Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menerima 13 ribu lebih laporan kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik selama 2018-2020.
Seorang bintara provos di Komando Daerah Militer Bukit Barisan menjadi korban Undang-Undang ITE dan menjadi tersangka penyebar kabar bohong.
Pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama panduan penerapan Undang-Undang ITE.
WAJAH Teguh Syahputra Ginting tampak kuyu ketika tiba di sebuah hotel di kawasan Senen, Jakarta Pusat, pada Jumat, 25 Juni lalu. Bersama ibunya, pemuda 20 tahun itu langsung menuju kamar begitu melewati lobi. “Dia baru menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu kepada Tempo.
Didampingi LPSK, Teguh menemui Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa sehari sebelumnya. Ia melaporkan nasibnya dan sang ayah, Sersan Dua Lili Muhammad Yusuf Ginting, bintara provos di Resimen Induk Daerah Militer I/Bukit Barisan di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Detasemen Polisi Militer (Denpom) I/1 Pematangsiantar menetapkan Serda Lili sebagai tersangka penyebaran kabar bohong. Ia dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perkara bermula saat Teguh mengalami kecelakaan ketika sedang memperbaiki sabuk karet mesin conveyor di PT Agung Beton Persada Utama, perusahaan beton tempat dia bekerja, 15 April lalu. Akibatnya, tangan kiri warga Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar, itu terluka parah, lalu diamputasi hingga bagian belikat.
Kejadian nahas itu dipicu kelalaian dua rekan kerjanya, Andi Lesmana Manik dan Maratua Marolop Aruan, yang diduga menyalakan mesin tanpa memberi aba-aba. Keduanya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Pematangsiantar dengan hukuman masing-masing 2 tahun dan satu setengah tahun penjara pada 7 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menkominfo Johnny G Plate (kiri), Menko Polhukam Mahfud MD, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo usai menandatangani Surat Keputusan Bersama Pedoman UU ITE di Kemenkopolhukam, Jakarta, 23 Juni 2021. Dok. Kemenkopolhukam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah anaknya kehilangan tangan kiri, Lili melapor ke Kepolisian Resor Pematangsiantar pada 29 September 2020. Ia meminta PT Agung Beton bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi bagi anaknya yang mengalami cacat seumur hidup.
Pada 11 Januari lalu, ketika proses hukum berjalan, Lili menemui sejumlah wartawan di depan kantor Polres Pematangsiantar. “Tolong saya, Bapak. Saya hanya ingin menuntut keadilan. Bapak pimpinan TNI, tolong kami, Bapak, tentang kecelakaan kerja anak kami di PT Agung Beton,” ujar Lili waktu itu. Video ratapan Lili kemudian viral di media sosial.
Yang tak disangka-sangka Lili, pernyataan itu menyeretnya ke polisi militer. PT Agung Beton melaporkan Lili dengan tuduhan menyebarkan berita bohong ke Detasemen Polisi Militer I/1 Pematangsiantar. Denpom menetapkan Lili sebagai tersangka pada awal Maret lalu.
Selain diadukan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lili dilaporkan dengan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penghasutan. “Apa yang dia sampaikan itu tidak benar,” ujar Abdi Purba, pengacara PT Agung Beton, merujuk ucapan Lili yang beredar di media sosial.
Manajemen PT Agung Beton, kata Abdi, sudah menunaikan tanggung jawab kepada Teguh, anak Lili. Perusahaan menawarkan santunan Rp 250 juta dan mengurus pengobatannya ke rumah sakit. Teguh pun disebut mendapatkan santunan asuransi ketenagakerjaan. Tapi, menurut Abdi, Lili menolak tawaran itu.
Menurut Abdi, Lili malah meminta kompensasi Rp 1,1 miliar dengan janji akan mencabut laporan terhadap PT Agung Beton di Polres Pematangsiantar. “Kami anggap itu sebagai pemerasan,” tutur Abdi.
Dedy Faisal Hasibuan, pengacara Lili, menganggap penyelesaian yang ditawarkan perusahaan tidak sesuai dengan prosedur. Sebab, angka kompensasi disodorkan manajemen dengan intervensi penegak hukum. Angka yang ditawarkan pun lebih kecil, yakni sekitar Rp 198 juta, bukan Rp 250 juta seperti yang diklaim Abdi.
Dedy mengatakan kompensasi Rp 1,1 miliar adalah angka yang diajukan Lili saat proses negosiasi. Nilai itu dianggap sepadan dengan cacat permanen yang ditanggung anak Lili seumur hidup. “Mengapa ini dianggap pemerasan?” ujarnya.
Seseorang yang mengetahui kronologi perkara ini mengatakan pemidanaan terhadap Lili terjadi karena ada campur tangan seorang pensiunan bintang dua Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, yang memberi pendampingan terhadap Teguh, mendengar informasi serupa, tapi enggan bicara lebih jauh. “Yang jelas, Lili dan anaknya sudah dalam perlindungan LPSK,” ucapnya. LPSK memberikan perlindungan karena ada potensi ancaman terhadap Lili dan keluarganya.
Menurut Edwin, pimpinan LPSK sudah menemui Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa dan memintanya untuk memberikan perhatian terhadap kasus ini, khususnya pemeriksaan Lili di polisi militer Pematangsiantar. Dalam pertemuan itu, kata Edwin, Andika berjanji meninjau masalah yang menjerat Lili.
Sersan Dua Lili Muhammad Yusuf Ginting./Istimewa
Andika, kata Edwin, juga bersedia membantu pengobatan dan biaya pendidikan Teguh, putra Lili. Itu sebabnya Teguh menjalani pemeriksaan di RSPAD Gatot Soebroto bersama ibunya. Tim dokter RSPAD tengah mengkaji peluang memasang tangan palsu di badan Teguh.
Kepada Tempo, Teguh berharap masalah yang dihadapinya segera tuntas. Ia ingin kembali bekerja dan ayahnya lepas dari jerat hukum. “Pekan ini mestinya saya diminta memberi penjelasan oleh Denpom soal pernyataan Bapak di depan Polres. Tapi, karena harus menjalani pengobatan, saya tidak bisa hadir,” ujar Teguh.
Jenderal Andika belum memberikan tanggapan hingga Sabtu, 26 Juni lalu. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna enggan mengomentari kasus Lili. “Saya belum mendapatkan izin berbicara,” katanya. Kepala Penerangan Kodam I Bukit Barisan Letnan Kolonel Donald Erickson Silitonga juga tak merespons permintaan wawancara Tempo.
•••
KORBAN pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terus bermunculan. Jumlah aduan ke penegak hukum dengan delik undang-undang tersebut dari tahun ke tahun bertambah banyak. Kepolisian RI mencatat selama periode 2018-2020 terdapat lebih dari 13 ribu laporan. Pada 2020, misalnya, laporan mencapai 4.790 berkas.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto, tren penanganan kasus memang meningkat sejak 2018. Banyaknya laporan dan pemidanaan tak lepas dari keberadaan pasal karet dalam Undang-Undang ITE. Damar menyoroti Pasal 27, 28, dan 29 yang dianggap rentan menjerat warga negara. “Ibaratnya, warganet sedang arisan. Saat ini mereka jadi korban, besok mungkin kita,” ucapnya.
Ketiga pasal tersebut berisi aturan dengan tafsir longgar soal pidana pencemaran nama dan kabar bohong lewat media elektronik seperti media sosial. Akibatnya, pasal-pasal tersebut kerap dijadikan alat kriminalisasi. Ruang kebebasan warga negara untuk berpendapat pun banyak diberangus. Hasil pemantauan Safenet pada periode 2016-2021 mencatat sebanyak 676 dari 744 persidangan kasus Undang-Undang ITE berujung vonis bui.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa Henri Subiyakto mengatakan Presiden Joko Widodo sudah mendengar kritik masyarakat perihal ini. Presiden, kata dia, kemudian meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. untuk mencari solusinya.
Menurut Henri, salah satunya adalah penerbitan surat keputusan bersama (SKB) soal pedoman penerapan sejumlah pasal di Undang-Undang ITE. SKB tersebut diparaf Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 23 Juni 2021. “SKB ini diharapkan bisa mengembalikan pemahaman pasal dalam UU ITE,” kata Henri.
Henri mengatakan perumusan SKB itu melibatkan sejumlah organisasi masyarakat sipil, Dewan Pers, korban, serta pelapor perkara. “Masukan mereka kami jaring untuk perbaikan. Supaya implementasinya tidak seperti karet,” ucapnya.
Ia mencontohkan Pasal 27 ayat 3 dalam undang-undang itu yang mengatur kasus penghinaan dan pencemaran nama. Pasal ini merupakan delik aduan absolut yang berarti pelapor tidak bisa diwakilkan orang lain. Penerapan pasal tersebut tidak berlaku untuk suatu pendapat. Jika suatu pendapat terkait dengan masalah yang diuji dalam persidangan, pemidanaan harus menunggu keputusan hukum terlebih dulu. “Jadi bukan penghinaan kalau itu ada fakta hukumnya,” tuturnya.
Pembahasan pasal ini sempat memicu perdebatan. Menurut Henri, tim Kementerian Komunikasi berbeda pandangan dengan Kejaksaan Agung yang menginginkan pasal ini bisa diberlakukan bagi badan hukum. Landasannya adalah putusan perkara yang pernah ditangani di Mahkamah Agung. Belakangan, disepakati kerugian nama baik suatu badan hukum hanya bisa digugat lewat jalur perdata.
SKB tiga menteri juga dianggap solusi sementara untuk mengatasi persoalan yang kini ditangani penegak hukum sampai Undang-Undang ITE diamendemen. Saat ini, pemerintah berupaya mengajukan revisi undang-undang tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat pada Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tubagus Erif Faturahman menjelaskan, draf revisi Undang-Undang ITE masih dibahas oleh tim khusus. “Masih ada beberapa yang dikaji,” katanya.
Ia mengatakan tim perumus revisi Undang-Undang ITE telah menjaring masukan dari masyarakat dengan menggelar kelompok diskusi terarah di sejumlah kota, seperti Semarang, Denpasar, dan Yogyakarta. Kajian tim sudah diserahkan kepada Kementerian Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Ia belum bisa memastikan kapan rancangan akan diajukan ke parlemen. Tapi revisi Undang-Undang ITE diproyeksikan masuk program legislasi nasional jangka menengah 2020-2024. “Statusnya saat ini inisiatif DPR,” ucapnya.
Anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE belum diagendakan Badan Legislasi. Menurut dia, usul revisi perlu dikawal agar pasal-pasal karet tak lagi memunculkan penafsiran semena-mena. Revisi juga terbuka bagi adanya penambahan atau pengurangan pasal. “Tujuannya untuk mengurangi sifat represif dalam penegakan hukum serta membuka ruang bagi penerapan keadilan restoratif,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo