Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Daerah Metro Jaya dua pekan lalu membongkar jaringan pedofilia lewat media sosial Facebook. Anggotanya tersebar di berbagai negara. Jaringan mereka terorganisasi. Sampai pekan lalu, korbannya telah mencapai 13 anak.
Di Karanganyar, Jawa Barat, kepolisian resor setempat juga mengungkap seorang pedofil dengan korban 16 anak. Kasus serupa diulas majalah Tempo edisi 8 Januari 1983 dengan artikel berjudul "Kepala Sekolah dan Murid-murid Wanitanya". Pelakunya adalah Kepala Sekolah Dasar Desa Sabajulu, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, waktu itu, Asran Pulungan, yang dituduh memerkosa 20 muridnya sejak 1974.
Kasus itu terungkap setelah seorang korban bernama Marni (nama samaran) mengadu kepada orang tuanya. Ayah Marni, Hasibuan, yang juga tokoh terkemuka di Desa Sabajulu, melapor ke polisi. Asran pun ditahan. Marni, yang berkulit kuning dan bertubuh gempal, mengaku digauli Asran sejak duduk di kelas II SD, 1978. Ketika itu, kata Marni, ia baru sekadar "bermesraan". Hubungan yang layaknya dilakukan suami-istri tersebut, menurut gadis kecil itu, terjadi sejak ia duduk di kelas IV. Sejak itu, berulang kali Asran memanggil Marni ke kantornya, tempat hubungan gelap itu dilakukan. Sampai akhirnya Marni menolak ajakan gurunya, Oktober 1983. Karena penolakan itu, Asran berang dan menampar muridnya tersebut. Sampai di rumah, Marni sambil menangis mengungkapkan semua pengalamannya kepada orang tuanya. Dari cerita Marni inilah semua perbuatan Asran terungkap.
Ternyata, menurut sumber Tempo, sejak 1974 Asran "menggarap" murid-muridnya. Sedikitnya, kata dia, ada 20 murid yang menjadi korban. Banyak korban, menurut sumber itu, menutup mulut. "Karena malu. Apalagi sekarang ada yang sudah berumah tangga," ucapnya. Karena itu, polisi Air Bangis baru menemukan 7 murid yang dikatakan telah menjadi korban perbuatan Asran. "Tapi pengakuan 7 anak itu sudah cukup untuk bukti di pengadilan," ujar Komandan Kepolisian Sungai Beramas, Capa Ponio, 1983.
Pengalaman ketujuh murid itu juga pernah dirasakan murid wanita sebelumnya. Seorang di antaranya bernama Lilis (nama samaran). Lilis, 15 tahun, pada 1983 sudah di sekolah menengah atas, mengaku digarap Asran ketika duduk di kelas VI SD.Suatu hari, Lilis mengatakan ia dipanggil Kepala Sekolah. Tanpa curiga, anak itu masuk ke kantor sekolah yang juga menjadi perpustakaan. Tapi, baru saja ia berada di dalam, Asran buru-buru mengunci pintu. "Jangan berteriak. Kau harus turuti perintah Bapak," ucap Lilis menirukan gertak Asran ketika itu. Lilis kemudian diperintahkan Asran membuka pakaian. Karena takut, ia mematuhinya. Di bangku panjang yang ada di ruangan kantor itu, Lilis mengaku kehilangan keperawanannya. Begitu perbuatan itu selesai, kata Lilis, ia diperintahkan berpakaian dan kembali ke kelas. Beberapa hari kemudian, Lilis dipanggil lagi. Berulang kali perbuatan itu terjadi tanpa seorang pun tahu.
Lilis juga takut menceritakan kepada orang tuanya. Asran, 35 tahun, ayah lima anak, adalah putra asli desa itu. Nasibnya lebih baik daripada penduduk lain karena berhasil menamatkan Sekolah Pendidikan Guru di Talu, kota kecil di Pasaman, pada 1968. Ia diangkat sebagai guru di desanya dan menjadi kepala sekolah pada 1971. Semula Asran adalah pemuda kebanggaan penduduk desanya. Apalagi ia dipandang sebagai orang yang paling berada di desa itu karena bisnis hasil buminya cukup sukses. Tapi kebanggaan itu mulai sirna ketika Asran ketahuan suka menggauli istri penduduk yang ditinggal suaminya.
Setelah diadakan "rembuk desa" pada 1974, masyarakat mengadukan Asran ke Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Air Bangis, ibu kota Kecamatan Sungai Beramas. Penduduk meminta Asran dipindahkan dari Sabajulu. Tapi pengaduan itu tidak mendapat tanggapan sampai terbongkarnya kasus yang dikatakan sebagai pemerkosaan terhadap murid-muridnya itu. Polisi yang mengusut kasus ini menahan Asran pada 27 November 1982.
Komandan Resor Pasaman Letnan Kolonel Polisi Utik Setia pada awal Januari 1983 langsung memerintahkan bawahannya untuk menahan Asran kembali sampai ada putusan pengadilan. "Biar dia tahu perbuatannya terkutuk," katanya. Asran mengelak saat ditemui Fachrul Rasyid dari Tempo. Tapi penduduk Sabajulu mengaku lega. Sebab, sejak kasus ini terbongkar, menurut beberapa penduduk, gangguan harimau yang selama lima tahun ini mengancam penduduk tiba-tiba menghilang. "Sejak Asran ditangkap, tidak ada lagi orang yang melihat harimau di pinggir desa ini," ujar seorang penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo