Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba lima remaja perempuan asal Jailolo, Halmahera Barat, Maluku, tersebut melompat-lompat. Tatapan mata mereka lurus. Di panggung hall utama Kanagawa Arts Theatre, Yokohama, yang luas, gerakan mereka sama sekali tak tertelan. Padahal gerakan kaki, tangan, dan bahu serta variasi blocking mereka simpel. Dan itu banyak dilakukan secara bersama-sama. Yang menarik, gerakan meloncat-loncat itu mengalir ritmis tak henti-henti, tanpa jeda, dan makin dinamis, bertenaga.
ItulahBalabala, bagian kedua dari trilogi Jailolo karya koreografer Eko Supriyanto. Karya ini sekarang sudah melanglang ke Eropa. Pertama kali Balabaladipentaskan pada November tahun lalu di Festival Salihara, Jakarta. Kemudian, 18 Februari lalu, tarian ini melakukanworld premieredi TPAM (Performing Arts Meeting in Yokohama).Balabalalaludisajikan di Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia TOPA) Melbourne dan Sydney Festival, Australia, pada akhir Februari. Tarian itu juga ditampilkan di deSingel Internationale Kunstcampus, Belgia (16-17 Maret), dan Mousonturm, Berlin (25-26 Maret). Balabala kemudian dipentaskan di Fabrik Potsdam dan National Performing Arts Center-National Theater & Concert Hall, Taiwan.
Hampir sepertiCry Jailolo, karya ini menarik di banyak festival mancanegara. Festival di Eropa yang sudah mementaskanCry Jailolotampak ingin menampilkanBalabalasebagai "sambungan"-nya. Yang belum meminta keduanya dipentaskan dalam satuevent. Asia TOPA Melbourne, misalnya. MemangCry JailolodanBalabalamemiliki daya jual paket.Cry Jailoloadalah karya kontemporer Eko dengan materi penari remaja laki-laki Jailolo, sementara Balabaladengan remaja perempuan.
Eko sendiri masih mempersiapkan bagian ketiga, bagian terakhir petualangannya di Jailolo. "JudulnyaSalt. Ini tari tunggal tentang dunia bawah air di Jailolo. Saya sendiri yang akan menarikan," katanya. Bukan tidak mungkin sebuah festival tertarik sekaligus menampilkan ketiganya. Trilogi ini, misalnya, secara lengkap akan dipentaskan di Europalia, Belgia, Oktober nanti.
Balabalaartinya bangkit. Karena itu, adegan melompat setinggi-tingginya adalah penting. Sebagai karya yang dibayang-bayangi kesuksesanCry Jailolo, Eko terlihat sama sekali tak menanggung beban. Banyak yang menganggap riskan Eko menghadirkan lagi sebuah karya Jailolo lain hanya karena memanfaatkan momentum sambutan terhadapCry Jailoloyang demikian antusias. Tapi Eko waspada akan hal itu. "Memang lebih susah menggarap yangBalabala," ujarnya. Perempuan di Jailolo, menurut Eko, banyak mengalami kekerasan domestik. "Abuseterhadap mereka banyak."
Metode menggarap koreografiBalabala,kata Eko, lebih personal. "Saya harus perlahan membuka ruang individual para penari," tuturnya. Penarinya, yakni Yimna Meylia Meylan Runggamusi, Siti Sadia Akil Djalil, Yezyuruni Forinti, Mega Istiqama Arman Dano Saleh, dan Dian Novita Lifu, rata-rata masih duduk di sekolah menengah. Eko mengatakan tiap penari butuh proses. Yezyurini Forinti, misalnya, anak seorang pendeta. Ia sehari-hari membantu bapaknya mempersiapkan khotbah di gereja. Dia terbiasa dengan keheningan. Maka oleh Eko, dalam sebuah adegan, ia disajikan menari dengan gerakan lambat. "Keheningan itu yang saya dekati."
Tapi memangCry Jailolotampak lebih utuh. Kita ingat, kaki para remaja laki-laki Jailolo itu sepanjang pementasan berderap melakukan gerakan ritmis kuat mengentak bumi sehingga menimbulkan birama yang konstan. Mereka membuat variasi menyebar dan mengelompok bagaikan gerak formasi ikan mendekat dan menjauhi terumbu karang. Selama itu, kaki-kaki merekamentul-mentulterus-menerus seperti per. Betul-betul sebuahphysical danceyang membutuhkan stamina dan konsentrasi tinggi. Ini karya tari yang solid.
UntukBalabala, Eko mengambil materi gerak tarian tradisional Jailolo, Soya-soya, Cakalele, dan Baranggeng (sepertiPoco-poco). "Adegan lompat-lompat itu saya ambil dariCakalele. Unsur vertikalitas dalamCakalelejelas. Kadang saya melihat ekspresi tubuh yang muncul tak terduga," ucap Eko. Meskipun bertolak dari bahan tradisi, Eko menginginkan karyanya adalah sebuah tarian kontemporer ketika penonton tidak akan melihat sebuah ekspresi tradisi tertentu. "Gerakan-gerakanCakalele,Soya-soya,Baranggengsaya distorsi. Saya perbesar volumenya, misalnya."
Menurut Eko, dengan begitu, tradisi bisa berjalan ke depan. Tradisi tidak selalu regresi mundur atau jalan di tempat. Tradisi bisa menjadi ekspresi yang personal. "Dalam berproses di Jailolo, saya selalu didampingi Arco Renz, koreografer Belgia. Dia yang selalu mengingatkan saya jangan sampai saya hanya menampilkan ulang bentuk tradisi."
Proses Eko melatih remaja perempuan Jailolo cukup unik.Cakalele sesungguhnya adalah tari pedang dan tameng. Selama ini, di Jailolo, perempuan tidak pernah menarikanCakalele. Namun Eko meminta para remaja perempuan itu berlatihCakalele."Saya meminta penari sepuhCakaleledari Jailolo melatih mereka." Eko tidak mencoba mengintervensi para penari sepuh ini.Cakalele diiringi semacam tifa. Setelah latihan dasarCakaleleasli benar-benar mereka kuasai, baru Eko masuk. Dia mulai "mendekonstruksi" melepaskan unsur pedang dan tameng. Lalu Eko memperbesar volume gerakan. Dia, misalnya, melihat Cakalelesangat mempengaruhi tangan dan bahu karena memegang pedang dan tameng. Dia kemudian memperbesar volume gerakan tangan dan bahu itu.
"Setelah karya saya,Balabala,selesai, mula-mula saya undang kepala suku dan masyarakat adat Jailolo untuk menonton," kata Eko. Ternyata, menurut dia, warga Jailolo tidak merasa kehilangan. Masyarakat menganggap Eko tidak merusak norma-norma mereka. "Kepala suku bahkan mengatakan saya masih merasakan unsur-unsur tari tradisi Jailolo meski pada ekspresi lahiriahnya. Saya merasa perempuan tidak lagi tabu menarikan tarian perang," ucap Eko menirukan kalimat ketua suku.
Untuk musikBalabala, Eko meminta digarap vokalis Nyak Ina Raseuki atau yang lebih dikenal sebagai Ubiet. Ubiet melakukan riset ke Jailolo. Bersama Eko, ia mengunjungi pesta-pesta warga. "Kalau ada pesta, sangat ramai. Semua warga, lelaki dan perempuan, spontan menari berpasang-pasangan. Tarian merekamutar-mutardengan gerakan simpel-simpel. Mereka memiliki ritme sendiri. Lagu-lagu yang sering dipakai adalahMariana-mariana,My Afrika. Ini lagu-lagu Ambon," tutur Eko. Menurut Eko, Ubiet lalu melakukan penelitian terhadap lagu-lagu ini sebagai bahan dasar musikBalabala. Ubiet kemudian mengabstraksikan ke sebuah karya dengan anasir elektronik dansoundscape.
Bagian ketiga berjudulSalt,menurut Eko, berangkat dari pengalamannya melakukandivingdi samudra Jailolo. "Saya merasa menemukan ruang eksplorasi baru. Gerak tubuh di dalam laut sangat berbeda jauh dengan gerak di darat. Saya harus bisa mengambang. Antigravitasi," ucapnya. Saat menyelam, beberapa hal teknik harus ia kuasai, terutama pernapasan. Cara bernapas di darat dan laut berbeda. Penyelam harus sadar terhadap kadar oksigen dalam tabung yang mereka bawa. Selain itu, penyelam harus waspada terhadap bahaya. Di dasar laut Jailolo, misalnya, bisa mendadak muncul hiu, yang menurut Eko panjangnya bisa 3 meter. Lalu di sana ada arus bawah yang deras.
Di dasar laut Jailolo, kata Eko, banyak kapal dan perahu yang karam. Di antara ruang kapal-kapal itu sering dipenuhi ikan dan koral beracun. "Saat menyelam, saya harus awas agar tubuh tak terkena racun," ucapnya. Dan itu semua menantang tubuh Eko. "Tubuh saya terlatih gerakan tari Jawa yang membumi dan mengikuti gravitasi, dan saya harus berani meninggalkan itu. Saya ingin membuat karya berdasarkan ekspresi tubuh di dasar laut ini." Bahkan cita rasa kuliner di Halmahera, bagi Eko, terasa lebih asin. "Gurih," ujarnya.
Menurut Eko, dalam menciptakan karya-karya dari Jailolo, dia harus berani keluar dari zona nyaman yang dimilikinya. Zona nyaman sebagai penari Jawa. Ia harus berani melepaskan tubuh Jawanya dan masuk ke tubuh laut Jailolo. "Sardono W. Kusumo pernah bilang ke saya, itu yang membedakan riset saya dengan riset penari sebelumnya. Dulu banyak penari Jawa melakukan riset ke pedalaman Kalimantan atau Nias tapi tanpa tersadari masih terus membawa tubuh Jawanya."
SetelahBalabalaselesai dipentaskan, sebuah perjamuan kecil diadakan oleh Hiromi Maruoka, Direktur Performing Arts Meeting in Yokohama, untuk menghormati anak-anak Jailolo. Hadir beberapa petinggi Japan Foundation Asia Center. Di tengah acara, beberapa tamu dari Cina tampak mendekati Eko. Mereka mengatakan terpesona olehBalabala. Mereka meminta agarCry Jailolo danBalabalabisa dipentaskan bersama di Beijing. Dari Yokohama,Cry Jailolodan adiknya,Balabala,memiliki kemungkinan-kemungkinan panjang.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo