Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Dalih Verifikasi Setelah Tertunggak

Badan Nasional Penanggulangan Bencana berdalih tengah menunggu audit untuk menyelesaikan tunggakan kepada hotel penyedia layanan isolasi. Satu contoh dari sederet masalah dalam pengelolaan anggaran penanganan Covid-19.

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PHRI mempertanyakan nasib pembayaran tunggakan pemerintah kepada hotel penyedia layanan isolasi Covid-19.

  • BNPB di antara klaim verifikasi realisasi pelayanan dan usulan anggaran baru.

  • Banyak masalah dalam pengelolaan anggaran penanganan Covid-19.

MAULANA Yusran akhirnya melayangkan surat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat, 18 Juni lalu. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) itu menanyakan kekurangan pembayaran kepada jaringan hotel yang selama ini menyediakan fasilitas isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inti surat itu berisi pertanyaan sederhana: kapan pemerintah akan melunasinya? “Ini krusial. Hotel-hotel itu sudah satu setengah tahun lebih nganggur, mereka enggak punya tabungan lagi untuk menutup sementara biaya-biaya,” kata Maulana, Rabu, 23 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Februari lalu, menurut Maulana, PHRI menerima banyak keluhan dari anggota perhimpunan yang selama ini terlibat dalam kerja sama pembiayaan fasilitas isolasi bersama BNPB. Manajemen hotel-hotel itu dalam posisi rumit. Keterlambatan pelunasan pembayaran yang seret sejak Februari lalu mengganggu biaya operasional hotel, termasuk penggajian pegawai dan pembayaran kepada rekanan.

Dalam kerja sama ini, hotel yang telah tersertifikasi menyediakan semua jenis layanan layaknya akomodasi pada umumnya, ditambah dengan sejumlah kebutuhan untuk mengecek kondisi kesehatan para tamu. Di Jakarta, sebanyak 15 hotel ikut serta dalam layanan isolasi pasien tanpa gejala dan 16 hotel menyediakan akomodasi tenaga medis. Program ini dibiayai BNPB, yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta.  

Devi Suryani, penghuni Apartemen Green Pramuka, Jakarta Pusat, masih ingat ketika terjangkit Covid-19 pada awal Maret lalu. Petugas Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Cempaka Putih kala itu menawarkan tiga pilihan lokasi isolasi terdekat, yaitu Hotel Ibis Senen, Wisma Atlet Kemayoran, atau Hotel Ibis Harmoni. Ia memilih opsi ketiga lantaran dua lokasi lain telah ramai oleh pasien. Bersama beberapa pasien Covid-19 lain, ia diangkut menggunakan mobil ambulans ke hotel.

Sesampai di tujuan, Devi melanjutkan, petugas hotel dengan sigap menangani pendaftaran. Adapun petugas kesehatan mengecek kondisi kesehatannya. Sekitar sepekan kemudian, dia diizinkan pulang. Tak ada pungutan apa pun dari manajemen hotel. “Bener-bener gratis,” ujar Devi, yang dikenal sebagai Manajer Fiskal Transfer Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Jakarta.

•••

MASALAH tunggakan pembayaran kepada sejumlah hotel itu pertama kali mencuat ke publik pada 8 Juni lalu. Kala itu, pelaksana tugas Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Dody Ruswandi, menyebutkan nilai yang belum terbayarkan mencapai Rp 140 miliar dari total tagihan sekitar Rp 200 miliar.

Kepala Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Triyanto menjelaskan, BNPB telah membayar Rp 60 miliar. Kini BNPB sedang mengajukan usul anggaran untuk program tersebut kepada Kementerian Keuangan. “Ini soal mekanisme penganggaran,” tutur Hery, Kamis, 24 Juni lalu.

Menurut Hery, persoalan ini telah dibahas dalam rapat lintas kementerian dan lembaga, juga pemerintah DKI Jakarta, pada 20 Mei lalu. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa tagihan atas penggunaan kamar hotel sebagai fasilitas isolasi mandiri pasien Covid tanpa gejala dan tempat bagi tenaga kesehatan ini harus diverifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dulu.

Mekanisme pengawasan internal oleh BPKP itu, kata dia, umum dilakukan dalam setiap pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Pada tahap ini, auditor internal pemerintah akan mengecek berbagai hal, misalnya kesesuaian harga kamar, fasilitas layanan, juga tes usap reaksi berantai polimerase (PCR). “Apakah dicatat lebih rendah atau lebih mahal, misalnya. Intinya, jangan sampai lebih bayar,” ucap Hery.

Hasil verifikasi BPKP kelak dipakai sebagai dasar untuk menentukan apakah tagihan tersebut layak dibayar atau tidak. “Kalau semua oke, akan kami sampaikan pembayarannya,” tutur Hery, seraya menegaskan bahwa pemerintah tidak dalam posisi menolak tagihan. “Enggak. Itu dalam rangka administrasi saja.”

Warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 melakukan aktivitas di rumah karantina Hotel Rosenda, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, 22 Juni lalu. ANTARA/Idhad Zakaria

BNPB juga telah mengusulkan anggaran tambahan kepada Kementerian Keuangan pada awal Juni lalu. Saat ini, menurut juru bicara Kementerian Keuangan, Rahayu Puspasari, usul tersebut sedang diproses. “Proses masih berjalan. BNPB juga sedang melengkapi beberapa dokumen yang diperlukan,” ujar Rahayu, Jumat, 25 Juni lalu.

Sebelumnya, kepada awak media, Rahayu menjelaskan bahwa usul anggaran harus diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, termasuk melalui verifikasi oleh BPKP. Setelah tahap itu rampung, daftar isian pelaksanaan anggaran baru bisa diterbitkan untuk pembayaran.

Selama ini, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran untuk BNPB senilai Rp 4-5 triliun setiap tahun. Pada awal Maret lalu, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani—kini menjabat Direktur Jenderal Bea dan Cukai—pernah mengungkapkan bahwa anggaran itu dapat dipakai untuk mitigasi dan penanganan pascabencana. “Siap dicairkan kapan pun dibutuhkan,” katanya saat itu. Dalam mengelola dana tersebut, BNPB bekerja sama dengan semua kementerian dan pemerintah daerah. Pemakaiannya pun tergantung bencana yang terjadi.

Ke depan, belum ada kejelasan apakah program pembiayaan isolasi menggunakan kamar hotel dapat dilanjutkan. Hery Triyanto hanya mengatakan, kalau memang diperlukan, kerja sama tersebut kelak bisa saja diperpanjang. Tapi lagi-lagi, menurut dia, “Menunggu hasil verifikasi Kementerian Keuangan dan BPKP atas tagihan yang ada.”

Yang jelas, Hery menambahkan, pemerintah DKI dan BNPB kini sedang menyiapkan beberapa tempat alternatif untuk isolasi mandiri pasien Covid-19. Salah satu yang sudah siap dipakai adalah Rumah Susun Nagrak di Cilincing, Jakarta Utara. Tiga tower di kompleks rumah susun ini bisa menampung hingga 3.000 pasien. Pasien di lokasi ini akan diawasi oleh dokter Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran. “Unitnya tipe 36, ada dua kamar, disiapkan empat tempat tidur. Hari ini sudah ratusan pasien masuk,” ucapnya.  

Rumah Susun Pasar Rumput di Manggarai, Jakarta Selatan, juga disiapkan. Fasilitas ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sementara pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah DKI. Selain itu, ada gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan di Jalan Nangka, dekat Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, serta Asrama Haji di Pondok Gede, Jakarta Timur, yang bisa menampung 780 pasien.

•••

TUNGGAKAN pembayaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana kepada hotel penyedia layanan isolasi menjadi gambaran banyaknya masalah dalam realisasi anggaran penanganan Covid-19. Laporan hasil pemeriksaan tahap I atas penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Maret lalu mencatat sejumlah persoalan serupa.

BPK, dalam laporan tersebut, mencatat realisasi belanja hibah pariwisata sebesar Rp 651,02 miliar telah disalurkan kepada pemerintah daerah. Masalahnya, laporan pelaksanaan kegiatan atas pemanfaatan dana tersebut bagi pelaku usaha hotel dan restoran belum ada.

Problem anggaran penanganan Covid-19 pun menghangatkan suasana rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 13 Juni lalu. Dalam rapat virtual itu, menurut seorang pejabat yang mengetahui jalannya pertemuan, turut hadir gubernur dari empat provinsi yang daerahnya 
tergolong area merah kasus Covid-19, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam rapat terungkap bahwa realisasi penyerapan anggaran penanganan Covid-19 yang masuk dana alokasi umum baru sekitar 2,5 persen.

Pada Senin, 21 Juni lalu, giliran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyinggung persoalan yang sama. Dalam rapat kerja bersama Komite IV Dewan Perwakilan Daerah, yang antara lain membidangi keuangan, Sri Mulyani meminta pemerintah daerah mempercepat pencairan anggaran yang sudah ditransfer dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana desa. “Untuk semua provinsi, dana desa bisa dipakai untuk menangani kasus Covid, ditambah DAU atau dana bagi hasil 8 persen,” ujarnya. Semestinya, menurut Sri Mulyani, dana transfer daerah bisa menopang anggaran pemerintah pusat di Kementerian Kesehatan dan BNPB untuk menangani Covid-19 dengan baik.

Tahun ini, pemerintah mengalokasikan DAU dan dana bagi hasil sebesar Rp 34,07 triliun. Adapun dana desa tersedia Rp 3,84 triliun. Sri Mulyani berharap dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk mempercepat program vaksinasi, juga membantu kelurahan atau desa agar dapat menerapkan protokol kesehatan dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat mikro.

RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus