Warga membesuk keluarganya yang dikarantina di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, 23 Juni 2021. ANTARA/Destyan Sujarwoko
Membeludaknya pasien Covid-19 membuat tenaga kesehatan di rumah sakit berjibaku mengurus pasien. Mereka kekurangan waktu istirahat dan kerap terlambat makan. Dian Indriyani, 31 tahun, perawat di RS Graha Permata Ibu, Depok, Jawa Barat, mengaku hanya bisa mencuri waktu untuk minum air di sela tugasnya. Sepekan terakhir, jam kerja juga bertambah panjang. Dari biasanya 8 jam sehari menjadi 10-12 jam. “Kami harus menambah jam jaga karena ada perawat lain yang terinfeksi Covid-19,” katanya.
Kondisi di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, juga tak lebih baik. Ratusan hingga ribuan pasien terus datang. Pada Rabu pagi, 23 Juni lalu, tercatat ada 8.096 pasien yang dirawat di sana. Meski tempat tidur dan suplai oksigen sudah ditambah, serta sejumlah gedung dan rumah susun diubah menjadi ruang perawatan Covid-19, banjir pasien tak juga surut.
“Kalau di hulu tak ditangani, seminggu lagi kolaps kita,” ucap Koordinator Humas dan Komandan Lapangan RS Wisma Atlet Letnan Kolonel Laut M. Arifin pada Senin, 21 Juni lalu.
Baca: Upik Abu Mencari Payung
•••
MEMBELUDAKNYA pasien positif Covid-19 saat ini ditengarai dipicu oleh penyebaran virus corona varian delta atau virus B.1.617.2 yang berasal dari India. Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahabatan, Erlina Burhan, menjelaskan, virus jenis ini dapat menyebar lebih cepat 60-70 persen dari nonvarian yang berasal dari Wuhan, Cina. Sampai pekan lalu, varian delta telah ditemukan di 92 negara. “Jika banyak orang tiba-tiba di satu wilayah semua kena, itu ciri-ciri varian delta,” tutur Erlina.
Juru bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, membenarkan sinyalemen Erlina. Berdasarkan pemeriksaan whole genome sequencing per 20 Juni lalu, kata Nadia, sudah ditemukan 211 varian delta di seluruh Indonesia. Varian itu tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, hingga Sumatera Selatan.
Saking cepat dan mudahnya menular, varian delta disebut bisa menjangkiti seseorang yang hanya berpapasan dengan sumber virus. Satu hasil pelacakan di sebuah pusat belanja di New South Wales, Australia, menunjukkan betapa cepatnya penularan varian delta. Berdasarkan momentum transmisi yang terekam di kamera pengintai, ahli virologi Griffith University, Australia, Lara Herrero, menunjukkan bagaimana varian delta bisa bertahan di udara cukup lama. Karena itulah potensi orang menghirup udara yang terkontaminasi dan terinfeksi virus corona menjadi kian besar.
Selain itu, varian delta juga disebut bisa menimbulkan risiko perburukan. Ketua Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga Maria Lucia Inge Lusida membenarkan dugaan itu. Menurut dia, ada kajian di Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai topik ini. “Varian delta membuat tingkat keparahan penyakit menjadi lebih besar," ucapnya.
Sayangnya, kemunculan varian delta tak cepat ditanggapi pemerintah. Ketika varian ini mengamuk di India, Kementerian Perhubungan tak segera menutup akses penerbangan internasional dari dan menuju negara itu. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi beralasan lalu lintas logistik di antara kedua negara masih dibutuhkan. “Kami masih butuh pergerakan logistik seperti oksigen dan vaksin,” kata Budi kepada pers, Jumat, 23 April lalu.
Pemerintah baru bergerak setelah ada hasil tes polymerase chain reaction atau PCR atas lebih dari seratus warga India yang masuk ke Indonesia melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta dengan pesawat carter. Berdasarkan pemeriksaan medis itu, 12 orang dalam penerbangan tersebut positif Covid-19. Pada hari itu juga Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan penutupan pintu penerbangan internasional dari India.
Dalam rapat Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang membahas penutupan akses ke India pada akhir April lalu sempat ada pembahasan soal penutupan akses sejumlah negara lain yang diduga terpapar varian delta. Menurut seorang pejabat yang mengikuti rapat, ada usul agar penerbangan dari Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Malaysia juga ditutup sementara. Pasalnya, negara-negara tersebut diduga menjadi tempat transit warga India sebelum masuk Indonesia. Namun usul itu ditolak demi menjaga hubungan bilateral.
Kedatangan para tenaga kerja Indonesia dari negara-negara transit itu belakangan diduga menjadi sumber penularan varian delta di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa. Situasi makin parah akibat kebijakan karantina setengah hati yang diterapkan pemerintah. Sampai saat ini, pemerintah hanya meminta pengunjung dari luar negeri dikarantina selama lima hari, sebelum bebas bepergian ke mana saja di Indonesia.
Sekretaris Eksekutif Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Susiwijono Moegiarso membenarkan. “Saat ini, sesuai dengan surat edaran Satgas, karantina untuk pelaku perjalanan internasional masih 5 x 24 jam,” tuturnya pada awal Juni lalu. Hanya pengunjung dari India atau yang melewati India yang diminta menjalani karantina selama 14 hari.
Erlina Burhan, yang juga juru bicara Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, mengaku heran terhadap kebijakan itu. “Semestinya karantina dilakukan 14 hari sesuai dengan masa inkubasi virus dalam pedoman WHO,” katanya. Erlina khawatir virus corona varian delta tak akan terdeteksi dalam lima hari karantina.
Kedodoran di hulu, makin tak keruan di hilir. Dua ahli pelacakan virus yang ditemui Tempo sepanjang pekan lalu memastikan kapasitas laboratorium di Tanah Air untuk melakukan pemeriksaan whole genome sequencing juga amat terbatas. Padahal riset itu amat krusial untuk menentukan jenis varian virus yang menular di Indonesia dan asal muasalnya. Dengan data dan informasi itu, kebijakan pengendalian pandemi bisa dirumuskan dengan lebih baik.
“Tak semua laboratorium di Indonesia bisa melakukan riset ini,” ujar Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio. “Selain kapasitas alat penelitian tak memadai, ada keterbatasan reagen dan sumber daya manusia,” dia menambahkan.
Ini dibenarkan Ketua Tim Peneliti Whole Genome Sequencing Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Gunadi. Selain mengalami keterbatasan kapasitas bioinformatika, kata Gunadi, biaya riset whole genome sequencing mahal. Satu data atau sampel virus saja ongkosnya bisa Rp 4 juta. Apalagi waktunya sampai dua pekan.
Gunadi mengaku sudah menyampaikan berbagai kesulitan ini kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sebuah rapat pada Kamis, 24 Juni lalu. Menurut dia, pemerintah berjanji menutup semua kekurangan itu.
•••
SETELAH empat hari dirawat di rumah, kondisi paman Ridwan Fauzi tak kunjung membaik. Napasnya malah kian sesak. Melalui pesan WhatsApp, dia sempat meminta bantuan Ridwan untuk mencari tambahan pasokan oksigen. Sayangnya, ketersediaan oksigen di Bogor ketika itu sedang langka. Dibantu relawan dan tetangga, Ridwan ke sana-kemari mencari oksigen, sampai ke Cisarua, Kabupaten Bogor. Begitu dapat, Ridwan bergegas pulang.
Petugas memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 hingga malam hari di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, 21 Juni 2021. ANTARA/M Risyal Hidayat
Sayang, upayanya terlambat. Keesokan paginya, ketika relawan Covid-19 datang mengantarkan makanan, pintu rumah paman Ridwan tak terkunci dari dalam. Terbaring di tempat tidur, tubuh sang paman sudah kaku tak bernyawa.
DEVY ERNIS, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), M.A. MURTADHO (BOGOR), MADE ARGAWA (BALI), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), AHMAD FIKRI (BANDUNG), LANI DIANA (JAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo